Dengan terbangunnya “infrastruktur pengawasan” dan “struktur politik pembangunan” seperti di atas, pemimpin pengganti Ahok kelak tidak akan mudah melakukan perubahan-perubahan tatanan yang dinilai publik sebagai kemunduran. Laksana menyetir mobil pembangunan, Ahok sudah menginjak pedal gas hingga kecepatan optimum. Tentu akan segera terasakan perubahan bila driver pengganti menurunkan secara drastis kecepatannya. Yang pasti berubah tentu gaya menyetir, mungkin malahan lebih smooth, tetapi kecepatan dan jalur yang dilalui, serta arah dan tujuan relatif tetap. Tetapi, kondisi ideal ini tidak boleh dilepaskan dari asumsi penopangnya, yaitu Djarot-Heru sebagai driver pengganti itu.
Berbagai pertimbangan di atas menegaskan kesimpulan saya, bahwa Ahok tidak rugi kalau tidak nyagub. Masyarakat DKI juga tidak rugi. Indonesia tidak rugi. Ahokers dan haters juga. Semua senang, semua menang, pembangunan jalan, Indonesia damai sentosa, dan terutama bertambah maju. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H