Dari tulisan saya itu, dan juga saya baca dari berbagai diskusi di lapak-lapak K-ers lain, baik yang pro maupun kontra, ada sejumlah respons yang mengkhawatirkan (tentu saja dari kubu Ahokers) kalau Ahok mundur justru rakyat DKI yang rugi. Nampaknya, premis dibalik kesimpulan ini adalah:
1. Ahok telah sukses menciptakan kemajuan di DKI, yang dirasakan langsung oleh masyarakat, terlepas dari adanya kelompok masyarakat lain yang kecewa dan menjadi korban. Faktor-faktor kemajuan itu antara lain menaikkan gaji PNS, menetapkan gaji UMR yang tinggi di DKI, mempekerjakan pemulung, menaikan gaji penjaga kuburan, menghajikan/meng-umrahkan penjaga masjid DKI, dsb. Bila Ahok mundur, apakah dijamin “struktur gaji” ini akan terus berlaku?
2. Ahok juga menciptakan perubahan lain yang secara visual mudah dibuktikan (observable), seperti normalisasi sungai/waduk (antara lain Pluit, Kampung Pulo, Kali Angke, kali Sentiong, Ciliwung, kali Paken, dll), Pembangunan MRT (yang sudah dan sedang berjalan), taman kota waduk Pluit (Lihat disini), Taman Ria Rio (Lihat disini), Taman Kota lain seperti Semanggi, Menteng, Taman Guntur, Kawasan Bundaran HI, Taman Terpadu RPTRA, termasuk menyulap Kalijodo menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ditargetkan selesai dalam tahun 2016, membangun Masjid pemda DKI, sistem transportasi massal, membangun rusun bagi masyarakat dengan menggunakan CSR Perusahaan (tidak membebani APBD), transparansi birokrasi, penggajian berbasis kinerja, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (antar lain ditandai peningkatan status 40-an Puskesmas kecamatan menjadi Rumah Sakit), dst. Apakah capaian ini dapat dilanjutkan secara kontinyu oleh penggantinya?
[caption caption="jakarta.panduanwisata.id"]
[caption caption="jakarta.panduanwisata.id"]
3. Sejumlah proyek besar yang dalam proses persiapan, yang bersifat futuristik akan benar-benar terbayangkan mengubah wajah kota Jakarta dalam beberapa tahun mendatang, menjadi setingkat dengan kota-kota besar dunia lainnya. Proyek seperti Reklamasi Pantai Jakarta Utara, MRT, integrasi transportasi, dsj. Sebuah visi besar yang nampaknya lebih terjamin akan terwujud dibawah kawalan pemimpin sekeras, setegas dan se-disiplin Ahok. Siapa yang menjamin proyek-proyek ini dapat terealisasi, kalau bukan Ahok yang Gubernur?
[caption caption="http://nationalgeographic.co.id"]
[caption caption="Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memperlihatkan lukisan kereta api saat menghadiri penandatangan kontrak antara PT MRT Jakarta dengan Sumitomo Corp di Balaikota, Jakarta, Selasa (3/3/2015).(Liputan6.com/Faisal R Syam)"]
[caption caption="Giant See Wall (http://news.liputan6.com/read/2153806/garuda-penangkal-banjir-abadi-jakarta)"]
4. Ahok menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai praktek jahat seperti mark up proyek, korupsi, pemalakan, sikap malas PNS, dan sejenisnya. Bukankah Ahok dikenal seantero jagat nasional karena perlawanannya dengan gaya cowboy jagoan yang spontan menghabisi lawan tanpa kompromi? Ahok dirasakan mewakili idealisme publik melakukan pembersihan terhadap praktek-praktek kotor di DKI, bahkan lebih luas di negeri ini.
Kekhawatiran itu memiliki alasan rasional yang bisa dipahami. Namun, mengabaikan pertimbangan-pertimbangan faktor lain, seperti kemampuan kepemimpinan Djarot-Heru, roadmap pembangunan DKI yang telah terumuskan, pengawasan masyarakat sipil yang makin ketat (termasuk tekanan K-ers yang juga terkenal kritis dan “galak”), dukungan pemerintah Pusat lewat Presiden dan para menteri-nya, bahkan dalam kasus Sumber Waras, DPR-RI juga terlihat begitu “berbaik hati” dan ringan kaki turun gunung. Ini bukti DKI bukan hanya milik masyarakat DKI melainkan menjadi milik seluruh Indonesia. Mungkin, kebanyakan warga K-ers, termasuk saya, yang rajin “menjajakan produk Ahok” di lapak dan menuai banyak pengunjung justru bukan berpenduduk DKI. Lucunya, saling ngotot sampai berantam, sementara warga DKI yang berkepentingan langsung mungkin diam menonton sambil geleng-geleng kepala. Gejala ini menunjukkan fakta lain bahwa pengawasan juga datang dari luar DKI.