[caption caption="Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Ade Komarudin saat menyampaikan keputusan soal revisi UU KPK di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 22/2/2016. (Fabian Januarius Kuwado/nasional.kompas.com)"][/caption]
Publik, terutama mereka yang benar-benar konsern terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setelah beberapa hari belakangan didera kekhawatiran dan ketidakpastian, akhirnya apa yang dinanti-nantikan masyarakat terjawab sudah. Setelah bertemu pimpinan DPR 22 Faberuari 2016, Persiden Joko Widodo memutuskan MENUNDA pembahasan draf revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, atau (UU KPK)
Tidak sulit memprediksi sikap Presiden Joko Widodo terkait usul Revisi UU KPK. Dalam tulisan saya di Kompasiana 20 Februari 2016 http://www.kompasiana.com/semuellusi/berjudi-dengan-kebenaran-mayoritas-dpr-terpaksa-mengalah-di-uu-revisi-kpk-presiden-tanpa-beban-akan-memenangkan-harapan-publik_56c74315a2afbd900890f299), saya sudah memperkirakan Presiden akan menolak, atau minimal menunda usulan revisi tersebut. Dan, kini Presdien telah memutuskan menunda pembahasannya. Sebuah sikap bijak!
Mengapa bijak? Pertama, karena dengan demikian, terbukti bahwa Presiden benar-benar mendengar aspirasi masyarakat. Jalan pikir presiden sejalan dengan nalar publik, yaitu tidak mau memperlemah KPK. Pada sisi lain, Presden juga memikirkan bahwa terobosan untuk penguatan KPK masih bisa dilakukan lewat Revisi UU. UU KPK yang ada saat ini sudah cukup kuat, namun masih bisa diperkuat lagi dengan menambah pasal-pasal baru, menyempurnakan pasal-pasal yang sudah ada agar lebih memperkuat, atau menghilangkan pasal-pasal yang melemahkan.
Dengan alasan itu, Presiden juga memahami jalan pikir DPR. Hanya saja, draf revisi seperti yang diusulkan DPR saat ini tidak memenuhi harapan untuk memperkuat KPK. Maka, tidaklah bijak untuk ditolak, sebab revisi memang dibutuhkan guna lebih memperkuat KPK. Dalam pengertian, dengan ditunda membuka kesempatan agar draf usulan diperbaiki dan disempurnakan agar sesuai harapan publik.
Apa yang tadinya dikhawatirkan akan menjebak Presiden akhirnya terbukti bisa terlewati. Bila menolak draf usulan dari DPR, Presiden akan berhadapan, tidak saja dengan lembaga legislatif yang menjadi mitranya dalam pembuatan UU, tetapi juga dengan partai pendukung pemerintah. Lebih-lebih lagi berhadapan dengan PDIP, yang bisa menuduhnya melawan keputusan partai. Tetapi, bila Presiden menerima usulan draf revisi, Presiden akan berhadapan dengan tekanan publik yang jelas-jelas menuntut penolakan draf usulan karena terang benderang melemahkan KPK itu .
Kini, pembahasan UU Revisi KPK sudah ditunda oleh Presiden. Pertanyaannya, lalu apa? Menurut saya, saatnya masyarakat, terutama praktisi hukum dan aktivis anti korupsi memberi masukan ke DPR maupun Presiden berkaitan dengan poin-poin yang perlu diusulkan dalam Draf UU Revisi KPK. Butir atau pasal apa dari UU KPK tersebut yang perlu dihilangkan, disempurnakan, bahkan ditambahkan. Langkah ini penting, supaya jangan biarkan penundaan sebagai taktik ulur waktu semata-mata, sambil menunggu rakyat lengah lalu diloloskan. Rakyat harus tetap aktif memberi masukan dan mengawal, memastikan usul-usul penguatan KPK diakomodir dalam draf revisi.
Berikut, sejumlah poin yang menurut saya akan memperkuat KPK.
Pertama; penyidik KPK diberi kekebalan hukum terbatas, khusus terkait dengan pidana yang bukan terkategori sebagai “extra ordinary crime” (EOC). Poin ini diperlukan supaya mencegah adanya hambatan-hambatan yang terkesan dicari-cari untuk menghalangi bahkan memperlemah kerja KPK. Kasus Abraham Samad (yang dijerat kasus pemalsuan dokumen dan paspor), Bambang Widjojanto (dijerat dengan kasus saksi palsu), dan Novel Basewedan (dijerat kasus penganiyaan pencuri sarang walet) merupakan bukti kuat perlunya poin ini.
Para komisioner dan penyidik KPK telah diseleksi dengan sangat ketat, karena itu harus diandaikan bahwa mereka benar-benar orang pilihan. Kecuali, apabila kelak ternyata mereka pernah melakukan kejahatan EOC, seperti korupsi, narkoba atau terorisme di masa lalu, maka mereka harus diberhentikan dan diproses. Tetapi, bila “dosa masa lalunya” tidak tergolong EOC maka diberi kekebalan hukum, sampai batas waktu masa tugasnya di KPK berakhir, barulah diperoses.
Kedua; tidak ada salahnya meniru UU KPK Singapura, seperti dibahas Adnan Topan Husodo, koordinator ICW dalam tulisannya di opini Kompas edisi cetak (22/02/16). Yaitu, mencakup poin penguatan seperti
(1). Penyidik KPK diberi wewenang menjadikan informasi tentang asal usul kekayaan tersangka, yang sumbernya tidak dapat dijelaskan sebagai bukti untuk menyeret tersangka ke proses hukum lebih lanjut.
(2). Kalau penyidik KPK selama ini baru diberi kewenangan menangani sektor (yang melibatkan pejabat) publik, maka akan menjadi langkah maju bila Pengyidik KPK juga diberi wewenang menangani perkara korupsi sektor swasta. Sebab, kita tahu bahwa korupsi di Indoensia tidak hanya beranak pinak di sektor publik. Dengan demikian, wilayah kewenangan KPK diperluas menangani korupsi dalam semua sektor kehidupan di negeri ini.
Ketiga; kewenangan untuk melakukan perekrutan penyidik oleh KPK. Tidak mungkin KPK bisa kuat bila tidak diberi kewenangan merekrut sendiri pemnyidik, dan hanya menunggu di-drop dari kepolisian dan kejaksaan. Tidak ada maksud untuk menyepelehkan kedua lembaga hukum itu. Tetapi supaya memastikan independensi KPK dalam melakukan tugasnya, maka kewenangan ini diperlukan.
Itu saja pandangan keawaman saya sebagai bukan orang hukum. Silahkan anggota masyarakat mengusulkan poin-poin lainnya. Tujuan kita semua adalah supaya Draf UU Revisi disempurnakan, sehingga memastikan memberi ruang yang sehat bagi KPK untuk menunjukkan kinerja terbaiknya meng-enyahkan kanker korupsi dari bumi Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H