Mohon tunggu...
Semuel Leunufna
Semuel Leunufna Mohon Tunggu... Dosen - You Will Never Win if You Never Begin

Dosen Universitas Pattimura Ambon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"The Last Mohicans" Ibarat Pengrajin Cengkih (Zyzygium aromaticum (L.) Merr. & L. M. Perry) di Maluku

31 Mei 2022   12:27 Diperbarui: 31 Mei 2022   12:31 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semuel Leunufna*

*) Setting up a Blended Larning Program for Sustainable Inclusive Agricultural Value Chain Development in Indonesia: Indonesia - Netherlands Joint Project.

 

Pandahuluan

Dari downtown Ambon saya isi penuh tangki motor xride dengan pertalite, mengantisipasi perjalanan jauh, mumpung tidak terlalu sering mengunjungi wilayah jazirah leitimur pulau Ambon, apalagi hingga ujungnya. Ternyata dengan kecempatan rata rata sekitar 30-40 km per jam, Latuhalat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam. Jarum penanda bahan bakar pun tidak terlihat bergerak turun.

Tujuan saya ke Latuhalat, tidak lain hanya ingin bertemu pengrajin cengkih yang konon hanya ada di Desa ini di pulau Ambon dan rasanya di seluruh Maluku. Seorang gadis remaja berdiri ditepi jalan, akan mengeberang, saya menepi sambil menyapa dan menanyakan dimana tempat pengrajin cengkih. "Keluarga siapa"? tanya gadis remaja. "Saya tidak tahu", jawab saya, "hanya ingin bertemu pengrajin cengkih", menambahkan. Pertanyaan gadis remaja ini ternyata punya dasar kuat, pengrajin cengkih di Latuhalat hanya tertinggal dua keluarga (famili), famili Oppier dan famili Lekatompessy. "Jangan jangan salah menunjuk keluarga yang ingin dituju", mungkin menjadi alsan pertanyaan gadis ini.  Dengan dorongan beberapa pemuda/remaja yang sementara berkumpul di sekitar, gadis ini mengantarkan saya ke keluarga Oppier, kebetulan juga bahwa keluarga Lekatompessy sedang tidak berada di kediamannya.

Rumah keluarga pak Max Oppier, terbagi dua, satu rumah besar atau ruang tamu atau ruang tidur, letaknya di depan dekat jalan raya, materi bangunananya semen, kokoh dan dicat indah berwarna krem, kemudian satu rumah kecil, terpisah dari rumah besar, dengan materi bangunan sederhana, digunakan untuk dapur dan lainnya.  Pada halaman depan rumah besar, di tepi jalan raya,  agak menyamping dari rumah besar, berdiri satu papan reklame dengan tulisan Pengrajin Cengke Tiga Saudara Kecamatan Nusaniwe Latuhalat/KMP. Tupa RT 001/RW 006 Ambon.

Pak Max Oppier dan istrinya mengajak saya menuju rumah besar, istrinya kemudian meninggalkan kami. Begitu kami duduk, saya segera mengeluarkan buku kecil yang sudah disiapkan serta bolpoint, kemudian mencecar pak Max dengan berbagai pertanyaan yang sempat terpikirkan, tentu setelah menjelaskan maksud kedatangan saya. Pak Oppier menjawab tanpa ragu atau berpikir lama, tidak juga memerlukan bantuan siapapun, beliau rasanya kepala sukunya, penanggungjawab pekerjaannya.

Awal mula menekuni profesi pengrajin cengkeh 

Pak Max menjelaskan: "kapan dimulainya produksi kerajinan cengkih, beta seng tau pasti tapi beta sudah mulai kerja tahun 1969, beta iko beta pung kaka laki-laki". Karena umur pak Max Oppier saat ini 67 tahun maka saat memulainya, beliau berumur sekitar 15 tahun. Kami sempat membicarakan keluarga Pengrajin yang satu lagi, keluarga Lekatompessy. "Yang paling aktif dari mereka adalah Alex;  Alex hanya sempat tamat Sekolah Dasar tapi dengan kerajinan cengkeh beliau membiayai dua orang adiknya hingga menjadi guru": Jelas pak Max. Kebetulan sekali kami pernah bertemu dan menyaksikan kerja pak Alex, sekitar tahun 70 an di kelurahan Kuda Mati. Ciri tubuh yang khas dari pak Alex adalah jari telunjuk kanannya hilang/putus dari pangkalnya (tentu tidak bermaksud melecehkan beliau). Meskipun hanya dengan empat jari, kerja pak Alex Lekatompessy sangat cekatan. Hanya dalam waktu 2 sampai 3 hari, perahu cengkih dengan tiga layar, atau arumbai beserta para pendayung di setelah kiri kanan, telah selesai lengkap dengan kotak tempat memajangnya yang berbingkai gaba-gaba terbungkus kertas kap (kartas sampul buku), yang kemudian segera di bawa ke toko (pedagang keturunan Tionghoa) untuk dipajang dan dijual.  Menurut Pak Oppier, jari yang bilang mungkin terjadi karena salah memotong bambu. Terkesan bahwa dua keluarga yang bersaing secara bisnis kerajinan cengkih ini tidak saling menjatuhkan sebagaimana lasimnya terjadi diantara pesaing bisnis.  

Dulu sebenarnya cukup banyak pengrajin cengkih, bahkan beberapa diantaranya kerap diajak berkumpul dirumah pak Max Oppier untuk mendengarkan suluhan/arahan dari petugas pemerintah. Salah satu sebab berkurangnya pengrajin cengkih menurut pak Max, saat ini orang tidak lagi mau duduk seharian mengerjakan kerajinan cengkih, mereka ingin bekerja dalam jangka waktu tertentu (mengerjakan bangunan, misalnya), kemudian beristirahat. Pak Max sendiri menekuni tiga profesi; malam hari beliau akan melaut/memancing ikan, pagi harinya beliau menuju kehutan menanam atau memanen bahan pangan, nantinya pada siang hari hingga sore beliau akan menekuni kerajinan cengkih.

Produk, peralatan, bahan baku dan teknik kerja

Dulunya para pengrajin cengkih lebih dikenal dengan sebutan pembuat perahu cengkih, mungkin karena umumnya produk perahu yang lebih banyak dihasilkan. Sebutan ini tak lagi sesuai karena hampir segala macam produk dapat di hasilkan dari kerajinan cengkih. "Yang penting katong lia akang pung gambar saja, katong bisa biking", begitu komentar pak Max dalam hal ragam kreasi yang dapat dihasilkan.  Bunga tangan, kotak tissu, orang orangan, keranjang, bunga, tipa, becak, rumah baileu, sampai Mesjid Alfata  yang telah dibawa ke Arab dan Gereja Maranatha yang di bawa ke Israel telah menjadi bagian dari buah tangan pak Max Oppier.

Peralatan dan bahan yang digunakan cukup sederhana dan murah; gaba-gaba, bambu, jarum, benang, kawat, gunting, neptan (tang), limar, dan bahan baku utama yakni cengkih. Bahan cengkih akan dipisahkan antara yang masih ber mahkota/kepala dan yang sudah tidak lagi berkepala, dan akan digunakan pada produk yang menghendaki penggunaan bentuk yang sesuai. "Ukuran produk yang akan dibuat tidak dipersoalkan, hanya tergantung bahan tersedia": kata pak Max.  Beliau pernah mengerjakan produk dengan ukuran panjang satu meter. "Produk yang sudah dibuat pun akan tahan lama, tidak mudah patah atau pecah": kata pak Max sambil menjatuhkan perahu cengkih dua layar ke lantai semem rumahnya.

Untuk pembuatan produk, bahan cengkih perlu direndam semalam, kemudian dipisahkan antara yang ber kepala dan yang tidak. Secara umum pembuatan produk dapat dijelaskan seperti berikut; gaba-gaba akan menjadi kerangka bagian dalam, misalnya menjadi bodi/badan dari perahu bila yang dibuat adalah perahu cengkih.  Cengkih akan ditusuk dengan rapih pada bambu yang sudah dibelah dan di kerat menjadi potongan kecil dan runcing,  potongan potongan tusukan pada bambu ini akan dijahit dengan rapih menggunakan jarum dan benang coklat (agar tidak terlihat) dan dibentuk atau dipasang pada bagian yang datar, misalnya pada bagian luar badan perahu. Untuk bagian layar, cengkih ditusuk pada kawat agar dapat dibentuk sesuai yang diinginkan. Tentu penjelasan ini belum mewakili hal-hal detail yang dilakukan serta ketrampilan rahasia yang dimiliki keluarga Oppier maupun Lekatompessy.

Dukungan pemerintah

 

Seperti disampaikan sebelumnya, Pak Oppier beberapa kali dukunjungi petugas pemerintah dan diberikan arahan serta penyuluhan, pada saat demikian beliau mengumpulkan sejumlah pengrajin dirumahnya untuk mengukuti pertemuan dengan petugas. Pak Oppier juga mendapat pelatihan-pelatihan atas biaya pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) baik di kota Ambon maupun di Jakarta selama periode waktu tertentu.  "Bantuan modal atau pendanaan sedikit saja": kata Pak Oppier, tapi beta sering ikut pelatihan dan dapat arahan dari Ibu petugas, sambil menyebutkan nama ibu yang dikenal secara baik dari disperindag Maluku, dan beberapa kali dilatih di hotel tertetu di Ambon serta Jakarta. "Kas kecil ini di adalah bantuan pemerintah", kata pak Oppier sambil menunjuk lemari kecil seukuran lemari es terbuat dari kaca  yang didalamnya dipajang sejumlah hasil karya perahu cengkih, karangan bunga serta produk kecil lainnya yang tersisa dari beliau.  Beliau kenal betul dengan petugas yang sering berurusan dengan pengrajin cengkih bahkan sejumlah orang penting di propinsi Maluku dan di Indonesia.

Permintaan pasar dan system pemasaran 

Pasar untuk kerajinan cengkih bagian terbesarnya adalah wisatawan, baik local, nasional maupun Internasional, sebagian kecilnya melalui kunjungan tamu-tamu pemerintah yang membeli atau dihadiahi kerajinan cengkih sebagai cendra mata. 

System pemasaran produk diantara dua keluarga pengrajin, Kel Oppier dan Keluarga Lekatompessy berbeda satu dari lainnya.  Pak Max Opir biasanya menunggu pesanan dari para pembeli atau memajang hasil karyanya di rumah untuk dikunjungi pembeli. Untuk keperluan pemasaran pak Max memiliki kontak langsung dengan hotel-hotel melalui pimpinannya serta lokasi-lokasi wisata penting termasuk Hotel Mutiara, lokasi Santai Beach, Namalatu  maupun pejabat penting tertentu termasuk dari Disperindag. Beliau meninggalkan kartu namanya dan akan dihubungi bila ada permintaan tertentu dari pembeli. Pak Max Oppier pernah membuat sejumlah besar produknya atas permintaan Ibu Megawati Sukarno Putri, Presiden RI ke-5, tentu melalui kontak dengan Ibu Gubernur Maluku saat Ibu Megawati berkuasa, Ibu Sofi Ralahalu.  Permintaan lainnya yang dapat disebutkan adalah dari instansi Komando Daerah Militer (Kodim), Maluku.  

System pemasaran pada keluarga Lekatompessy dilakukan melalui pedagang pengumpul produk atau toko-toko pedagang keturunan Tionghoa.  Produk kerajinan dari beragam bentuk seperti dijelaskan diatas dapat ditemukan pada sejumlah toko di Kota Ambon seperti Toko oleh-oleh khas Maluku, Jl Anthony Reebok, Ambon, Toko emas, souvenir, asesoris Sulawesi Jl. A. Y. Patty No. 53 Ambon, Toko perhiasan, emas dan souvenir Mulia, Jl. A. Y. Patty No. 66, Ambon, serta Toko oleh-oleh khas Maluku Cahaya, liembers, Jl. Kakialy, Ambon.  

Pembiayaan dan pendapatan

"Harga yang ditentukan untuk produk kerajinan cengkih berbeda diantaranya tergantung jumlah cengkih yang digunakan", jelas pak Oppier. Untuk produk orang-orangan diberi harga Rp. 25 000 per orang, perahu dengan dua layar dihargai Rp. 150 000, untuk perahu tiga layar Rp. 300 000. Beliau pernah menjual produk yang panjangnya 1 meter dengan harga Rp. 4.000.000. "Bila permintaan pembeli dalam jumlah besar dan diperlukan dalam waktu yang singkat maka harganya tentu akan berbeda (bertambah) karena diperlukan waktu kerja extra dan tenaga kerja yang bertambah", Jelas pak Oppier.

Kami melakukan sedikit survey pada sejumlah toko penjual produk kerajinan cengkih yang disebutkan diatas untuk mengetahui patokan harga yang diberikan oleh pedagang pengumpul produk. Untuk produk Arumbae dipatok harga  Rp. 325 000, perahu layar dewaruci dengan 3 layar besar diberi harga Rp. 415 000, perahu tiga layar diberi harga Rp. 235 000 atau Rp. 250 00, Becak Rp. 300 000, bunga beberapa tangkai Rp. 360 000, bangunan rumah baileu Rp. 750 000, sedangkan sebungkus cengkih kering sejumlah sekitar dua genggam diberi harga Rp. 15 000. Harga-harga diatas tentu tidak banyak memberi arti dalam upaya menduga seberapa besar keuntungan yang diambil pedagang pengumpul produk dari harga jual yang di tentukan pak Max Oppier dan terutama Pak Lex Lekatompessy yang bisanya menjual produknya ke Toko pengumpul produk. Diperlukan penelitian yang lebih detail terkait ukuran dan bentuk produk yang sama pada pengrajin dan pedagang pengumpul produk untuk kemudian menyipulkannya. Meskipun demikian, deskripsi harga yang diberikan tentu dapat menjadi gambaran sementara bagi wisatawan atau peminat kerajinan cengkih untuk dipikirkan.

Sepertinya pak Max Oppier tidak secara ketat memperhitungkan keuntungan dan kerugian melaksanakan bisnis kerajinan cengkihnya, terlihat dari kurangnya system pembukuan atau pencatatan yang ditunjukkan.  Namun demikian, beliau memahami betul, diluar kepala, pendapatan dan belanja usahanya.  Biaya terbesar yang dikeluarkan pada bahan habis pakai adalah cengkih, menyusul kemudian benang dan kawat. Bambu dapat dipanen di wilayah sekitar, sedangkan lainnya merupakan peralatan yang tidak habis dipakai.

Bahan baku, cengkih semestinya dapat dibeli pada beberapa pedagang pengumpul keturunan tionghoa yang tersebar di kota Ambon, misalnya Toko Gudang Gorom di Kecamatan Sirimau Kelurahan Hunipopu RT 02 RW 03, atau Toko Nam Jaya, Jl. Pantai mardika A2/8 RT 001/RW 002, Ambon. Namun sebagian pedagang pengumpul hanya menjual cengkihnya ke daerah lain dan tidak di Ambon termasuk pada pengrajin cengkih. Penjualan kepada pengrajin cengkih hanya dilakukan oleh Toko Nam Jaya yang terletak dekat terminal angkutan Kota (Angkot) Latuhalat dariama pak Max biasanya membeli cengkih, tentu dengan kualitas untuk pembuatan kerajinan cengkih.   

Dari pembelian cengkih dengan harga Rp. 85 000 per kg oleh pedagang pengumpul, akan dijual ke pengrajin cengkih dengan harga Rp. 120 000 per kg. Dengan demikian, keuntungan yang diambil pedagang pengumpul per kg adalah sebesar Rp. 35 000. Dengan perhitungan pak Max Oppier bahwa satu kg cengkih dapat menghasilkan delapan produk perahu cengkih dengan satu layar, yang saya taksasikan sakitar Rp. 75 000 pada harga pengrajin,  maka pak Max dapat menghasilkan Rp. 600 000 dari satu Kg cengkih. Namun perlu dipertimbangkan pula bahwa permintaan terhadap produk kerajinan cengkih sifatnya tidak rutin sehingga pendapatan yang diperoleh pun tidak terus menerus. Ketika saya tanyakan berapa pendapatan pak Max Oppier rata-rata per bulan dari hasil kerajinan cengkih, beliau agak terhenti sejenak kemudian menyebukan, mungkin sekitar Rp. 1000 000, suatu pendapatan yang rasanya tidak terlalu memberi harapan kemajuan ekonomi.  

The last Mohicans?

 

Suku Mohawk terahir (the last of the Mohicans), suatu novel sejarah yang telah difilmkan, mengisahkan fenoma surutnya populasi suku-suku Indian Amerika sebagaimana di representasikan oleh dua anggota terakhir suku Mohawk "yang terkenal garang", sang kepala suku, Chingachgook dan anaknya Uncas, sebagai akibat, salah satunya, kerusakan belantara atau hilangnya rimba, habitat mereka (https://www.britannica.com/contributor/Rowland-Hughes/9837673).  Karya penulis Amerika James Fenimore Cooper yang dipublikasikan tahun 1826, menggambarkan suasana di tahun 1757 ketika terjadi pertempuan atara pasukan Inggris melawan suku indian Iroquois beserta sekutunya Perancis dimana dua suku Mohawk terakhir yang adalah sahabat Hawkeye, karakter utama dalam Novel, ikut terlibat didalamnya. Chingachgook dan Uncas akhirnya tewas dalam pertempuran dan tidak  lagi ada darah murni Mohawk yang melanjutkan keberadaan suku mereka.

Fenomena menyusutnya pengrajin cengkih di Maluku secara drastis menyisakan keluarga Oppier dan Lekatompessy dapat dipadankan dengan kondisi suku Indian Amerika Mohawk dalam novel sejarah dan film sebagaimana di jelaskan.  Penyebabanya menurut pak Max Oppier sebagaimana disampaikan, terkait kebosanan menghabiskan waktu sehari penuh mengerjakan kerajinan cengkih yang selanjutnya menyebabkan sebagian pengrajin berpindah profesi.  Namun bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa pendapatan rata-rata per bulan yang sangat rendah dari hasil kerja seharian dimaksud, lebih meyakinkan, menjadi pangkal dari menyusutnya populasi pengrajin cengkih. Kemudian bila ditelusuri lebih lanjut, pendapatan yang rendah merupakan akibat dari penjualan produk yang rendah yang merupakan akibat dari jumlah wisatawan, pasar utama kerajinan cengkih, yang rendah serta intensitas dan efektifitas promosi wisata yang rendah. 

Kerajinan cengkih merupakan salah satu mata rantai dari rantai nilai (value chain) atau rantai pasok pengembangan cengkih. Permasalahan pada satu mata rantai akan berpengaruh pada mata rantai lainnya. Meredupnya pasar keranjinan cengkih tidak hanya menyebabkan hilangnya mata pencaraharian atau lapangan kerja pengrajin cengkih, tetapi juga menyebabkan meredupnya sebagian pangsa pasar cengkih, meskipun kecil, yang akan berimbas pada pedagang pengumpul cengkih, dan pada akhirnya petani cengkih di Maluku.

Hal selanjutnya yang perlu mendapat perhatian selain mata rantai dari rantai nilai sebagaimana dijelaskan, adalah para pemain, tokoh atau pemeran yang menempati posisi-posisi mata rantai dimaksud. Mengetahui pemain pada setiap posisi mata rantai, peran yang dimainkannya atau fungsinya, serta hubungannya satu dengan lainnya akan sangat membantu komunikasi, negosiasi, kerjasama diantara para pemain dalam pengembangan rantai nilai secara keseluruhan.  Dengan demikian, mengetahui/mencatat /menyebutkan nama suku, ras, atau etnik, semisal Pribumi (Latuhalat), keturunan Tionghoa, suku Buton, Bugis dst. dalam kaitan dengan rantai nilai, tidak dimaksudkan memilah-milah  atau memecah belah, atau mengurangi ke-Maluku-an suatu suku, ras/ras/etnik, tetapi lebih mengarah pada memahami cara kerja dan budaya masing-masing yang akan membantu upaya kerja sama pengembangan rantai nilai dan terutama adalah adanya suatu perolehan pendapatan yang adil dan merata sesuai kontribusi masing-masing pada rantai nilai secara keseluruhan, antara produsen/penyedia bahan baku (petani), pedagang pengumpul, pengembang pasca panen, pasar lokal, export dan seterusnya.  

Pertanyaan yang mengahiri tulisan pendek ini adalah; apakah pak Max Oppier dan pak Alex Lekatompessy dari masing-masing famili akan merupakan "anggota terakhir suku Mohawk" dalam hal pengembangan kerajinan cengkih di Maluku?, kita berharap tidak demikian.  

*) Keterangan: Proyek Setting up a Blended Learning Program for Sustainable Inclusive Agricultural Value Chain Development in Indonesia, merupakan proyek kerjasama antara lima institusi, Lembaga Belanda Untuk Internasionalisasi Pendidikan (NUFFIC) sebagai pendana utama, Perusahaan  Agrofair, Barendrecht, Negri Belanda sebagai Pimpinan Proyek, Maastrcht School of Management (MSM) Negri Belanda dan Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPG) Bogor, Indonesia sebagai pendamping/rekan kerja (counterparts) dan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura sebagai tempat pelaksanaan proyek (beneficiary). Proyek melaksanakan dua tugas utama yakni mengembangkan system pembelajaran berbasis pencampuran (blended learning) dan melakukan penelitian pengembangan rantai nilai (value chain) pada lima komuditas pertanian yakni cengkih, pala, kelapa, pisang dan sagu. Penulis adalah koordinator lokal proyek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun