Mohon tunggu...
Semuel Leunufna
Semuel Leunufna Mohon Tunggu... Dosen - You Will Never Win if You Never Begin

Dosen Universitas Pattimura Ambon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"The Last Mohicans" Ibarat Pengrajin Cengkih (Zyzygium aromaticum (L.) Merr. & L. M. Perry) di Maluku

31 Mei 2022   12:27 Diperbarui: 31 Mei 2022   12:31 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

System pemasaran pada keluarga Lekatompessy dilakukan melalui pedagang pengumpul produk atau toko-toko pedagang keturunan Tionghoa.  Produk kerajinan dari beragam bentuk seperti dijelaskan diatas dapat ditemukan pada sejumlah toko di Kota Ambon seperti Toko oleh-oleh khas Maluku, Jl Anthony Reebok, Ambon, Toko emas, souvenir, asesoris Sulawesi Jl. A. Y. Patty No. 53 Ambon, Toko perhiasan, emas dan souvenir Mulia, Jl. A. Y. Patty No. 66, Ambon, serta Toko oleh-oleh khas Maluku Cahaya, liembers, Jl. Kakialy, Ambon.  

Pembiayaan dan pendapatan

"Harga yang ditentukan untuk produk kerajinan cengkih berbeda diantaranya tergantung jumlah cengkih yang digunakan", jelas pak Oppier. Untuk produk orang-orangan diberi harga Rp. 25 000 per orang, perahu dengan dua layar dihargai Rp. 150 000, untuk perahu tiga layar Rp. 300 000. Beliau pernah menjual produk yang panjangnya 1 meter dengan harga Rp. 4.000.000. "Bila permintaan pembeli dalam jumlah besar dan diperlukan dalam waktu yang singkat maka harganya tentu akan berbeda (bertambah) karena diperlukan waktu kerja extra dan tenaga kerja yang bertambah", Jelas pak Oppier.

Kami melakukan sedikit survey pada sejumlah toko penjual produk kerajinan cengkih yang disebutkan diatas untuk mengetahui patokan harga yang diberikan oleh pedagang pengumpul produk. Untuk produk Arumbae dipatok harga  Rp. 325 000, perahu layar dewaruci dengan 3 layar besar diberi harga Rp. 415 000, perahu tiga layar diberi harga Rp. 235 000 atau Rp. 250 00, Becak Rp. 300 000, bunga beberapa tangkai Rp. 360 000, bangunan rumah baileu Rp. 750 000, sedangkan sebungkus cengkih kering sejumlah sekitar dua genggam diberi harga Rp. 15 000. Harga-harga diatas tentu tidak banyak memberi arti dalam upaya menduga seberapa besar keuntungan yang diambil pedagang pengumpul produk dari harga jual yang di tentukan pak Max Oppier dan terutama Pak Lex Lekatompessy yang bisanya menjual produknya ke Toko pengumpul produk. Diperlukan penelitian yang lebih detail terkait ukuran dan bentuk produk yang sama pada pengrajin dan pedagang pengumpul produk untuk kemudian menyipulkannya. Meskipun demikian, deskripsi harga yang diberikan tentu dapat menjadi gambaran sementara bagi wisatawan atau peminat kerajinan cengkih untuk dipikirkan.

Sepertinya pak Max Oppier tidak secara ketat memperhitungkan keuntungan dan kerugian melaksanakan bisnis kerajinan cengkihnya, terlihat dari kurangnya system pembukuan atau pencatatan yang ditunjukkan.  Namun demikian, beliau memahami betul, diluar kepala, pendapatan dan belanja usahanya.  Biaya terbesar yang dikeluarkan pada bahan habis pakai adalah cengkih, menyusul kemudian benang dan kawat. Bambu dapat dipanen di wilayah sekitar, sedangkan lainnya merupakan peralatan yang tidak habis dipakai.

Bahan baku, cengkih semestinya dapat dibeli pada beberapa pedagang pengumpul keturunan tionghoa yang tersebar di kota Ambon, misalnya Toko Gudang Gorom di Kecamatan Sirimau Kelurahan Hunipopu RT 02 RW 03, atau Toko Nam Jaya, Jl. Pantai mardika A2/8 RT 001/RW 002, Ambon. Namun sebagian pedagang pengumpul hanya menjual cengkihnya ke daerah lain dan tidak di Ambon termasuk pada pengrajin cengkih. Penjualan kepada pengrajin cengkih hanya dilakukan oleh Toko Nam Jaya yang terletak dekat terminal angkutan Kota (Angkot) Latuhalat dariama pak Max biasanya membeli cengkih, tentu dengan kualitas untuk pembuatan kerajinan cengkih.   

Dari pembelian cengkih dengan harga Rp. 85 000 per kg oleh pedagang pengumpul, akan dijual ke pengrajin cengkih dengan harga Rp. 120 000 per kg. Dengan demikian, keuntungan yang diambil pedagang pengumpul per kg adalah sebesar Rp. 35 000. Dengan perhitungan pak Max Oppier bahwa satu kg cengkih dapat menghasilkan delapan produk perahu cengkih dengan satu layar, yang saya taksasikan sakitar Rp. 75 000 pada harga pengrajin,  maka pak Max dapat menghasilkan Rp. 600 000 dari satu Kg cengkih. Namun perlu dipertimbangkan pula bahwa permintaan terhadap produk kerajinan cengkih sifatnya tidak rutin sehingga pendapatan yang diperoleh pun tidak terus menerus. Ketika saya tanyakan berapa pendapatan pak Max Oppier rata-rata per bulan dari hasil kerajinan cengkih, beliau agak terhenti sejenak kemudian menyebukan, mungkin sekitar Rp. 1000 000, suatu pendapatan yang rasanya tidak terlalu memberi harapan kemajuan ekonomi.  

The last Mohicans?

 

Suku Mohawk terahir (the last of the Mohicans), suatu novel sejarah yang telah difilmkan, mengisahkan fenoma surutnya populasi suku-suku Indian Amerika sebagaimana di representasikan oleh dua anggota terakhir suku Mohawk "yang terkenal garang", sang kepala suku, Chingachgook dan anaknya Uncas, sebagai akibat, salah satunya, kerusakan belantara atau hilangnya rimba, habitat mereka (https://www.britannica.com/contributor/Rowland-Hughes/9837673).  Karya penulis Amerika James Fenimore Cooper yang dipublikasikan tahun 1826, menggambarkan suasana di tahun 1757 ketika terjadi pertempuan atara pasukan Inggris melawan suku indian Iroquois beserta sekutunya Perancis dimana dua suku Mohawk terakhir yang adalah sahabat Hawkeye, karakter utama dalam Novel, ikut terlibat didalamnya. Chingachgook dan Uncas akhirnya tewas dalam pertempuran dan tidak  lagi ada darah murni Mohawk yang melanjutkan keberadaan suku mereka.

Fenomena menyusutnya pengrajin cengkih di Maluku secara drastis menyisakan keluarga Oppier dan Lekatompessy dapat dipadankan dengan kondisi suku Indian Amerika Mohawk dalam novel sejarah dan film sebagaimana di jelaskan.  Penyebabanya menurut pak Max Oppier sebagaimana disampaikan, terkait kebosanan menghabiskan waktu sehari penuh mengerjakan kerajinan cengkih yang selanjutnya menyebabkan sebagian pengrajin berpindah profesi.  Namun bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa pendapatan rata-rata per bulan yang sangat rendah dari hasil kerja seharian dimaksud, lebih meyakinkan, menjadi pangkal dari menyusutnya populasi pengrajin cengkih. Kemudian bila ditelusuri lebih lanjut, pendapatan yang rendah merupakan akibat dari penjualan produk yang rendah yang merupakan akibat dari jumlah wisatawan, pasar utama kerajinan cengkih, yang rendah serta intensitas dan efektifitas promosi wisata yang rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun