Kerajinan cengkih merupakan salah satu mata rantai dari rantai nilai (value chain) atau rantai pasok pengembangan cengkih. Permasalahan pada satu mata rantai akan berpengaruh pada mata rantai lainnya. Meredupnya pasar keranjinan cengkih tidak hanya menyebabkan hilangnya mata pencaraharian atau lapangan kerja pengrajin cengkih, tetapi juga menyebabkan meredupnya sebagian pangsa pasar cengkih, meskipun kecil, yang akan berimbas pada pedagang pengumpul cengkih, dan pada akhirnya petani cengkih di Maluku.
Hal selanjutnya yang perlu mendapat perhatian selain mata rantai dari rantai nilai sebagaimana dijelaskan, adalah para pemain, tokoh atau pemeran yang menempati posisi-posisi mata rantai dimaksud. Mengetahui pemain pada setiap posisi mata rantai, peran yang dimainkannya atau fungsinya, serta hubungannya satu dengan lainnya akan sangat membantu komunikasi, negosiasi, kerjasama diantara para pemain dalam pengembangan rantai nilai secara keseluruhan.  Dengan demikian, mengetahui/mencatat /menyebutkan nama suku, ras, atau etnik, semisal Pribumi (Latuhalat), keturunan Tionghoa, suku Buton, Bugis dst. dalam kaitan dengan rantai nilai, tidak dimaksudkan memilah-milah  atau memecah belah, atau mengurangi ke-Maluku-an suatu suku, ras/ras/etnik, tetapi lebih mengarah pada memahami cara kerja dan budaya masing-masing yang akan membantu upaya kerja sama pengembangan rantai nilai dan terutama adalah adanya suatu perolehan pendapatan yang adil dan merata sesuai kontribusi masing-masing pada rantai nilai secara keseluruhan, antara produsen/penyedia bahan baku (petani), pedagang pengumpul, pengembang pasca panen, pasar lokal, export dan seterusnya. Â
Pertanyaan yang mengahiri tulisan pendek ini adalah; apakah pak Max Oppier dan pak Alex Lekatompessy dari masing-masing famili akan merupakan "anggota terakhir suku Mohawk" dalam hal pengembangan kerajinan cengkih di Maluku?, kita berharap tidak demikian. Â
*) Keterangan: Proyek Setting up a Blended Learning Program for Sustainable Inclusive Agricultural Value Chain Development in Indonesia, merupakan proyek kerjasama antara lima institusi, Lembaga Belanda Untuk Internasionalisasi Pendidikan (NUFFIC) sebagai pendana utama, Perusahaan  Agrofair, Barendrecht, Negri Belanda sebagai Pimpinan Proyek, Maastrcht School of Management (MSM) Negri Belanda dan Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPG) Bogor, Indonesia sebagai pendamping/rekan kerja (counterparts) dan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura sebagai tempat pelaksanaan proyek (beneficiary). Proyek melaksanakan dua tugas utama yakni mengembangkan system pembelajaran berbasis pencampuran (blended learning) dan melakukan penelitian pengembangan rantai nilai (value chain) pada lima komuditas pertanian yakni cengkih, pala, kelapa, pisang dan sagu. Penulis adalah koordinator lokal proyek.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI