Menurut Anies, jika Indonesia mau hebat dalam 10 sampai 20 tahun ke depan, situasi itu tak boleh didiamkan. Kelebihan Indonesia dari negara lain adalah kekayaan alamnya. Tapi sayang, kekayaan alam ini tidak diubah untuk meningkatkan kualitas manusia. Di situ letak masalahnya. Sementara, negara lain yang tak punya kekayaan alam berkonsentrasi meningkatkan kualitas manusia.
“China itu bisa seperti sekarang karena kualitas manusianya. Deng Xiaoping serius mengirim orang-orang bersekolah. Efeknya dahsyat kan? Jangan membayangkan Indonesia akan besar seperti yang diprediksi dunia jika kita hanya berjalan linier seperti sekarang ini. Harus ada lompatan,” pesannya.
Soal kesejahteraan kesehatan juga menjadi sorotan utama Anies Baswedan jika Indonesia benar-benar ingin berhasil mencapai cita-cita sebagai bangsa besar. Menurutnya, pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan itu one way (satu arah).
“Kalau Anda lulusan universitas, Anda nggak mungkin ingin anak Anda sekolah sampai SMP saja. Efeknya memang panjang. Sekali dikerjakan, irreversible. Periode-periode berikutnya hanya punya pilihan untuk memperbaiki atau menambah,” terangnya.
Untuk itu, Anies mengharuskan Indonesia melakukan langkah jangka pendek untuk mengubah kualitas kesejahteraan meskipun secara pendidikan masih rendah. Menurutnya, “Jangan menunggu sampai pendidikan tinggi, baru kita sejahtera. Harus ada terobosan-terobosan. Harus menghilangkan ketimpangan antara Jakarta dan the rest (non-Jakarta). Peningkatan kesejahteraan kita akan lompat dahsyat setelah pendidikan tinggi. In the mean time, yang harus dibereskan adalah infrastruktur, utamanya yang paling krusial adalah listrik. Masih ada 30 juta KK (kepala keluarga) yang gelap dari 65 jutaan KK.”
Selain itu, Anies juga mengingatkan pentingnya infrastruktur transportasi yang baik. Tanpanya, perasaan keindonesiaan akan menurun. “Yang membuat hari ini Indonesia satu adalah harga BBM yang sama. Untung ada Pertamina, hahaha,” kelakarnya.
Saat saya menanyakan butuh berapa lama untuk Indonesia bisa ‘pulih’, Anies Baswedan termenung. Sesaat kemudian, dengan yakin ia menjawab, “Dalam satu periode (5 tahun) basic sudah bisa jalan. Yang sebenarnya diperlukan adalah terobosan-terobosan atau genjotan-genjotan di awal. Dana untuk listrik dan jalan itu ada. Eksekusinya saja yang kurang maksimal karena nggak ada political will yang kuat.”
Untuk mencapai cita-cita sebagai bangsa yang besar, dibutuhkan pemimpin yang menggerakkan. Anies Baswedan menawarkan metode kepemimpinan seperti itu, bukan kepemimpinan yang melayani. Menurutnya, “Tugas melayani itu ada di birokrasi. Tugas pemimpin itu menggerakkan. Anda panggil privat sector, Anda panggil sektor sosial, pemerintah, dan katakan Republik ini harus ke sana. Ayo bergerak bersama-sama. Mainkan peran masing-masing.”
Anies juga menyinggung soal betapa banyak yang telah diberikan bangsa ini kepada kita dan masyarakat Indonesia lainnya. Menurutnya, yang membuat segelintir orang menjadi kaya adalah secarik kertas bertuliskan Republik Indonesia.
“Republik ini yang membuat Anda semua jadi luar biasa. Tapi apa Anda sudah bayar balik untuk Republik? Jangan samakan dengan pajak. Bayar pajak itu iuran dalam pengelolaan melakukan perjalanan. Jadi, mari kita sama-sama bangun Indonesia,” terang pria yang pernah mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat ini.
Indonesia dan Dunia