Apa kabar Indonesia sekarang? Apa kabar Indonesia 10 tahun atau 50 tahun ke depan? Jawabannya tentu saja bisa berdasarkan pada andai-andai. Namun bagi Anies Baswedan, jawaban atas pertanyaan itu justru ada pada saat ini. “Ini kesempatan mengubah wajah Indonesia. Bukan soal pemimpin. Ini soal otoritasnya mau diberikan kepada siapa,” katanya.
Selama ini, sosok Anies Baswedan dikenal sebagai tokoh intelektual muda dengan segudang prestasi akademis. Di usianya yang baru 38, Anies telah menjabat Rektor Universitas Paramadina menggantikan rektor sebelumnya yang juga seorang cendekiawan: Nurcholis Majid. Atas prestasi itu, Anies pun dinobatkan sebagai rektor termuda yang pernah dimiliki Indonesia hingga saat ini.
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, Anies dibesarkan dalam lingkungan akademis. Ayah dan ibunya merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Sementara, kakeknya, Abdul Rahman Baswedan (AR. Baswedan) merupakan tokoh penting dalam masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Maka tak heran jika Anies mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kondisi bangsa ini.
“Kita ini kalo diurut-urut, kakek-nenek kita urunan, mas, bikin Republik ini. Sekarang, karena pasar yang semakin dominan, semua dipandang sebagai proses komersial. Saya ingin ubah itu. Saya ingin kita punya perasaan tanggung jawab. Jadi kalau ada panggilan untuk mengurusi negeri, kita harus selalu siap,” tegas Anies.
Menerawang Indonesia
Berbicara tentang masa depan Indonesia, menurut doktor Ilmu Politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat, ini aset terbesar bangsa kita adalah manusianya. Namun sayangnya, Indonesia belum mampu mengkonversi kekayaan tersebut secara optimal. Berdasarkan sensus penduduk dunia, Indonesia secara kuantitatif berada di urutan keempat. Namun secara kualitatif, Indonesia ada di urutan ke-124.
“That’s a bad news. Kalau kita ingin menambah nilai aset, harus ada restrukturisasi. Kalau di perusahaan, bentuknya injeksi baru. Kalau negara, injeksi pengetahuan. Lewat pendidikan; lewat kesehatan,” terangnya.
Anies menambahkan, Indonesia punya peluang untuk jadi negara hebat yang bisa menyejahterakan bangsanya lewat penguatan kualitas manusia. Kebanyakan masyarakat kita, utamanya para pemimpin, lupa pada pembicaraan kualitas manusia.
“Selama ini, kita sudah terbiasa dengan yang namanya pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Memang, kelihatannya benar. Tapi, mana manusianya? Bagaimana bisa sejahtera kalau nggak sekolah. Bagaimana bisa sejahtera kalau sakit? Apa artinya?
Ini kita bicara soal infrastruktur manusia, lho. Kalau saya ditanya, Anies apa kabar? Saya akan jawab baik, sehat, istri juga sehat. Anak-anak sudah sekolah. Saya nggak mungkin jawab rumah saya satu, mobil saya dua, atau motor saya empat. Begitu pun jika ada pertanyaan, apa kabar Indonesia? Jawabannya harus sama: infrastruktur manusia; penopang manusia,” jelas inisiator gerakan Indonesia Mengajar ini.
Menurut Anies, jika Indonesia mau hebat dalam 10 sampai 20 tahun ke depan, situasi itu tak boleh didiamkan. Kelebihan Indonesia dari negara lain adalah kekayaan alamnya. Tapi sayang, kekayaan alam ini tidak diubah untuk meningkatkan kualitas manusia. Di situ letak masalahnya. Sementara, negara lain yang tak punya kekayaan alam berkonsentrasi meningkatkan kualitas manusia.
“China itu bisa seperti sekarang karena kualitas manusianya. Deng Xiaoping serius mengirim orang-orang bersekolah. Efeknya dahsyat kan? Jangan membayangkan Indonesia akan besar seperti yang diprediksi dunia jika kita hanya berjalan linier seperti sekarang ini. Harus ada lompatan,” pesannya.
Soal kesejahteraan kesehatan juga menjadi sorotan utama Anies Baswedan jika Indonesia benar-benar ingin berhasil mencapai cita-cita sebagai bangsa besar. Menurutnya, pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan itu one way (satu arah).
“Kalau Anda lulusan universitas, Anda nggak mungkin ingin anak Anda sekolah sampai SMP saja. Efeknya memang panjang. Sekali dikerjakan, irreversible. Periode-periode berikutnya hanya punya pilihan untuk memperbaiki atau menambah,” terangnya.
Untuk itu, Anies mengharuskan Indonesia melakukan langkah jangka pendek untuk mengubah kualitas kesejahteraan meskipun secara pendidikan masih rendah. Menurutnya, “Jangan menunggu sampai pendidikan tinggi, baru kita sejahtera. Harus ada terobosan-terobosan. Harus menghilangkan ketimpangan antara Jakarta dan the rest (non-Jakarta). Peningkatan kesejahteraan kita akan lompat dahsyat setelah pendidikan tinggi. In the mean time, yang harus dibereskan adalah infrastruktur, utamanya yang paling krusial adalah listrik. Masih ada 30 juta KK (kepala keluarga) yang gelap dari 65 jutaan KK.”
Selain itu, Anies juga mengingatkan pentingnya infrastruktur transportasi yang baik. Tanpanya, perasaan keindonesiaan akan menurun. “Yang membuat hari ini Indonesia satu adalah harga BBM yang sama. Untung ada Pertamina, hahaha,” kelakarnya.
Saat saya menanyakan butuh berapa lama untuk Indonesia bisa ‘pulih’, Anies Baswedan termenung. Sesaat kemudian, dengan yakin ia menjawab, “Dalam satu periode (5 tahun) basic sudah bisa jalan. Yang sebenarnya diperlukan adalah terobosan-terobosan atau genjotan-genjotan di awal. Dana untuk listrik dan jalan itu ada. Eksekusinya saja yang kurang maksimal karena nggak ada political will yang kuat.”
Untuk mencapai cita-cita sebagai bangsa yang besar, dibutuhkan pemimpin yang menggerakkan. Anies Baswedan menawarkan metode kepemimpinan seperti itu, bukan kepemimpinan yang melayani. Menurutnya, “Tugas melayani itu ada di birokrasi. Tugas pemimpin itu menggerakkan. Anda panggil privat sector, Anda panggil sektor sosial, pemerintah, dan katakan Republik ini harus ke sana. Ayo bergerak bersama-sama. Mainkan peran masing-masing.”
Anies juga menyinggung soal betapa banyak yang telah diberikan bangsa ini kepada kita dan masyarakat Indonesia lainnya. Menurutnya, yang membuat segelintir orang menjadi kaya adalah secarik kertas bertuliskan Republik Indonesia.
“Republik ini yang membuat Anda semua jadi luar biasa. Tapi apa Anda sudah bayar balik untuk Republik? Jangan samakan dengan pajak. Bayar pajak itu iuran dalam pengelolaan melakukan perjalanan. Jadi, mari kita sama-sama bangun Indonesia,” terang pria yang pernah mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat ini.
Indonesia dan Dunia
Kekurangan Indonesia dalam aktivitasnya sebagai bagian dari dunia global adalah belum adanya national interest (kepentingan nasional) yang konkret. Untuk itu, dibutuhkan rumusan nyata dan gamblang terkait kepentingan nasional agar komponen-komponen bangsa bisa bergerak dengan visi yang sama. Menurut Anies Baswedan, memformulasikan kepentingan nasional itulah tugas kepemimpinan nasional.
“Tantangan lima tahun yang akan datang belum tentu sama dengan sekarang,” ungkapnya.
Selain itu, dalam hubungan internasional, Indonesia butuh menempatkan orang-orang terbaiknya sebagai diplomat, terutama di negara-negara yang punya kepentingan strategis bagi Indonesia. Menurut Anies, hubungan internasional pada dasarnya merupakan proses diplomatik; diplomatik itu adalah relationship; dan relationship itu adalah hubungan antar-manusia bukan antar-kertas.
“Ya, ujung-ujungnya kualitas manusia. Sebuah negara yang punya diplomat supel itu biasanya akan memudahkan kepentingan nasional,” tambahnya.
Secara strategis, selama ini Indonesia dipandang dunia sebagai pasar besar. Untuk itu, Anies Baswedan menyarankan kita mengantisipasi hal tersebut. Anies mencontohkan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mengedepankan penghapusan tarif barrier. Menurutnya, sebagai antisipasi, Indonesia harus berjuang untuk juga menghapuskan non-tarif barrier.
“Misalnya, supir taksi Jakarta memang bisa pindah ke Medan, tapi penghasilan mereka sama. Nah, kalau di Singapura, penghasilan mereka bisa jauh lebih besar. Tapi sayangnya mereka tidak bisa ke sana karena terbentur regulasi. Sementara, barang-barang Singapura bisa dengan mudahnya masuk ke sini. Jadi kita harus berjuang di penghapusan non-tarif barier,” terang pria yang mendapatkan gelar doktornya lewat disertasi "Otonomi Daerah dan Pola Demokrasi di Indonesia".
Gerakan Turun Tangan
Untuk mencapai Indonesia besar, dibutuhkan partisipasi semua pihak dalam setiap prosesnya. Oleh karena itu, Anies mengimbau para orang baik dan Anda yang punya teman orang baik untuk mendukung dan berani mengambil tanggung jawab dalam membenahi bangsa ini.
“Gerakan Turun Tangan ini bukan tentang Anies, tapi untuk mendukung orang-orang baik agar mau ambil tanggung jawab. Orang-orang bermasalah masuk politik tidak dipermasalahkan, tapi orang-orang tak bermasalah masuk politik justru dipermasalahkan. Kita ini mau beresnya kapan?” tanyanya serius.
Anies menambahkan, Republik ini makin runyam karena orang-orang yang dikirim ke dalam pemerintahan bukan yang di-endorse oleh orang sekitarnya. Orang-orang baik itu tumbang bukan karena orang jahat, tapi orang-orang baik yang memilih diam. Oleh karena itu, kata Anies, “Saya mengajak untuk memberikan counter argument soal pembiaran ini. Selama ini yang kita lakukan adalah membiarkan. Jadi kalau ada orang baik yang mau maju, kenapa tidak dia yang diberikan otoritas? Analoginya, dalam sebuah Kopaja, jika ada preman yang berulah, satu bis diam semua. Itulah syarat preman berkuasa. Begitu ada satu orang yang melawan, kemudian yang lainnya ikutan, pasti turun itu preman! Nah, sekarang kalau kita lihat ada orang lain bangun, jangan diam. Bangun juga! Ini adalah kesempatan mengganti, bukan pemimpin tapi otoritas itu yang mesti ditarik dari orang-orang bermasalah.”
Tugas pemimpin itu menggerakkan, lalu membuat orang tergerak dan berjalan sendiri-sendiri. Kira-kira seperti itulah pandangan Anies Baswedan soal sosok pemimpin ideal. Baginya, Indonesia membutuhkan presiden yang bisa berbicara: ini lho Indonesia maunya seperti ini. Selain itu, menurut Anies, ilmuwan Indonesia sangat banyak di luar negeri. Dirinya punya keinginan besar untuk berbicara dengan para ilmuwan tersebut dan mengajak mereka untuk pulang ke Indonesia.
“Itu juga salah satu syarat kalau Indonesia mau menjadi besar,” terang Anies.
Menurut Anies, nasionalisme itu bukan pada bendera, tapi pada nilai yang disampaikan dan dikomunikasikan. Itu yang menurutnya agak hilang di Indonesia hari ini.
Generasi Baru Indonesia
Ditanya soal pandangannya terhadap masyarakat Indonesia, Anies menjawab, “Masyarakat Indonesia itu sangat beragam, namun memiliki kesamaan dalam hal patuh terhadap sesuatu yang abstrak. Seperti saat ia menganalogikan larangan buang air kecil di suatu tempat. Beberapa orang ada yang patuh hanya karena ada tulisan ‘dilarang’. Padahal kalau pun dilanggar mereka belum tentu dihukum. Tapi ada juga masyarakat yang menaati larangan tersebut karena tempat itu dianggap keramat, misalnya. Menurutnya itu semua sama saja. Justru tantangan sekarang adalah bagaimana cara mengomunikasikan. Nah, politik pun seperti itu. Itu semua hanyalah masalah cara penyampaian; komunikasi.”
Menurut Anies, pemimpin adalah orang yang punya pengikut. Kalau presiden adalah orang yang dapat otoritas sehingga dia bertindak atas nama kita semua. Yang nanti akan kita pilih adalah pemimpin mana yang akan kita titipkan otoritas itu. Ada pemimpin yang memiliki otoritas tapi ada juga pemilik otoritas tidak mempunyai pengikut.
Anies menambahkan, “Seorang presiden bukan hanya bisa memenangkan pemilu atau pilpres, tapi dia juga harus bisa menjalankan pemerintahan selama lima tahun. Untuk bisa menjalankan pemerintahan itu, minimal dia harus punya komponen di eksekutif yang bisa digerakkan dan dukungan dari parlemen. Tapi bukan berarti jumlah kursi partai di DPR akan memudahkan negosiasi. Yang penting adalah orangnya; presidennya. Support di DPR adalah soal komunikasi politik. Kuncinya, tim di kabinet harus diisi orang-orang yang bisa berkomunikasi dengan tegas, berani, terus terang, dan negosiasi dengan DPR.”
Soal siapa pun pemimpin nanti yang dipilih rakyat, Anies berpesan, “Bagi mereka yang mendapatkan otoritas, maka mereka mesti menjalankan otoritas dan memeriksa di lapangan. Nature-nya, orang yang mendapat amanah, harus mengecek bukan apakah perintah sudah dikeluarkan, tapi apakah pelaksanaannya sesuai perintah.”
“Saya nggak menghitung posisi. Wong nggak di dalam negara saja (pemerintah, red) kita bekerja untuk Republik,” ujarnya ringan.
Menurut Anies, yang sering terjadi adalah orang masuk politik dengan mengandalkan rupiah dan berusaha membeli yang mereka kira kehormatan. Padahal yang mereka beli hanya penghormatan.
“Anda bisa bayar puluhan ribu orang datang ke lapangan dengan tepuk tangan. Itu namanya penghormatan. Tapi, Anda tidak pernah bisa membeli kehormatan mereka. Di Indonesia, banyak orang keliru antara penghormatan degan kehormatan,” tegas Anies.
Tapi jika Anies boleh berandai-andai, kalau dirinya nanti jadi presiden ia akan panggil orang-orang terbaik Indonesia. Bukan untuk jadi pejabat, tapi Anies akan meminta iuran lima tahun hidup mereka untuk Indonesia. Karena, menurutnya, selama ini Indonesia sudah memberikan terlalu banyak kepada mereka. Anies juga mengimbau seluruh calon pemimpin dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan pembangunan Indonesia dengan benar. Dia memastikan, dengan begitu anak cucu kita pasti akan bangga.
“Saya lebih takut bukan apa yang ditulis koran hari ini, tapi saya lebih takut pada apa yang akan ditulis sejarawan besok. Mereka akan menulis dengan dingin proses ini,” tutup Anies.
*wawancara ini dilakukan pada Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H