Aku mencari warna lain. Berjalan menuju pasar di dekat rumahku. Betapa kagetnya mataku. Semua manusia yang ada di sana berkulit hitam. Penjual gado-gado itu juga berkulit hitam. Padahal dia perempuan paling manis dan cantik. Seingatku, kulitnya putih dan mulus.
Ada apa?
Sesampainya di pusat pasar. Seorang pria berbaju keki berperut buncit bersiap ke kantornya. Saat ingin naik ke mobilnya, ia merintih kesakitan. Tiba-tiba saja, perutnya bertambah buncit bak gunung yang ingin menumpahkan lahar. Nadinya membesar. Semenit kemudian, jutaan helai uang kertas berwarna hitam muncrat dari perutnya. Semua isi perutnya hanya uang kertas berwarna hitam. Angin berhembus kencang, meniup uang-uang itu. Pria itu masih saja merintih. Ia mengeluarkan air mata yang lagi-lagi berwarna hitam. Uang-uang kertas hitam itu mengumpul di atas pasar. Terlihat seperti awan uang kertas hitam. Angin diam. Berhenti berhembus. Uang-uang kertas itu jatuh bagai hujan uang kertas dari langit. Semua orang berlari merebut uang kertas hitam itu. Aku hanya diam sambil menatap keanehan itu. Ketika ada yang menemukan selembar uang, mereka tersenyum manis, ada pula yang tertawa terbahak memperlihatkan giginya yang berwarna hitam.
Ada apa?
Sesaat setelah hujan uang kertas berwarna hitam itu, langit menurun ke bumi, bukan, menuju ke tanah. Langit itu seakan ingin mencium tanah hitam yang sedang kuinjak itu. Kecepatannya tak terhitung. Sangat cepat. Secepat lima kedipan mataku. Entah apa yang telah dihancurkan saat kedipan pertama dan kedua. Dentuman keras membahana di seluruh dunia hitam ini. Aku menyaksikan dengan mata telanjang, pada  kedipan ketiga, langit itu telah menghancurkan gunung hitam yang berada di sebelah barat. Diikuti semua gunung-gunung yang nampak di mataku. Tehimpit oleh langit. Kedipan keempat, gedung-gedung bertingkat juga terhimpit. Pada kedipan kelima, aku tak kuasa menahan himpitan langit.
Dunia hitam dihimpit oleh langit hitam. Gelap!
Â
Mataku terbuka perlahan setelah merasakan tepukan di pundak kananku. Kuperhatikan sekitar, aku sedang berada di dalam mobil mewah. Kutengok jam tanganku. Sudah pukul 02.08.
"Pak Presiden, kita sudah sampai. Lima menit lagi, kita akan rapat tentang Revolusi Mental." Ujar salah satu 'Pembantu' kepercayaanku.
"Oke, aku telah siap!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H