Anak itu tak menjawab. Ia hanya main game online dengan HP canggihnya. Aku menghela napas panjang. Kota ini, bukan, dunia ini, tak menyenangkan. Aku merasa sendiri pada lautan manusia.
Kualihkan pandanganku pada kaca bus, di luar tampak bangunan bertingkat. Berjejal-jejal tak karuan. Apakah di dunia ini ada perlombaan bangunan tertinggi? Seakan semua bangunan itu berlomba menyentuh awan, bukan, menyentuh langit. Dua tahun kemudian, awan tak mungkin lagi mencipta hujan. 'Ramuan' hujan akan dihalangi oleh pucuk bangunan itu.
Sesampainya di terminal, aku pun turun dari bus. Mencari ojek. Syukurlah, dua menit saja menunggu ojek lewat di depanku. Aku melambaikan tangan memanggil. Ia tak menggubris. Kutepuk tangan beberapa kali, belum ada respon. Aku berteriak keras, Ojeeekk! Ia pun menuju ke arahku.
"Sudah pesan, Mas?" tanya tukang ojek datar.
"Sudah,"
"Belum ada notifikasi, nih." Ia menatap nanar HPnya.
"'Notifikasi? Tadi saya berteriak, bukankah cukup dengan itu?" tanyaku heran.
Ia terbahak. Bukan sekali tapi dua kali sambil memegang perutnya.
"Apa yang lucu?"
"Zaman sekarang tak ada lagi ojek pangkalan, Mas. Semua harus lewat aplikasi online. Mas download aplikasinya. Daftar, setelah itu boleh pesan." Ia masih terkekeh, memandangku dari kepala sampai kaki.
"Ooh, begitu. HPku tidak canggih. Jadi bagaimana, Mas?"