Lagi.
Dan lagi.
Â
Tiba-tiba bayangan rumah dan penjaganya kabur, kemudian buyar oleh suara kakakku, "Bangun... sudah waktunya salat subuh."
Â
Hanya mimpi. Syukurlah. Tak dapat kubayangakan ada dunia seperti itu. Demi menghapus kenangan mimpi itu kuputuskan melaksanakan kewajiban sebagai hamba. Salat. Dzikir. Mengingat Sang Suci sembari menyuci dalam sepi.
Sepuluh menit kemudian, kulangkahkan kaki berjalan ke luar rumah. Dunia ini juga terasa aneh. Langit berwarna hitam kelam. Tak ada awan. Matahari hanya nampak seperenam bagian saja, itu pun berwarna hitam.
Ada apa?
Dunia hitam? Aneh. Kutelisik lebih jauh, kuperhatikan warna daun mangga seberang rumah. Mataku tak hentinya melotot, untung saja, kedua bola mataku tak sempat copot. Benar saja, daun mangga itu berwarna hitam. Kucing yang sedang berlari mengejar tikus warna hitam itu juga berwarna hitam. Dua burung gereja yang bermain dengan riangnya di atas kabel berwarna hitam itu juga berwarna hitam. Cat rumahku yang kemarin berwarna putih kalem sekarang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi hitam pekat. Hampir semua persekitaranku berwarna hitam. Gelap.
Ada apa?
Mungkin, tai mataku belum terlalu bersih saat cuci muka dan wudhu tadi. jadi, penglihatanku belum normal. Mungkin.