Â
Sungguh lucu dunia ini. Hidup terasa sendiri. Sementara di kanan kiriku banyak orang berjalan melewatiku. Ada yang memakai pakaian rapi dengan tas dan sepatu dari kulit binatang langka. Dia cuek saja. Adapula yang dengan congkak mencukur rambutnya bagai pagar runcing milik kakekku di kampung, di sisi sampingnya plontos, tengahnya disisakan dan dibiarkan tegak berdiri. Mereka mencontoh siapa, aku tak tahu. Banyak lagi gaya lainnya. Tak ada saling menegur apalagi menasehati. Mereka hidup dengan dunianya sendiri. Termasuk aku.
Sore ini, aku akan ke rumah paman di tengah kota metropolitan ini. Aku belum pernah ke sana. Kata paman harus naik bus dengan nomor 07 tercetak di kaca depannya. Kusisir sekitar, tampak halte bus sepuluh meter dari tempatku berdiri. Kulangkahkan kaki ke sana.
Sambil menunggu bus kuistirahatkan badanku duduk santai di halte. Seorang gadis dan lekaki setengah baya menemaniku. Aku sedikit ragu, benarkah mereka menemaniku? Ternyata tidak. Gadis itu hanya memainkan smartphonenya. Sedetik kemudian, terkekeh. Apa yang dia tertawakan? Mungkin sedang chat dengan kawan-kawannya. Biar saja. Sedangkan lelaki itu cuma membaca koran. Tiap halaman dibacanya dengan seksama. Kulirik sepintas judul berita di koran itu. 'Presidenmu Hanya Penjual Kue'. Aku terperangah. Koran apa itu? Betapa beraninya menerbitkan judul setajam itu. Ah,,, bukankah mereka hanya menjual fenomena agar kaya. Selama buktinya memang ada. Itu sah-sah saja.
Akhirnya, bus yang kutunggu datang. Kakiku melangkah lincah, melompat kecil berharap menemukan tempat duduk. Aku tak terbiasa berdiri di bus. Pernah suatu ketika, tak ada lagi tempat duduk kosong dengan terpaksa aku harus berdiri. Setengah jam perjalanan aku tertidur. Betapa kagetnya saat sampai di terminal tujuan aku telah mencium lantai Bus. Aku kapok.
Dua sudut bibirku terangkat ke atas karena aku telah duduk santai di sudut belakang bus. Bus ini full penumpang. Lima orang terpaksa berdiri. Mukanya pucat menahan penat. Mungkin ditambah bau badan yang pekat di hidung. Bus berjalan perlahan. Sekali lagi, aku masih merasa sendiri di bus ini. Tak ada tegur sapa. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Sepi.
Untuk mengusir kesepian, aku mencoba berbincang dengan anak sekolah di sampingku.
"Mau ke mana, dek?"
"Mau tahu atau mau tahu bangggeet..." Ia terkekeh.
Anak sekolah zaman sekarang tak punya sopan santun atau mungkin itu bahasa gaul mereka? Aku mengalah.
"Mau tahu baangggeet!" Aku tak ketawa. Mulutku rapat. Mataku menatap wajahnya tajam.