Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Nenek Saini

12 Juli 2016   21:16 Diperbarui: 15 Agustus 2016   18:01 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah ibu selesai dengan acara gosip paginya, aku memberanikan bertanya, “Bu, apa warna motor mayat pria itu?” Ibu menatapku heran. “Kok, kamu mau tahu sih?” keningnya berkerut-kerut. “Mau tahu saja, Bu.” Lama kutunggu jawaban dari Ibu, akhirnya ia berkata, “Biru. Motor Matic!” Aku terpaku di tempatku berdiri. Tidak mungkin. Pikirku.

Aku bertanya lagi, “Pria itu, rambutnya gonrong yah, Bu? Kulitnya putih?” Kututup kedua telingaku dengan tangan. Tak sanggup aku mendengar jawaban dari Ibu. Semoga dugaanku salah, Tuhan. Hatiku mengucap doa.

“Bagaimana kamu bisa tahu, Naomi?”

Walau aku telah menutup kedua telingaku, suara ibu masih dapat terdengar. Ahh… Tubuhku menggigil. Padahal aku belum mandi pagi ini, cuacanya juga cerah. Lekas kuminum susu yang tersaji di meja makan. Namun, tubuhku masih saja menggigil.

***

Setelah seminggu tak bermain di lapangan seberang rumah. Jum’at sore ini, akhirnya kuputuskan untuk bermain di sana. Bukan bermain tapi aku ingin menyelidiki Nenek Saini. Aku penasaran, apa dia masih duduk menerawang di teras rumahnya? Apa ada orang lain lagi yang masuk ke rumahnya?

Cuaca sore ini agak mendung, awan putih tak terlihat, hanya sekumpulan awan hitam yang menghias langit. Kali ini, aku tak berbaring menatap awan, cuma duduk santai sembari menatap penuh telisik ke arah rumah Nenek Saini.

Benar saja, Nenek Saini duduk di teras rumahnya dengan perangai yang sama dengan Jum’at lalu. Apa yang dia lakukan pada tiap sore hari Jum’at? Lagi-lagi, gumpalan asap keluar dari sela-sela jendela rumahnya, dan tentu saja, bau kemenyan mengganggu hidungku, lagi.

Tak menunggu lama, seorang ibu akhirnya singgah ke rumah Nenek Saini. Pintu dan jendela tertutup rapat. Lima belas menit kemudian, ibu itu keluar dari rumah. Perban putih membalut leher di sebelah kanannya. Senyum sinis terukir di wajahnya. Nenek Saini melambaikan tangannya lembut dan dibalas oleh ibu itu. Kejadiannya hampir sama dengan kejadian Jum’at lalu.

Nenek Saini mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku kaget bukan kepalang. Dia tahu aku sedang menyelidikinya. Segera kuambil kuda-kuda, berlari pulang ke rumah. Secepat yang kubisa.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun