Jadi penulis cukup paham mengapa dengan susah payah Awang Faroek yang dalam keadaan sakit masih bersemangat menyuarakan paradoks tersebut. Bisa dimengerti mengapa dengan tegas ia mengingatkan ketimpangan yang ada dan meminta keadilan dalam konteks blok Mahakam.
Ketika kabar bahwa Pertamina akan mendapatkan hak pengelolaan blok Mahakam, ini bukan sekadar kebanggaan. Setelah setengah abad ditangani oleh asing dan kini diambil oleh Pertamina, kini pertanyaan antara nasionalisme dan realistas soal kemampuan kita menangani blok tersebut semakin menggema. Pertamina beberapa kali menyatakan kesanggupan dan optimismenya mampu mengelola blok Migas tersebut. Namun pertanyaan untuk ini adalah kempampuan mereka mempertahankan produksi migas yang sama dengan kapasitas produksi sebelumnya. Sebab penurunan produksi migas oleh Pertamina sebagai operator nantinya akan mengganggu pasar migas domestik. Mengusik kebutuhan republik ini akan migas.
Untuk hal ini barangkali menarik menyimak pandangan Irman Gusman yang menyatakan bahwa kepemilikan Blok Mahakam harus sepenuhnya menjadi milik Pertamina. Irman Gusman mencoba membuka ruang soal adanya propaganda terkait kemampuan kita mengelola migas sendiri sebagai alasan masuknya asing. Irman mencoba melihat pertanyaan soal kemampuan sebagai celah yang dipakai untuk menjadikan pihak asing sebagai operator di Blok Migas tersebut. Tapi di sisi lain, Irman juga mengkritik dan mendorong Pertamina untuk menempatkan kantor pusatnya di Kalimanta atau Riau selaku penghasil migas domestik.
Jadi pernyataan Irman pada satu sisi adalah sebuah upaya membangun kepercayaan terhadap kemampuan anak bangsa mengelola blok Mahakam. Pada sisi lain adalah sebuah bentuk kritik dan ketidakpercayaan pada Pertamina dalam mengelola strategi penempatan kantor pusatnya.
Hal menarik lain berasal dari Andang Bachtiar yang merupakan seorang Pakar Migas. Dengan manisnya si pakar migas ini menggelitik akal sehat kita ketika ia mendengar masih akan berlanjutnya negoisasi dengan Total EP dan Inpex selaku existing operator di blok Mahakam.
Menurutnya ketika bicara soal kesiapan yang berulangkali dinyatakan manajemen Pertamina secara mantap ia justeru mempertanyakan balik. Bila menyatakan siap mengapa masih harus ada negoisasi dan keraguan untuk mengambilalih dan mengelola sendiri blok tersebut. Menurutnya kesiapan mestinya juga mewujud dalam ketegasan dan keberanian mendesakkan kepentingan nasional dalam hubungan Business to Business antara Pertamina dan existing operator saat ini.
Ia memberikan cara pandang lain dan sekaligus sebuah strategi yang dipandang akan menjaga kepentingan kita di sektor migas. Cara itu berlaku bila Total EP masih akan digandeng untuk mengelola blok tersebut saat telah diserahkan pada Pertamina. Caranya dengan meminta Total EP juga memberi ruang pada Pertamina untuk memiliki saham pada blok-blok perusahaan Prancis tersebut di luar negeri.
Menurut Andang, cara demikian akan memberikan kesempatan Pertamina untuk bisa memperluas kapasitas internasionalnya sekaligus melakukan investasi migas untuk kepentingan nasional di luar negeri. Pola swap atau pertukaran porsi kepemilikan ini tentu menarik bilamana Pertamina kesulitan mengelola sendiri Blok Mahakam dan memberi waktu transisi yang cukup agar perusahaan plat merah ini bisa meningkatkan performanya.
Namun lepas dari pernyataan dua tokoh diatas, pertanyaan menarik lain tetap akan muncul. Misalnya soal bagaimana dengan nasib Pemerintah Daerah yang memandang selama ini belum kecipratan berkah memadai dari Blok Mahakam. Bagaimana persisnya bentuk Participating Interest sebesar 10% yang kabarnya akan diberikan pada daerah bila pada saat yang sama daerah belum punya kemampuan memadai.
Satu sisi Pemerintah Kalimantan Timur selalu menyatakan kesiapan mengambil Participating Interest yang dimungkinkan pemerintah pusat. Sayangnya kesiapan itu belakangan diketahui tidak didukung pendanaan yang memadai. Bahkan secara terang-terangan Awang Faroek berencana menggandeng swasta untuk menalangi dana yang dibutuhkan untuk mengambil 10% kepemilikan di Blok Mahakam tersebut. Dari saham 10% tersebut nantinya akan dibagi bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selaku pemangku kepentingan kabupaten dimana blok tersebut beroperasi.
Namun tampaknya niatan Awang Faroek tersebut tidak sejalan dengan kehendak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di awal, saat sambutan Sudirman Said sudah menyatakan bahwa pihaknya memandang bahwa keterlibatan swasta mesti dihindarkan. Hal ini mengingat pelibatan swasta dalam Participating Interest milik Pemda bisa bermasalah di kemudian hari sebagaimana pernah terjadi pada kasus kepemilikan saham daerah di Newmont.
Sudirman lebih memilih mencari jalan lain termasuk kemungkinan Pertamina yang akan mengasuh sementara Participating Interest milik Pemda untuk dibayar Kemudian. Hal ini menurut Sudirman tengah dibicarakan juga dengan Kementerian Keuangan untuk segera ditemukan solusi yang memungkinkan kepentingan daerah tetap terakomodir.