[caption id="attachment_378502" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi: Anjungan Migas di Blok Mahakam (Kompas.com)"][/caption]
"Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik" - Komitmen Politik Jokowi dalam NAWACITA
Pagi itu ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, tengah menyampaikan sambutannya. Sudah ratusan peserta hadir dalam Seminar Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia yang digelar Kompasiana itu. Awang Faroek, Gubernur Kalimantan Timur, masuk dengan kursi roda dan dibantu oleh stafnya.
Melihat seorang Gubernur yang akan menjadi panelis dalam seminar adalah biasa. Menjadi tidak biasa ketika dalam keadaan belum pulih dari sakit, si Gubernur berjuang hadir. Dengan dipapah oleh staf ia diarahkan ke kursi para panelis lain diantaranya Irman Gusman selaku Ketua DPD RI, Widhyawan Prawira Atmaja selaku Staf Ahli Menteri ESDM, dan Andang Bachtiar seorang pakar Migas Indonesia serta Syamsu Alam selaku Direktur Hulu Pertamina.
Helmi Yahya yang menjadi moderator acara tentu harus melakukan berbagai penyesuaian untuk si Gubernur. Termasuk ketika panelis lain berdiri menyampaikan paparan, Gubernur menyampaikan dari tempat duduknya. Meski demikian, suara lantang seorang Awang Faroek masih terasa jelas ketika akhirnya ia mendapat kesempatan berbicara.
Dalam konteks penyelamatan sumber daya Migas yang mengambil contoh Blok Mahakam tersebut, Awang tampak berjuang untuk mendapatkan hak daerah Kalimantan Timur. Kesempatan ini muncul setelah selama 50 tahun blok Mahakam berada dalam genggaman operator Migas asing sekelas Total EP dan Inpex.
Blok Migas yang terbesar di Indonesia tersebut memang berada dalam wilayah Kalimantan Timur yang merupakan wilayah pimpinan Awang Faroek. Maka ketika akhirnya pengelolaan blok Migas itu akan diambil alih oleh Pertamina selaku BUMN dan ada peluang daerah mendapat Participating Interest di dalam pengelolaannya, tentu wajar Awang tak tinggal diam.
Dalam kondisi masih sakit dan kadang dengan suara yang bergetar, Awang menyampaikan data yang barangkali menarik untuk disimak. Selain potensi kekayaan alam, disampaikan juga data mengenai kerusakan alam akibat berbagai aktivitas bisnis pertambangan di daerahnya. Termasuk soal paradoks Kalimantan Timur selaku lumbung energi yang sampai hari ini masih kekurangan energi untuk dirinya sendiri.
Pada paparannya Awang Faroek menyampaikan hasil Survey British Petroleum pada 2013 yang menyebut bahwa sisa energi berbasis fosil yang dimiliki dunia yaitu Migas dan Batubara diprediksi hanya mencukupi hingga 52 tahun. Dalam konteks Indonesia survey tersebut menunjukkan bahwa sisa energi nasional Indonesia untuk Gas Bumi tersisa 103,3 Trillion Cubic Feet atau setara dengan penggunaan selama sekitar 50 tahun sebelum akhirnya habis. Potensi Batu Bara disebut tersisa sekitar 136 Miliar Ton yang diprediksi memadai hingga 83 tahun. Sementara untuk minyak bumi tersisa 3,7 Miliar Barrel atau setara dengan penggunaan selama 10 tahun.
Untuk Kalimantan Timur sendiri disebutkan Gas Bumi tersisa 24,96 Trillion Cubic Feet atau setara dengan penggunaan selama 20 tahun sebelum akhirnya habis. Komoditas batu Bara tersisa 25,13 Miliar Ton dan akan habis dalam waktu 90 tahun. Sementara Minyak Bumi tersisa 765,75 Miliar Barrel atau mencukupi untuk waktu 10 tahun.
Blok Mahakam sendiri berdasarkan data yang disampaikan Awang faroek menghasilkan gas sekitar 1,6 TCF dan kondesat sebesar 67 kilo barel setara minya. Sejak tahun 1967 Blok Mahakam telah dioperasikan Total EP yang merupakan perusahaan asal Prancis dan INPEX Corp dari Jepang.
Bukan kali ini saja Awang Faroek berbicara soal paradoks ini. Ia sejak beberapa tahun terakhir konsisten mempertanyakan ketimpangan yang terjadi antara kekayaan alam Kalimantan Timur yang telah menopang kehidupan industri di Pulau Jawa dengan kondisi faktual di daerahnya.
Ketika batubara mereka selama sekian puluh tahun dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dan bahkan kebutuhan energi negara-negara asing. Fakta bahwa Kalimantan Timur masih sering mengalami gangguan listrik rupanya cukup mengusik.