Mohon tunggu...
Selvi Aes
Selvi Aes Mohon Tunggu... Guru - Guru

terus belajar menggali mimpi yang tertunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

We're The Master of Our Sea

21 November 2023   16:20 Diperbarui: 21 November 2023   16:22 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber koleksi pribadi

Kesakitan yang berubah menjadi ketangguhan. Penggalan dari lagu Believer 'Imagine Dragon.

"Aku harus bangkit, aku harus bisa membuktikan pada mereka, aku harus bisa," lirihku di depan layar laptop.

"Yo, kita main PS dulu!" ajak Fahri. 

Fahri sahabatku dari TK. Kami berbagi kamar semenjak duduk di bangku SMP. Karena orang tua Fahri bekerja di luar negeri, ia tinggal dengan kami. Sedangkan ayah dan ibuku tinggal di Semarang.

Tak jarang ia membuatku kesal karena kejahilannya. Namun kami bak Asterix dan Obelix. Kekonyolan kami seringkali membuat orang-orang di sekitar memandang kami sebelah mata. Stigmata yang menilai masa depan kami nanti akan suram, hanya bermain-main. Kedua orang tua kami menganggap pendidikan tinggi dan nilai tinggi adalah kunci kesuksesan. Bertolak belakang dengan pandangan kami terhadap kesuksesan.

"Hadeuh, loe kagak lihat gue lagi nyiapin proposal buat proyek kita." Jawabku tanpa menoleh.

Sambil memukul-mukul kepalaku pelan dengan tongkat sakti penghilang pegal, ia terus menggangguku. Melihatku masih fokus tidak terganggu oleh kejahilannya.

"Prakkkk!!!" suara laptopku ditutup, Fahri menjulurkan lidah, meledek, memancingku berlari mengejarnya.

Mendengar riuh suara di luar kamar, Kak Cici keluar. Melihat remah camilan berserakan, minuman kaleng yang tumpah di karpet membuat kedua mata kakakku keluar memancarkan kilatan api yang siap membumihanguskan permainan.

Sedang asyik-asyiknya bermain PS, saling menyerang sebagai striker. Kepala dan badan kami berdua tak luput dari serangan membabi buta kak Salsa menggunakan bantal sofa. "Makan ini lemparan sudut gue," ucapnya "Kalian ini bisanya cuma main-main terus kapan belajarnya."

Mendapat serangan tersebut, sontak kami lari masuk ke dalam kamar.

"Klik" 

"loe sih Ri, udah gue bilang nanti maen PS nya, lagian kerjaan lo juga belum bereskan? kataku.

"Hehehehe.." sambil menggaruk kepala Ia kembali ke tempatnya.

Kami Pun kembali fokus menyelesaikan bahan proposal untuk presentasi esok pagi. Kami berdua memiliki hobi yang sama, suka dengan hal-hal yang berbau IT. Esok pagi waktunya bagi kami memasuki tahap final lomba kompetisi robotika tingkat nasional yang diselenggarakan oleh salah perusahaan swasta yang sedang mencari bakat-bakat milenial dalam pemrograman.

Pagi hari yang kami tunggu sejak 3 bulan lalu akhirnya datang juga.

"Siap kita berangkat," awas ada yang ketinggalan! " ucap Fahri sambil melihat sekeliling kamar yang sudah tidak bisa disebut cozy room lagi. Bak kapal pecah karena seminggu ini kami tak sempat membereskan.

"Kak Cici, kita mau berangkat." sambil mengetuk pintu kamarnya. Fahri masih memakai sepatu kesayangannya yang sudah dekil. 

Kak Cici pun keluar "Hoammmm," berjalan mendekati kamar kami. Pintu kamar kami dibuka, seketika pandangan Kak Cici bak Thanos. "Apa-apaan ini, kamar apa gudang?" teriaknya lantang.

"Swoosh" Bukan uang bensin yang kami dapatkan namun sandal jepit yang terbang melayang ke arah kami.

Sesampainya di area kompetisi, rasa gugup tak dapat dibendung karena persaingan kami sampai di tahap ini sangat berat. Sudah tak terhitung kegagalan yang kami dapatkan. Sampai kami pernah menyerah dan putus asa, terlebih lagi tidak ada dukungan dari keluarga.

Saat presentasi berlangsung, Fahri sempat membuat kesalahan. Namun dengan cepat ia memperbaikinya dan berusaha meyakinkan panitia efek dari kesalahannya sangat minim. 

Selesai presentasi. Aku terbawa emosi karena kesalahan yang ia buat. Kami bertengkar, beradu mulut dan berakhir dengan diam seribu bahasa. Terlihat penyesalan yang mendalam di raut wajah Fahri. Kekesalanku pun tidak dapat diredam. Ingin rasanya segera pulang tanpa harus menunggu hasil pengumuman.

Baru hendak beranjak tuk meninggalkan ruangan, panitia meminta semua peserta berkumpul. 

Ketua panitia memberikan sambutan dan sesekali terdengar gurauan yang memaksaku tertawa kecil. Juara dua sudah dibacakan. "Tak ada harapan bagi kami untuk menang," lirihku.

"The Master, mana The Master?" 

sambil celingukan, Fahri dan aku melirik kanan kiri, namun tak ada sorak -sorai menyambut kemenangan seperti juara 3 dan 2.

"Yo, bukannya The Master itu kita yah,? kita bukan sih?" Ucap Fahri kebingungan sambil menggaruk kepalanya.

Butuh beberapa detik aku menyadari "The Master itu kita, Ri" kataku.

Sambil bertatapan. Kami melompat-lompat kegirangan melakukan selebrasi menyalami kandidat lainnya dan para panitia. Terlihat ada beberapa yang memperlihatkan kekecewaan.

Tiba di podium "We're The Master of Our Sea!" Teriak kami memegang piala sambil berangkulan bahu.

Semua yang hadir di ruangan bersorak dan bertepuk tangan. Kilatan flash kamera dari segala penjuru ruangan membuat kami terus tertawa bahagia dan tak bisa menahan rasa haru. Mataku berkaca-kaca mengingat jerih payah dan kerja keras kami yang selama ini tidak pernah dianggap akhirnya membuahkan hasil.

SLA pecinta kopi hitam tanpa gula.

2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun