Saya percayakan kepada kaki yang melangkah.Â
Entah kemanapun arahnya, saya akan mengikuti.Â
Tempat antah berantah bukan lagi suatu kejutan.Â
Datang, menetap, dan berlalu seperti angin.Â
Itulah Sang Pengembara.
Ketakutan terbesar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akhirnya terjadi. Tujuh tahun lalu di Gregoria. Rasa sakit pertama dialami saat kehilangan orangtua dan seorang adik laki-laki. Terbilang usianya masih sangat muda saat itu. Namun, hidup harus terus berlanjut. Kepahitan yang ia alami membuatnya menjadi lebih kuat dan berani menghadapi apapun.Â
Hal terburuk telah mampu diewati. Apalagi yang bisa lebih buruk dari kehilangan orang yang dikasihi?Â
Wabah penyakit dan kelaparan melanda kota Gregoria tujuh tahun lalu. Tidak ada yang tersisa selain bangunan perumahan penduduk dan tumpukan mayat. "Saya tidak akan berakhir disini", kalimat pendek yang terus ia ucapkan setiap detik. Â Â Â
Ia pun berlalu meninggalkan kota tempat ia tumbuh setelah selesai menguburkan keluarganya. Kisah pengembara pun dimulai. Menempuh perjalanan berhari-hari ditengah gurun tanpa arah tujuan. Persediaan makanan sudah menipis dan tidak ada tanda-tanda pertolongan.Â
"Saya tidak akan berakhir disini"
"Saya tidak akan berakhir disini"
"Saya tidak akan berakhir disini"
"Saya tidak akan berakhir disini"
"Saya tidak akan berakhir disini"
Hanya kalimat tersebut yang sanggup ia ucapkan berulang kali hingga pandangannya gelap.Â
"Tubuh saya terasa ringan seperti diangkat angin. Memasuki pelataran asing. Dimana ini? Siapa mereka?" Â
Pengembara kehilangan kesadarannya. Saat terbangun, didapatinya berada didalam kamar mewah berlapis emas.Â
"Saya pikir penglihatan tadi bukanlah omong kosong. Tempat apa ini?", ia mulai merasa takut. Sekujur tubuhnya merasakan ketegangan yang luar biasa. "Ini seperti tempat suci yang tidak pernah saya datangi sebelumnya".
Makanan dan minuman berlimpah telah tersedia di samping tempat pembaringan. Lapar dan dahaganya pun seakan lenyap kala menyantapi jamuan tersebut. Â Lambung kosong telah terisi kembali. Perut kenyang membuat matanya sayu dan kembali dalam tidur.Â
"Ah", ujarnya merasakan perih di bagian punggung. Betapa terkejut dirinya saat sadar sedang terlentang di atas gurun.Â
"Bangun. Pergilah ke sana. Jangan takut", terdengar suara aneh berbisik memberi perintah.
 "Siapa kamu? Apa yang kamu mau dari saya", teriak pengembara. Tidak ada balasan sedikitpun, tetapi kata hatinya memaksa mengikuti suara tersebut.Â
Tiba-tiba ia seperti kehilangan kontrol atas tubuhnya sendiri. Kakinya pun memaksa berdiri dan melangkah ke arah yang entah kemana tujuannya.Â
"Saya lelah. Mau dibawa kemana saya? Jangan sampai saya mati sia-sia disini", teriaknya lagi kepada entah siapa yang mendengar.Â
Dari kejauhan terlihat sebuah kereta kuda yang mengarah kepadanya.Â
"Tetaplah disini. Dia akan menolongmu", suara itu kembali berbisik.Â
Semakin dekat jaraknya nampak lima orang pasukan kerajaan yang bertampang garang. Sesungguhnya pengembara ingin lari menyelamatkan diri, tetapi apa daya tubuhnya tidak bisa digerakkan.Â
"Siapa namamu Nona?", tanya seorang prajurit. Ia dan kudanya di posisi paling depan. Sepertinya, ia adalah ketua pasukan.Â
Saat mulut pengembara akan berucap, tiba-tiba muncul bisikan "Rahasiakan jati dirimu". Seketika bibirnya terkatup dan tidak menjawab sedikitpun.Â
"Kamu bukanlah bangsawan. Itu terlihat jelas. Bawa dia", perintah ketua pasukan.
Pengembara dimasukan kedalam peti besar bagian belakang kereta. Matanya ditutup dan tangannya dirantai.Â
"Mengapa saya diperlakukan layaknya pemberontak seperti ini?", pintanya bingung dalam pikiran.Â
Perlahan pandangannya mulai kabur dan gelap.Â
Perjalanan spiritual pertama pengembara dimulai dari kota asing ini.Â
- bersambung - Â Â
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI