SENIN, 21 OKTOBER 2024
Sekiranya.. Sudah tiga kali matahari terbenam hanya untuk melihat sesosok anak adam yang teronggok. Punggungnya hanya disandarkan pada pohon, tangannya yang diborgol hanya memainkan garis-garis pohon yang disandari, sedangkan kakinya dibiarkan terselonjor mengenai tanah yang becek. Kulit-kulitnya yang tipis beberapa kali diciumi nyamuk, bibirnya yang kering beberapa kali dibasahi oleh cipratan air daun.
"Makan!" Sesosok anak adam yang lain datang. Badannya besar dengan khas mukanya yang sangar. Tangannya yang berjejak darah menyodorkan sepiring nasi kuning dengan dua potong ayam goreng, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasakan perutnya menadah-nadah minta disuapi.
Nawan tak bergerak dari tempatnya, ia bahkan memalingkan wajahnya pada cacing-cacing di tanah. Jijik, dia hanya akan menyuapi mulutnya dengan makanan yang baik. Bukan makanan yang tiap butir nasinya terkristal tangisan rakyat.
"Bebal! Makan saja banyak maunya!"
"Pura-pura teguh iman dia. Manalah kita tahu perutnya sudah teriak Nawan makan saja Nawan, baik kita telan makanan yang lezat itu daripada mati. Sudah begitu matinya malah tak guna apa-apa."
Mereka tertawa, mengejek-ejeknya. Tapi, tiga suara itu terdengar baru di telinganya. Nawan baru menyadari ada lebih banyak orang dari dua hari kemarin. Hinggaplah kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya semakin bergejolak. Sudahkah waktunya?
Binatang-binatang ini pasti akan membinasakan tangkapannya. Boleh jadi.. Leher-leher yang semula tergantung keteguhan untuk sejahtera akan berganti menjadi kerangkeng api. Kerangkeng yang membinasakan setiap nilai-nilai luhur yang tergenggam erat.
"Tur, ga ngerti sekali kamu dengan maksudnya. Dia itu ingin makan cacing! Sejak tadi lihatnya cacing terus!" Tanggapan itu dengan cepat dibalas senyum oleh Guntur. Dilihatnya si Badan Besar dengan tatapan yang penuh perintah.
Nawan sedikit tersentak saat rambut keritingnya dicengkeram oleh si Badan Besar. Mulutnya dibuka paksa, ia terlalu lemah untuk mengatupkan bibirnya, terlalu tak bertenaga hanya untuk sekedar menggelengkan kepalanya. Maka cacing-cacing tanah itu masuk, cacing-cacing itu menggeliat dalam mulutnya, menggerakkan tubuhnya dengan cepat, lalu berteriak dengan mulut tertutup saat gigi Nawan mengunyahnya.
Orang-orang itu tertawa, pertunjukan yang mereka saksikan membawa angin-angin hiburan yang menyejukkan. Beberapa dari mereka bahkan meminta si Badan Besar memasukkan lebih banyak cacing, sedangkan beberapa yang lain tertawa saat melihat Nawan memuntahkan isi perutnya.
Malam ini, mereka semakin menggila. Mereka memulai malam-malam berdarah itu dan menyambutnya dengan tawa riang---yang menjadi ruang kematian bagi Nawan
Maka sekali saja kematian itu datangÂ
Seribu kali kehidupan akan tumbuh dari gumpalan darahnya
Alat-alat pesta mereka sudah siap, masing-masing membawa cangkir untuk menadah darah Nawan. Ouh, mereka membuat pertunjukan sains, menayangkan tubuh yang kejang terkena alat kejut. Dan lagi, mereka membawa alat istimewa itu.. Yang sudah berlumur kehidupan dari gumpalan teman-temannya.. Ya, teman-temannya.. Juga..
Tidak ada teriakan dalam darahku yang menyentuh tanah
Justru, aku melihat darah-darah merekalah yang meraung, meminta mati pada yang menghidupinya
Juga darah yang sama yang meminta agar yang dihidupinya dibinasakan
Aku.. Bersorak.. Melihat mereka yang menggelap dari lubang-lubang tambang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H