Mohon tunggu...
Abdul Basir
Abdul Basir Mohon Tunggu... profesional -

Mantan guru Biologi. Sedang aktif di dunia Startup. Penulis dan pencerita macam-macam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menilik Persaingan Kantin Sekolah a la Startup Canggih

20 Mei 2016   17:02 Diperbarui: 20 Mei 2016   17:15 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa Pedagang Kantin SMA N 70 Jakarta Selatan

Start-Up kayaknya lagi ngetrend banged. Terutama di kalangan anak muda. Dan kita harus selalu waspada dengan yang namanya trend.

Start up yang berhasil mendapat pendanaan memiliki strategi yang lebih baik dalam masuk dan menjadi pemilik pasar yang dominan. Salah satu strategi yang sering dianut adalah promo dan subsidi harga.

Contoh terbaik : ride-hailing app startup yang diwakili Grab, Gojek dan Uber. Siapa coba tidak suka disubsidi tarifnya ? Membakar duit investor masing - masing, sambil menyusun exit strategy IPO / akuisisi sekaligus menyakiti hingga mati kompetitor.

Di SMA N 70, tempat saya mengajar , para pedagang kantin disini juga sedang mempraktekkan persaingan bisnis ala start up teknologi canggih. Produknya bukan aplikasi pesan ojek, hanya sekedar soto ayam dan nasi rames, nasi dengan menu ala rumahan.

Selayang Pandang Kantin SMA N 70

Kantin SMA N 70 terletak di kawasan utama sekolah, di bagian belakang. Lokasi nya cukup strategis dimana para pelajar dari kelas-kelas yang berlokasi di empat lantai dapat menjangkaunya dengan mudah. Juga, para guru dan karyawan yang ruangannya terletak tidak jauh dari situ.

SMA N 70, juga SMA - SMA lainnya memiliki dua waktu istirahat. Satu di jam 10 pagi selama lebih kurang 15 menit, lalu istirahat kedua sekitar jam 12 selama 45 menit. Pada istirahat pertama, umumnya tidak banyak pelajar maupun guru/karyawan yang jajan di kantin. Kebanyakan mereka tinggal di ruangan masing-masing. ada yang membuka bekal yang dibawa, lainnya sekedar tidur meringankan beban akademis yang berat. Sebagian lagi meluangkan waktu ke masjid dan taman. Sedikit kelompok yang ke perpustakaan.

Pada jam istirahat kedua, dipotong waktu solat, kantin akan mulai dikunjungi cukup banyak orang. Walaupun tidak merata. Nah, perihal ini yang akan saya bagi ceritanya.

Sesekali sekaligus saya membeli makanan dan minuman disana, saya berbincang-bincang dengan para pedagang. Bu Darling, Bu Yuni, Bu Mul, Pak Lumut, Pak De Jus dan masih banyak lagi. Mungkin kamu pelajar/alumni SMA N 70 yang sedang membaca artikel ini pun telah mengenal beliau-beliau dengan baik.

Dalam kebanyakan cerita sering terselip keluhan bahwa di masa-masa sekarang, pendapatan harian mereka cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun kejayaan mereka ( saya kurang tahu kapan )

Beberapa keluhan yang sering mereka lontarkan

  • Sekarang anak - anak ga boleh jajan diluar jam istirahat ( ini saya setuju banged, maaf bapak ibu kantin)
  • Sekarang banyak anak sudah bawa bekal dari rumah ( wah, terimakasih mama - papa sudah begitu perhatian )
  • Banyak anak sering order makanan dari luar. ( Kemajuan teknologi cenderung membuat malas, walau sekedar berjalan ke kantin sekolah )
  • Pedagang - pedagang kantin tidak memiliki aturan tentang produk yang dijajakan (nah ! ),

Karena tidak ada aturan terkait produk apa yang boleh dijual. Maka siapapun bebas berjualan apapun yang dia mau. 

Mekanisme nya begini. Setiap awal tahun pelajaran baru, para pedagang akan dikumpulkan oleh penanggung jawab dari sekolah, mereka diberikan nomor yang akan diundi terkait posisi mereka nanti di kantin. Yang menjadi masalah adalah pihak perwakilan sekolah, tidak mengatur produk apa yang dijual. Semua dibebaskan ke mekanisme pasar. Yang utama adalah agar para pedagang ini tertib membayar iuran dan menjaga kualtias kantin. Praktik kapitalisme kecil-kecilan.  

( Kalau yang ini baru praktikum beneran. Semua suka Biologi. Dokumentasi pribadi )
( Kalau yang ini baru praktikum beneran. Semua suka Biologi. Dokumentasi pribadi )

Mekanisme Pasar, Studi Kasus Kantin SMA N 70

Antara Gojek, Grab dan Uber sedang terjadi perebutan manis dan gurihnya kue konsumen ultra-konsumtif Indonesia. Gojek yang tadinya ga main di ekosistem permobilan bikin Go-Car, Uber yang tadinya ga main di Perojekan bikin Uber Moto, Grab pula ini ikut - ikutan bikin layanan antar dokumen/barang. 

Siapa yang diuntungkan disini ? Konsumen tentu saja. Mereka bebas memilih mana suka layanan yang relatif sama dengan harga yang paling murah. Benarkah begitu ? Boleh kita lihat lagi cerita di kantin kesayangan kita.

Nah, namanya juga mekanisme pasar, tentu akan ada permintaan dan penawaran. Ketika ada permintaan yang tinggi pada minuman dingin terhadap penjual soto, maka penjual soto yang tadinya tidak menjual minuman dingin akan mulai menambahkan minuman dingin dalam produknya.

Ringkasan dialognya seperti ini

Siswa : Bu, ada Aqua dingin ga ?

Tukang Soto : Wah, ga ada mas, di Pak itu saja

Siswa : Ah males bu. Masa jalan kesana

Coba tebak ? Penjual soto besok sudah datang ke kantin dengan cooler box berisi berbagai macam minuman. Sangat Start up ya.

Dalam kasus lain nya, bisa jadi yang dibahas adalah makanan, Bagaimana sang penjual soto yang tadinya cuma menjual soto akhirnya menjual juga nasi rames dan sekalian malah mungkin bikin mi rebus/goreng juga. Dalam suatu hari, kantin tidak biasanya begitu ramai sehingga seorang siswa calon penikmat mi rebus malas mengantri di penjual resmi dan pionir mi rebus di kantin. Penjual soto yang mendengarkan keluhan sang siswa akhirnya besok datang dengan satu dus berisi mi instan beraneka rasa.

Penjual soto akhirnya berkompetisi langsung dengan penjual minuman dingin, mi rebus dan nasi rames. Jika gelap mata, pihak yang ditiru akan membalas ikut menjual minuman dingin dan lain-lain sesuai penirunya. Entah karena sekedar tidak ingin disaingi atau memang karena adanya permintaan tinggi yang bisa jadi hanya tren sesaat.

Akhirnya, karena nyaris tidak ada perbedaan jelas tentang apa yang dijual oleh pedagang di kantin, konsumen, dalam hal ini tidak hanya pelajar tapi juga guru dan karyawan, akan mengunjungi pedagang manapun yang dia ingin. Tidak melulu atas dasar dia suka, tapi bisa saja karena sekedar paling dekat, paling terlihat, atau ajakan teman-teman, istilah keren dari Word of Mouth.

Suatu ketika, pembicaraan yang terjadi dengan para pedagang kantin yang merasa dirugikan diwarnai dengan kalimat

Orang - orang ini ga mikir apa ya. Semua jual minuman dingin. Semua jual nasi. Harusnya itu kan masing-masing gitu lho.

Tapi sekarang bagaimana bu pendapatannya ?

Sekarang ga seberapa pak Abas. Tapi ya harus tetap disyukuri.

Konsekuensi dari menjual produk yang sejenis dengan kualitas dan kuantitas yang relatif sama, persaingan akhirnya merambah ke hal harga. Semua pihak yang berkompetisi berusaha menghadirkan produk dengan harga yang semurah mungkin. Apalagi dengan kondisi menurunnya kunjungan para pelajar ke kantin.

 Menurunkan kuantitas atau kualitas produk bisa jadi bunuh diri karena dapat berimbas dengan keengganan konsumen untuk membeli. Mereka yang paling lama bisa bertahan dengan kuantitas dan kualitas sebaik mungkin namun dengan harga yang semurah mungkin lah yang akan jadi pemenang. Mengalahkan yang lain. Atau sebenarnya mematikan mereka.

Sangat start up dan kekinian bukan sih?

 

( Ini Driver Gojek beneran, pak Kasmudin, mantan Satpam SMA N 70. Dokumentasi pribadi )
( Ini Driver Gojek beneran, pak Kasmudin, mantan Satpam SMA N 70. Dokumentasi pribadi )

Memang Apa Salahnya Dengan Itu Semua ? 

Gojek, Grab dan Uber didukung pemodal besar. Uang dengan jumlah yang kayaknya tanpa batas. Ketika salah satu kemudian keluar menjadi pemenang pun, yang lain tidak sedih - sedih amat. Para founder dan direktur tentu sudah mengakumulasi cukup banyak kekayaan dari kegiatan bisnisnya. Para armada pengemudi pun tidak akan kehilangan pekerjaan. Saat yang terjadi adalah akuisisi, para pengemudi akan langsung terbeli satu paket dengan bisnis yang dijajakan ke pemilik baru. Keren kan.

Kembali lagi ke cerita para pedagang kantin.

Para pedagang ini tidak didukung perusahaan ventura. Tidak mungkin East Venture atau 500 Startups mau berinvestasi di mereka. Modal mereka bisa jadi diputar harian. Keuntungan hari ini diputar untuk jadi modal esok hari. Kalau sedang merugi maka mereka menggunakan simpanan uang atau meminjam ke teman.

Aktivitas bisnis cuma berlangsung 5 hari. Malahan cuma 3 jam per hari. Seminggu cuma berbisnis 15 jam. Walau satu tahun adalah 12 bulan, nyatanya hari sekolah mereka bisa menjalankan bisnis mereka tidak lebih dari 9 bulan. Terpotong libur sekolah dan bulan ramadhan.

Namun, mereka adalah individu - individu yang tangguh, yang sedang mempraktekkan langsung konsep seleksi alam.

Belakangan beberapa pedagang baru masuk ke kantin. Menjajakan produk mulai dari Bakso, Waffel, sate padang, Gulai, bubur ayam, hingga fast food ala jepang. Bakso, Waffel, dan fast food Jepang sudah undur diri karea tak sanggup berkompetisi. Mereka pendatang baru yang berhasil sintas sekarang sedang menjalani hari - hari " pendapatan tidak seberapa namun harus disyukuri " seperti halnya pedagang lain yang berhasil terseleksi dengan baik.

Tapi, bagus dong pak kalau begitu, kita kan sebagai konsumen akan diuntungkan kata rekan mengajar saya suatu waktu

Betul-betul sekali. Bergantung atas dasar konsep kemakmuran yang mau kita anut, maka persaingan ala start up kantin ini sudahlah benar adanya. Salah satu atau dua dari mereka mungkin akan survive, menguasai pasar SMA N 70, menjadi pemain dominan. Mereka akan lebih makmur. Menguasai lebih banyak kekayaan, menjadi sejahtera.

Yang lain menyingkir, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang pantang menyerah mungkin akan mencoba lagi. Hadir dengan bisnis baru yang lebih inovatif (semoga). Mereka yang tidak berdaya, memilih hidup dengan standar yang dipilih.

Tidak ada yang salah sekali lagi, namun, pemerintah, dalam hal ini pihak sekolah kan punya wewenang agar membuat apa yang sudah atau akan terjadi lebih elegan. Lebih menyenangkan. Membagi adil kesejahteraaan.

Tapi, seandainya tidak mau mengatur pun ya memang tidak salah. Pemerintah di tiap jenjang tentu punya masalah lain yang lebih penting. Pemerintah bisa lebih fokus memikirkan hal yang lain alih-alih sekedar pedagang kantin. Bergantung konsep kemakmuran yang dianut. Membiarkan mekanisme pasar bekerja kan memang lebih mudah dan praktis.

Bukankah kita memang sudah terbiasa menerima fakta tentang sebagian kecil orang yang menguasai sebagian besar kekayaan ?

Nah, seandainya, pemerintah (pihak sekolah-red) di manapun Anda sedang mengemban amanah sekarang lebih suka agar kesejahteraan itu bisa terdistribusi secara adil, berikut beberapa usul yang bisa saya ajukan untuk isu pedagang kantin yang mengalami fenomena ini. Biar tidak sekedar bunyi tanpa urunan solusi :

  1. Dimediasi oleh pihak sekolah, dilakukan kesepakatan terhadap produk yang akan dijual ( untuk pedagang baru ) dan penyesuaian produk yand telah dijual ( untuk pedagang yang lebih awal agar kembali ke produk bawaannya ).
  2. Kegiatan sekolah yang memerlukan ketersediaan konsumsi agar menggunakan jasa pedagang kantin.
  3. Dibentuk sebuah paguyuban dimana pihak kantin (bisnis), pihak perwakilan-perwakilan pelajar, guru, dan karyawan (konsumen), dan Kepala Sekolah-Kepala Tata Usaha (pemerintah) bisa bertemu dan saling membangun. Atau minimal sekedar curhat. Arisan juga gapapa. 
  4. Sekolah menghimbau agar para pelajar tidak makan dan minum menu mereka di kelas, dengan alasan utama kebersihan dan agar mereka bersosialisasi dengan teman lain kelas dan masyarakat sekolah lainnya.

Baru setelah itu, terserah konsumen memilih apa yang mereka butuhkan dari Gojek, Uber, atau Grab (?!). hehe.

Mungkin para pembaca punya saran yang ingin ditambahkan, saya terbuka untuk segala masukan :) . Ditunggu juga pendapatnya tentang artikel ini. Dan , jika dirasa bermanfaat, tulisan ini silahkan dibagikan ke media sosial.

Info tambahan tidak penting : 

Saya mengusahakan selalu jajan bergantian dari pedagang ke pedagang.

(Artikel ini sebelumnya telah saya terbitkan di indonesiadigitalsolution.net)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun