Akhirnya, karena nyaris tidak ada perbedaan jelas tentang apa yang dijual oleh pedagang di kantin, konsumen, dalam hal ini tidak hanya pelajar tapi juga guru dan karyawan, akan mengunjungi pedagang manapun yang dia ingin. Tidak melulu atas dasar dia suka, tapi bisa saja karena sekedar paling dekat, paling terlihat, atau ajakan teman-teman, istilah keren dari Word of Mouth.
Suatu ketika, pembicaraan yang terjadi dengan para pedagang kantin yang merasa dirugikan diwarnai dengan kalimat
Orang - orang ini ga mikir apa ya. Semua jual minuman dingin. Semua jual nasi. Harusnya itu kan masing-masing gitu lho.
Tapi sekarang bagaimana bu pendapatannya ?
Sekarang ga seberapa pak Abas. Tapi ya harus tetap disyukuri.
Konsekuensi dari menjual produk yang sejenis dengan kualitas dan kuantitas yang relatif sama, persaingan akhirnya merambah ke hal harga. Semua pihak yang berkompetisi berusaha menghadirkan produk dengan harga yang semurah mungkin. Apalagi dengan kondisi menurunnya kunjungan para pelajar ke kantin.
 Menurunkan kuantitas atau kualitas produk bisa jadi bunuh diri karena dapat berimbas dengan keengganan konsumen untuk membeli. Mereka yang paling lama bisa bertahan dengan kuantitas dan kualitas sebaik mungkin namun dengan harga yang semurah mungkin lah yang akan jadi pemenang. Mengalahkan yang lain. Atau sebenarnya mematikan mereka.
Sangat start up dan kekinian bukan sih?
Â
Memang Apa Salahnya Dengan Itu Semua ?Â
Gojek, Grab dan Uber didukung pemodal besar. Uang dengan jumlah yang kayaknya tanpa batas. Ketika salah satu kemudian keluar menjadi pemenang pun, yang lain tidak sedih - sedih amat. Para founder dan direktur tentu sudah mengakumulasi cukup banyak kekayaan dari kegiatan bisnisnya. Para armada pengemudi pun tidak akan kehilangan pekerjaan. Saat yang terjadi adalah akuisisi, para pengemudi akan langsung terbeli satu paket dengan bisnis yang dijajakan ke pemilik baru. Keren kan.
Kembali lagi ke cerita para pedagang kantin.