"Terus, Aku juga harus tahu tentang Hak dan Kewajiban, sebagai Pegawai," jawabnya lugas.
"Jadi Kamu bersekolah hanya bermimpi untuk jadi pegawai?" Aku kembali menanyakan lebih tajam.
"Prioritas utamaku sih Jadi Karyawan yang sukses dan setelah itu baru deh berpikir jadi Pengusaha," Kata Putriku mencoba menjelaskan lebih detail.
"OK, Kita kembali ke topik awal. Kenapa Kamu enggak ikutan demo?"
"Aku punya cara lain untuk berjuang," Kata Putriku tegas.
"Berjuang? Emang jaman perang?" potong si Bungsu.
"Eiiiits, Anak SMK sebaiknya simak dulu yaaaa!" Aku mencoba meyakinkan si Bungsu.
"Seperti apa, contohnya!" sahutku melanjutkan pertanyaan yang belum selesai.
"Aku belajar di Kampus seperti ini juga sedang berjuang untuk kehidupan ke depan," Putriku menjelaskan alasannya.
"Hmmmm, good reason," jawabku singkat.
Begitulah Dialog pertama kali dengan Putriku di saat Ia berada di awal-awal menikmati bangku kuliah. Cara pandangnya yang sangat pragmatis saat itu, seakan memberi alarm kepada diriku agar terlibat dalam membantu dirinya memahami makna hidup. Aku tidak ingin Putriku termasuk Mahasiswi Kupu-Kupu (Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang) yang hanya asyik dengan Kampus dan lebih mengutamakan Intelectual Capital dibandingkan Psychological Capital dan Social Capital.