"Gini-gini. Saya tetap bayar sebulan penuh. Kamu bawa koran sesempatnya aja," kataku enteng.Â
"Tapi Pak. Aku kan jadi ngutang terus dong?" katanya mencoba berhitung.Â
"Enggak begitu. Kamu biasa aja ngeloper koran. Kalo Kita ketemu itu rezeki Saya, tapi kalo enggak ketemu, ya udah enggak apa-apa," Lanjutku menjelaskan.Â
"Enggak apa-apa Pak," sahutnya ragu-ragu.Â
"Kamu cukup menunggu Saya hari Senin-Jumat sampe jam 07.00 malam di tempat ngetem Bus Bogor-Kalideres ini. Biasanya Saya nyampe di sini Jam setengah tujuh malam. Kalo lewat Jam tujuh Malam Saya enggak Ada, itu artinya Saya ga perlu ditunggu. Gimana? Paham?" aku bertanya kembali ke Dedek.Â
"Paham Pak! Berarti langganannya Mingguan Ya Pak?" katanya menyimpulkan.Â
"Aku bayarnya bulanan, selebihnya bonus buat kamu!" kataku sambil menyerahkan uang berlangganan dan menerima koran sebagai tanda jadi berlangganan.Â
Selama berlangganan, koran itu tidak pernah Aku bawa sampai ke rumah. Biasanya koran itu kubaca sambil menemani Bus menunggu penumpang penuh, yaaah kira-kira setengah sampai satu jam. Setelah itu koran akan kulipat rapi dan kukembalikan ke Si Bocah untuk dijualnya kembali.Â
Hari itu Jakarta diguyur hujan deras dari Sore hingga menjelang kepulanganku ke Bogor. Seperti biasa dari Slipi Aku naek KOPAJA 88 untuk turun di Perempatan Slipi dan kemudian nyambung naek Bus jurusan Kalideres-Bogor. Info yang kudapatkan Slipi banjir dan kondisi ini sedikit menyulitkanku untuk pulang. Akhirnya dengan sedikit basah Aku sampai di Slipi langsung menuju Bus yang akan membawaku pulang ke Bogor.Â
Aku dapat tempat duduk di sisi jendela, sehingga dalam menikmati rintik hujan, aku masih bisa melihat orang-orang lalu Lalang dan berlarian mengejar Bus. Aku melihat Dedek lagi berteduh kedinginan di halte dan kelihatannya Ia tidak melihat ketika Aku naik ke Bus. Kubuka kaca dan sedikit berteriak kupanggil Namanya dan dengan senyum ceria Ia naik ke Bus menyerahkan koran yang terbungkus plastik dengan sangat rapi.Â
"Lama menunggu?" tanyaku kepadanya.Â