Aku masih asyik menuliskan pesan di Smartphoneku, tiba-tiba ia datang menawarkan Koran terbitan sore. Ia tidak seperti loper koran lainnya, terlihat santun dan tahu harus menawarkan ke Siapa. Yaaa, Anak ini punya feeling yang kuat menentukan target. Setelah kuamati, Ia berhasil menjual koran ke setiap orang yang ditawarkan.Â
Aku sebenarnya tidak begitu memerlukan koran yang Ia jajakan, karena aku sudah punya koran Pagi yang kubaca di saat jam istirahat di Kantor dan kalau di rumah sudah menunggu 7 eksemplar koran plus 2 tabloid yang siap kulalap di akhir pekan. Untuk bahan bacaan sambil kumpul keluarga, Josslah pokoknya!Â
Tapi entah mengapa dengan Anak ini Aku takluk. Aku merasa seperti Kerbau dicucuk hidungnya, saat mendapat tawaran koran darinya. Sebenarnya yang kubeli apa sih? Koran atau korban? Maksudku aku beli karena perlu baca koran atau beli karena keunikan si Penjual. Saat kutanyan namanya, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Dedek.Â
"Jualan koran dari Pagi Dek?" tanyaku padanya suatu hari.
"Enggak Pak!" Jawabnya pelan.
"Terus mulai jam berapa?" tanyaku lagi.
"Kalo Pagi gilirannya Abang dan Saya kebagian Sore," Kata Bocah tersebut.Â
"Kok gantian," Aku memancing pertanyaan.Â
"Karena Saya sekolah Pagi dan Abang Saya sekolah Sore. Jadi Kami bagi-bagi waktu," katanya menjelaskan.Â
Bagi-bagi waktu. Hmmmm mungkin bagi sebahagian orang itu biasa tetapi bagiku maknanya luar biasa. Waktumu Kau habiskan untuk Apa? Itu pertanyaan yang muncul di benakku, saat Aku mendengar kata bagi-bagi waktu.Â
Yaa, ternyata aku mendapat jawaban dari seorang Bocah loper koran. Boleh jadi Ia tidak berprestasi di sekolahnya, karena tidak memiliki waktu untuk membaca. Tetapi Ia adalah seorang Bintang dalam sekolah kehidupan, Karena berhasil menjawab semua pertanyaan tentang kehidupan dengan cerdas. Salah satunya adalah mengelola waktu.Â
Waktu itu ibarat pedang, Kalau Kita tidak mampu memanfaatkannya secara baik, Maka waktu yang akan menggilas Kita secara tragis.Â
"Kalo Saya berlangganan aja gimana?" Aku menawarkan keterikatan pada DedekÂ
"Bener Pak?" tanya Dedek seakan tidak percaya.
"Iya, bener Saya langganan ajalah," jawabku sungguh-sungguh.
"OK pak, tapi Saya ga bisa setiap hari," jawabnya polos.Â
"Kenapa?" tanyaku kemudian.Â
"Kadang-kadang Aku bantu Ibuku di rumah," Bocah itu memberi alasan. Hmm Aku jadi takjub banget.Â
"OK, enggak apa-apa," jawabku untuk meyakinkannya.Â
"Kalo gitu, Bapak bayarnya ga usah sebulan Pak. Mingguan aja," Ia mencoba memberi solusi.Â
"Ga usah, Saya biar bayarnya sebulan penuh aja," jawabku.
"Wuah, Aku enggak bisa Pak," katanya pelan.Â
"Gini-gini. Saya tetap bayar sebulan penuh. Kamu bawa koran sesempatnya aja," kataku enteng.Â
"Tapi Pak. Aku kan jadi ngutang terus dong?" katanya mencoba berhitung.Â
"Enggak begitu. Kamu biasa aja ngeloper koran. Kalo Kita ketemu itu rezeki Saya, tapi kalo enggak ketemu, ya udah enggak apa-apa," Lanjutku menjelaskan.Â
"Enggak apa-apa Pak," sahutnya ragu-ragu.Â
"Kamu cukup menunggu Saya hari Senin-Jumat sampe jam 07.00 malam di tempat ngetem Bus Bogor-Kalideres ini. Biasanya Saya nyampe di sini Jam setengah tujuh malam. Kalo lewat Jam tujuh Malam Saya enggak Ada, itu artinya Saya ga perlu ditunggu. Gimana? Paham?" aku bertanya kembali ke Dedek.Â
"Paham Pak! Berarti langganannya Mingguan Ya Pak?" katanya menyimpulkan.Â
"Aku bayarnya bulanan, selebihnya bonus buat kamu!" kataku sambil menyerahkan uang berlangganan dan menerima koran sebagai tanda jadi berlangganan.Â
Selama berlangganan, koran itu tidak pernah Aku bawa sampai ke rumah. Biasanya koran itu kubaca sambil menemani Bus menunggu penumpang penuh, yaaah kira-kira setengah sampai satu jam. Setelah itu koran akan kulipat rapi dan kukembalikan ke Si Bocah untuk dijualnya kembali.Â
Hari itu Jakarta diguyur hujan deras dari Sore hingga menjelang kepulanganku ke Bogor. Seperti biasa dari Slipi Aku naek KOPAJA 88 untuk turun di Perempatan Slipi dan kemudian nyambung naek Bus jurusan Kalideres-Bogor. Info yang kudapatkan Slipi banjir dan kondisi ini sedikit menyulitkanku untuk pulang. Akhirnya dengan sedikit basah Aku sampai di Slipi langsung menuju Bus yang akan membawaku pulang ke Bogor.Â
Aku dapat tempat duduk di sisi jendela, sehingga dalam menikmati rintik hujan, aku masih bisa melihat orang-orang lalu Lalang dan berlarian mengejar Bus. Aku melihat Dedek lagi berteduh kedinginan di halte dan kelihatannya Ia tidak melihat ketika Aku naik ke Bus. Kubuka kaca dan sedikit berteriak kupanggil Namanya dan dengan senyum ceria Ia naik ke Bus menyerahkan koran yang terbungkus plastik dengan sangat rapi.Â
"Lama menunggu?" tanyaku kepadanya.Â
"Enggak Pak. Maaf tadi Enggak lihat Bapak," jawabnya sambil menggigil kedinginan.Â
"Wuaduh! Kamu bisa sakit kalo kehujanan terus, mana enggak pakai jas hujan lagi," kataku sambil menunjukkan kekhawatiran.Â
"Udah biasa Pak!" katanya dengan santai.Â
"OK deh! Ini ada sedikit uang untuk beli jas hujan dan buat jajan yaaa," kataku dan dengan senang hati ia berlalu.
Waktu terus berlalu, dan tiba-tiba Aku dapat khabar mengejutkan dari perusahaanku. Aku Pindah kerja Ke Kalimantan. Promosi ini bagian dari amanah yang harus kujalani sebagai komitmen siap ditempatkan bekerja dimana saja. Untuk diriku dan keluarga tidak ada masalah, karena Kami sudah terbiasa berpindah lokasi kerja. Namun yang Aku sedih adalah harus berpisah dengan si Bocah loper koran.Â
Terlanjur ada ikatan emosi yang dalam dengan Dedek, Meski layakanya Anak Saya, tetapi Kami sudah seperti sahabat. Aku masih ingat ketika Ia terlihat murung dan curhat tentang prilaku teman teman di sekolah. Saat seperti itu Aku coba hadir sebagai teman maupun orang tua bagi dirinya. Di saat lain Ia terlihat begitu ceria, karena kelasnya juara Sepakbola saat mengikuti pertandingan antar kelas.Â
Ia pernah mengeluhkan sulitnya belajar matematika yang diajarkan gurunya. Aku mencoba mendengar alasan-alasan apa yang membuat dirinya kesulitan mempelajari matematika.Â
Setelah Aku telusuri, ternyata Ia terpengaruh omongan temannya, sehingga terbentuk pola pikir bahwa matematika itu sulit. Saat Kuliah dulu, Aku pernah memberikan les privat beberapa pelajaran, jadi Aku memahami masalah seperti ini dan dengan senang hati kuajarkan Ia tips-tips untuk belajar matematika yang asyik.Â
Satu kenangan yang sangat berkesan bagiku adalah ketika aku mengajarkan kepadanya cara baca cepat dengan tingkat pemahaman tinggi. Terkadang Aku sengaja mengambil tempat duduk paling belakang, agar bisa ngobrol dengan dirinya. Aku memberi contoh trik cara membaca cepat ke Dedek, kemudian mempersilahkan Ia bertanya apa yang baru Aku baca. Ia sangat terkejut dan senang ketika Aku bisa menjawab semua pertanyaannya secara lengkap.Â
Sejak saat itu, kalau bus masih bus kosong, Aku memintanya untuk membacakan berita Koran hari itu untukku untuk membantu dirinya terbiasa membaca dan setelah selesai aku akan menanyakan berita yang ada hubungannya dengan sekolahnya. Dampaknya ternyata ia sudah punya kebiasaan membaca dan Aku melihat ada perubahan dari dirinya terutama dalam berkomunikasi, ada kosa kata yang selalu baru. Mungkin ini efek dari rajin membaca.
"Kayaknya Bulan depan, Saya enggak berlangganan Koran lagi," kataku hati-hati.Â
"Kenapa Pak? Apa Aku berbuat kesalahan ya Pak! Aku mohon maaf udah mengecewain Bapak," Jawabnya mencoba menyalahkan dirinya.
"Bukan. Bukan itu, Kamu sudah sangat baik ke Saya," Jawabku mencoba menenangkannya.
"Terus apa dong Pak, atauuuu..." katanya dan langsung diam sambil tertunduk.
"Saya pindah kerja ke Kalimantan," kataku dengan perlahan.Â
"Ooooh Bapak Pindah ke Kalimantan? Jauh juga ya Pak?" katanya berkomentar.Â
"Iyaa dan ini minggu terakhir Kita bertemu, karena minggu depan Saya sudah harus berangkat," Aku kembali menjelaskan.Â
"Enggak apa-apa Pak!" ucapnya sambil membetulkan duduknya yang hampir merosot.Â
"Saya mohon maaf kalo ada kesalahan dan doa Saya Kamu jadi anak yang hebat dan punya rejeki melimpah dan berkah," kataku sambil berdiri memeluknya seerat mungkin.
"Aku berterima kasih banyak udah Bapak ajarin macam-macam dan mohon maaf sering buat salah," katanya dengan terbata-bata.Â
"Saya punya sesuatu untukmu, semoga ini bisa membantu," lanjutku sambil menyelipkan amplop yang sudah kupersiapkan.Â
"Wuaduuuuh, Bapak apalagi ini. Sekali lagi terimakasih banyak ya Paaaak!" ujarnya sambil melangkah keluar Bus.Â
Bus bergerak perlahan dan dari balik kaca jendela kulihat Ia melambaikan tangan hingga pandanganku tertutup kenderaan lain.Â
WFH, 07-10-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H