Terlebih, menurut saya, para pemeluk agama Islam seharusnya adalah yang paling tidak terdampak dengan wabah ini. Mereka tidak perlu berkumpul setiap Minggu untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus seperti yang dilakukan umat Katolik, misalnya. Semua ibadah umat Muslim bisa dilakukan dari rumah, dengan adanya imam, yang adalah kepala keluarga, di setiap keluarga. Inilah yang menjadi keunggulan umat Muslim dibandingkan saudara yang lain.
Namun, pertanyaannya masih sama: mana kebesaran hatimu, mayoritas?
Di samping bapak-bapak kampung saya dan jemaat masjid yang "tidak taat" tadi, saya yakin ada jauh lebih banyak yang bertindak seturut anjuran pemerintah. Selain belasan warga yang nekat melompati pagar masjid di Parepare untuk menunaikan salat Isya berjamaah, saya yakin ada jauh lebih banyak umat Muslim yang setia menjalankan ibadahnya kendati hanya dari rumah.
Lagipula, apalah arti ibadah jika saat dilakukan justru menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan ancaman bagi orang lain?
Toh, saat salah seorang jemaah masjid Al Atieq di Bogor meninggal saat menunaikan salat Jumat pekan kemarin pun jamaah yang lain tetap kocar kacir, bukan?
Cukup besarkah hati para pemeluk agama Islam untuk mengubah sedikit cara beribadah mereka di bulan dan hari yang suci nanti, demi kemaslahatan bersama, ataukah justru ngotot menunaikan ajaran agama secara kaku yang justru berisiko memperpanjang pandemi ini?
Semoga, besarnya jumlah mayoritas diikuti dengan kebesaran hati untuk menahan diri agar tidak memperparah situasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H