Mohon tunggu...
Sekar L Pinasthika
Sekar L Pinasthika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi IAT STIQ ZAD Cianjur

Mahasiswi IAT STIQ ZAD Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Tangguh itu...

27 Juni 2024   21:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   21:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Hilya. Anak perempuan semata wayang. Aku tumbuh dan dibesarkan di sudut Utara perkampungan kota. Aku tinggal di rumah yang bisa dibilang sederhana, di tengah-tengah keluarga yang masih awam. Masa kecilku dipenuhi dengan teguran dari masyarakat sekitarku. Wajar saja, semua teguran itu tak lain disebabkan karena ulahku yang tak karuan.

                “Bapak.. Mau kemana?” teriakku yang dilanjutkan pertanyaan karena kulihat Bapak hendak bersiap-siap untuk mengeluarkan sepeda dari kandangnya.

Hari Ahad di setiap pekannya, bapakku selalu menghabiskan setengah harinya untuk pergi mengasah hobinya. Memancing.

“Memancing,” jawab cinta pertamaku.

“Hilya nggak usah ikut!” larangnya.

 Aku tau tempat memancing favoritnya. Tepat di dekat rel kereta api. Pastinya tempat itu sangat berbahaya untuk anak-anak belia seusiaku.

“Lhooo aku mau ikut..” pintaku. Yaa.. inilah aku. Aku kecil cenderung lebih dekat dengan bapakku daripada ibuku sendiri, karena bapak selalu memberi apa yang aku mau. Sedangkan ibu lebih cenderung melarang atau sekurang-kurangnya memberi syarat jika aku menginginkan sesuatu.

“Tanya ibumu, boleh ikut apa nggak.” Jawab bapak.

Tanpa berpikir panjang, aku segera menemui ibuku dan meminta izin untuk ikut bapak pergi memancing.

“Jangan.” Jawab ibuku setelah aku meminta izinnya. Jawaban yang tak sesuai harapan.

“Lhoooo… Cuma sebentar deh,” pintaku memohon agar diizinkan.

“Bapak tuh lama kalo mancing. Ntar pulangnya gimana?” tanya ibuku.

“Aku pulang sendiri bisa.” Jawabku meyakinkan ibu.

Rumahku memang tak terlalu jauh dari tambak tempat favorit bapak untuk memancing. Jadi, menurutku tak masalah jika aku pulang sendiri.

                “Yaudah. Hati-hati.” Pesannya. Alhamdulillah jawabannya sesuai harapan.

                “Dah, aku boleh ikut.” Terangku ke bapak.

                Setelah berkemas, aku dan bapak pun segera pergi menuju tempat mancing favoritnya itu menggunakan sepeda.

                Sesampainya disana, aku segera turun dari sepeda disusul bapak. Bapak bergegas menuju warung yang berada di dekat rel kereta api. Aku memesan es teh dan mie goreng, sedangkan bapak memesan kopi dan gorengan. Setelah habis santapan, bapak segera beranjak untuk memulai hobinya itu.

                “Kamu disini aja ya,” pinta bapak.

                “Ikut.” Sanggahku.

                “Banyak kereta lewat.” Jelas bapak.

                “Nggak papa, aku ikut.” Aku tetap bersikeras.

                “Yaudah ayo..” Akhirnya bapak luluh.

                Kami berjalan dengan penuh kehati-hatian. Berjalan di atas batu-batu, antara rel kereta dengan tambak. Sambil sesekali aku berjalan di tengah-tengah rel kereta. Disana, tak ada yang bisa aku lakukan selain bermain batu-batu. Sedang bapak asyik dengan pancingnya itu sambil menunggu adanya tarikan yang menandakan bahwa ada ikan terjebak umpannya.

                Sesekali bapak menoleh ke arahku sambil berkata, “dah disitu aja, jangan jauh-jauh.” Aku pun mengangguk tanda mengerti. Dengan penuh kesabaran, bapak menunggu ikan yang terjebak pancingnya. Hingga... beberapa ikan pun berhasil tertangkap.

                Selama kami disana, ada beberapa kali kereta melintas. Perdana aku merasakan saat-saat kereta melintasi rel dan aku hanya berjarak kurang lebih satu meter dari kereta tersebut. Angin kencang, takut sekali aku setiap kali kereta melintas. Rasanya seperti aku terbawa angin, seakan angin membawaku untuk masuk ke tambak yang ada di depanku. Bapak memelukku sembari mengokohkan pijakan.

                Kami dikagetkan dengan telepon genggam milik bapak yang berdering. Ternyata ibu mengabari bahwa ada tetangga kami yang meninggal dunia. Kami pun segera bergegas pulang ke rumah membawa ikan hasil tangkapan bapak, alhamdulillah.

                Beberapa hari setelah itu...

                Jam 06.00 WIB, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Saat itu aku masih SD. Sekolahku lumayan jauh dari rumahku. Setelah sarapan, aku pergi ke sekolah diantar bapak mengendarai sepeda motor. Perjalanan dari rumah menuju ke sekolah memakan waktu kurang lebih 20 menit. Itu salah satu sebab aku harus berangkat pagi-pagi sekali.

                Masa-masa SD adalah masa-masa yang paling menyenangkan bagiku. Terlebih lagi saat di sekolah. Semangat sekali aku pergi ke sekolah masa itu. Karena apa? Apalagi jika bukan karena dia? Haha.. ada salah satu teman laki-laki, yang sekelas denganku, dia menjadi laki-laki idaman para wanita yang ada di sekolah. Bukan hanya teman wanita di kelasku saja, bahkan sampai adek-adek kelasku. Banyak yang kagum dengan sosok lelaki itu. Dia yang menjadi peringkat pertama dari kelas 1 SD sampai kelas 6 SD, kecuali di kelas 5 SD semester 1, ia berada di peringkat kedua. Bisa dibilang cinta monyet, karena kami hanya menyukai ia sebab paras dan kecerdasannya. Oke, on track lagi..

                Setelah ashar, kelas sudah selesai dan aku menunggu bapak menjemput. Biasanya kalau bapak yang menjemput, kami mengendarai sepeda motor. Tetapi, jika ibu yang menjemput, kami menggunakan angkutan umum.

                “Mana ya bapak kok belum datang?” pikirku. Tinggal aku sendiri murid yang menanti jemputan. Aku duduk di lobi sambil menerawang, apa yang terjadi dengan bapak?

                Tak berselang lama, bapak datang menghampiriku diwarnai senyum manisnya. Aku segera bergegas. Dan dikejutkan oleh suatu hal.

                “Lho mana sepeda motornya bapak?” tanyaku terkejut karena aku tak melihat sepeda motornya, yang di hadapanku adalah sepeda ontel.

                “Nggak papa, sekali-kali pakai sepeda ontel jemputnya. Kan enak kalau pakai sepeda ontel, pas ada lampu merah nggak usah ikut berhenti.” Jawabnya.

                Ada rasa haru campur sedih mengetahui perjuangan bapak untuk menjemput anak semata wayangnya ini. Di tengah perjalanan, tanpa disadari air mataku meleleh melihat bapak bermandikan peluh keringat. Tapi ia tak menghiraukan. Ia terus dan terus mengayuh sepeda hingga sampailah di gubuk kami. Dan saat itulah aku tau ternyata motornya bapak kena tilang. Khoiron, in syaa Allah.

                Oktober 2014

                Aku memasuki masa-masa SMP di salah satu pondok pesantren. Awal bulan Oktober adalah masa liburku kelas 7, dan aku menghabiskan liburanku di rumah. Saat itu ibu safar untuk beberapa hari. Di rumah hanya ada aku, bapak dan nenek, biasa aku memanggilnya mbah

                Awal-awal ibu pergi, bapak sakit. Bapak terus-terusan muntah dan sering mengeluh pusing kepala. Hingga akhirnya mbah membawa bapak ke rumah sakit terdekat. Dokter mendiagnosa bapak sakit demam berdarah. Saat itu aku berpikir bahwa demam berdarah bukanlah penyakit yang membahayakan. Mungkin karena penyakit itu biasa didengar, jadi terkesan biasa saja.

                Selama ibu pergi, bapak keluar-masuk rumah sakit. Ada tetangga yang menyarankan supaya ibu dikabari, tetapi mbah menolak dengan dalih supaya ibu bisa fokus pada urusannya.

                Sepulangnya ibu dari urusannya... yang ada di rumah hanya aku. Karena mbah menunggu bapak yang berada di rumah sakit. Kami segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit melihat keadaan bapak.

                Januari 2015

                Selang waktu antara Oktober lalu hingga Januari ini, bapak masih sering keluar-masuk rumah sakit. Rumah sakit yang di dekat rumahku sudah angkat tangan dengan penyakit bapak, akhirnya bapak dibawa ke rumah sakit di luar kota yang lebih lengkap alatnya. Aku yang seharusnya sudah kembali ke pondok, izin terlambat beberapa hari karena ikut mengantar bapak ke rumah sakit.

                Sesampainya di rumah sakit, bapak langsung dibawa ke ICU. Dan saat itu, kami diberi tau dokter bahwa bapak mengidap penyakit radang otak. Allahul musta’an. Perkiraanku salah besar. Aku mengira penyakit bapak biasa saja, ternyata luar biasa.

                Malam itu, aku berada di rumah sakit. Tidur di pangkuan ibu.

                “Bu, kalo bapak ada apa-apa, aku dijemput ya..” pintaku pada ibu. Ibuku mengangguk. Saat itu mungkin aku masih belum bisa merasakan kesedihan sedalam apa yang ibu rasakan. Hanya dzikir dan doa yang ibu lantunkan saat itu.

                Keesokan harinya, aku pulang ke pondok. Aku di pondok hanya beberapa hari, setelah itu aku dijemput oleh saudaraku. Aku dijemput bukan pulang ke rumah, tapi ke rumah sakit. Karena bapak mau dioperasi, jadi ibu memenuhi permintaanku di malam itu. Selama itu aku sering bolak-balik pondok – rumah sakit.

                Ruang ICU dikelilingi kaca, supaya keluarga pasien bisa melihat pasien dari luar, dan tidak diperbolehkan masuk. Aku melihat bapakku yang terbaring di ranjang ICU, badannya dipenuhi selang, terlebih di bagian kepala, untuk membuang cairan-cairan yang mengendap di otak. Siapa yang tega melihat orang tersayangnya dipenuhi selang? Antara hidup dan mati? Ketika aku melihat bapak, bapak juga menoleh ke arahku. Kulihat air matanya menetes. Tak tega, aku segera memalingkan wajahku. 

                Hingga akhirnya...

                Baru saja kemarin aku pulang ke pondok. Sorenya, aku bermain dengan temanku. Tiba-tiba...

                “Hilyaaaa....” aku mendengar suara kakak kelas memanggilku.

                Aku segera memenuhi panggilannya, “iya kak?”

                “Kamu dipanggil sama ustadzah. Disuruh ke kamarnya.” Terang kakak kelasku itu.

                Aku segera menuju ke kamar ustadzah. Sesampainya disana, aku mendapati ustadzah sedang menyetrika.

                “Assalamu’alaikum ustadzah, ustadzah cari Hilya?” tanyaku.

                “Wa’alaikumussalam, iya, silahkan masuk Hilya.” Jawab ustadzah.

                Aku memasuki kamarnya, di belakangku sudah ada 2 kakak kelasku yang menangis sesenggukan. Aku tak mengerti dan tak ingin tau apa yang menyebabkan mereka menangis.

                “Hilya, kamu siap-siap ya, beresin baju, nanti malam saudaramu mau jemput kamu.” Jelas ustadzah.

                Sontak aku bersorak, “Yeeeey,,”

                “Lho kenapa yeey?” ustadzah terkejut.

                “Ya kan bisa ketemu bapak sama ibu lagi ustadzah..” terangku dengan polosnya.

                “Yaudah ustadzah, Hilya siap-siap dulu ya ustadzah.. terimakasih infonya ustadzah.. Assalamu’alaikum,” pamitku undur diri.

                “Wa’alaikumussalam,” jawab ustadzah.

                Aku berjalan dengan wajah berseri-seri. Tak dapat aku bayangkan, nanti bisa berkumpul lagi dengan ibu dan bapak. Sesampainya di kamar, aku menuju lemariku dan memasukkan beberapa baju ke dalam tas.

                “Hilya mau kemana?” tanya salah seorang temanku.

                “Kata ustadzah, aku disuruh beres-beres baju, nanti malam mau dijemput.” Jawabku riang.

                “Kenapa?” tanya temanku yang lain.

                “Nggak tau.” Jawabku tak peduli.

                “Kok perasaanku nggak enak ya?” temanku menimpali. Aku tak menghiraukan dan asyik memasukkan baju-baju ke dalam tas.

                Matahari kembali ke peraduan pertanda malam akan datang menyapa. Aku duduk di koridor bawah, sambil menatap langit malam yang cerah dihiasi bintang-bintang. Menanti datangnya sosok yang dijanjikan untuk menjemputku. Saudaraku. Sebenarnya di malam itu ada acara menonton film bersama. Sambil menunggu jemputan, aku memutuskan untuk ikut menonton film di aula. Belum sampai film dimulai, ada seseorang mengetuk pintu. Kami semua menoleh ke arahnya. Ustadzah. Mengabari bahwa aku sudah dijemput. Berasa seperti SD lagi, haha..

                Aku pamit kepada teman-teman di sekelilingku dan tak lupa pamit kepada ustadzah yang sudah menjadi perantara. Aku berjalan menghampiri keluargaku dan memasuki mobil. Aku duduk di bagian tengah. Terlihat wajah-wajah sendu yang mewarnai mereka. Aku tak mengerti, tapi ada firasat yang tidak diharapkan.

                “Ibu nggak ikut mbah?” tanyaku ke mbahku.

                “Nggak, ibu nunggu disana.” Jawabnya.

                “Ooo aku mau tidur aja ya mbah,” pintaku.

                “Iya-iya, tidur aja.” Mbah mengiyakan.

                Sebenarnya aku tidak mengantuk sama sekali, hanya saja aku berusaha untuk menepis firasatku yang tak baik. Aku hanya berpura-pura tidur. Firasatku yang tak baik itu semakin kuat oleh nyanyian Opick dengan judul Bila Waktu T'lah Berakhir yang diputar berulang-ulang di mobil.

                Sekitar jam 23.00 WIB kami sampai di rumah makan untuk menyantap makan malam. Aku mulai heran, karena jarak rumah makan ini melebihi rumah sakit bapak. itu artinya, tujuan kami bukan lagi ke rumah sakit. Aku memberanikan diri untuk bertanya ke mbah,

                “Lho mbah, kita mau kemana? nggak ke rumah sakit?” tanyaku di sela-sela makan.

                “Nggak, bapak udah di rumah mbah (ibunya bapak).” jawab mbah mengabari.

                Aku terdiam mendengar jawabannya. Firasat burukku semakin kuat. Selepas makan, kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah mbah (ibunya bapak). Dari rumah makan sampai rumah mbah, aku memutuskan untuk tidak tidur seraya bersiap untuk menghadapi kenyataan.

                Sesampainya di rumah mbah..

                Firasatku benar tak meleset ketika aku melihat bendera kuning dan ada tenda di depan rumah mbah. Aku turun dari mobil, terdiam sejenak. Satu yang ada di pikiranku saat itu, IBU. Ya.. aku segera berlari menghampiri ibu di halaman rumah mbah, aku memeluk ibu, sambil menguatkan ibuku.

                “Ibu yang sabar, jangan nangis.” Aku berusaha untuk menguatkan ibu.

“Hilya tolong maafkan kesalahan-kesalahan bapak ya,” pinta ibu sambil mengusap kepalaku. Terlihat genangan di pelupuk matanya. Entah saat itu aku tak bisa langsung menangis. Pandanganku tertuju ke arah jendela. Di balik jendela terlihat kain warna hijau yang menutupi keranda. Aku terpaku, tanpa terasa buliran air mata berjatuhan dari kelopak mataku. Aku terdiam dan berpikir, “Bapak di dalam keranda itu sekarang?”

                Sejak saat itu, pikiranku tentang bapak adalah bapak kerja jauh. Itu pikiran untuk menguatkanku. Bapak? Ia sosok lelaki yang tangguh, tak pernah rapuh. Ia sosok lelaki yang cintanya kuat namun tak terlihat. Untuk mengucapkan kata maaf atau terimakasih pun terhambat. Hanya dengan doa yang tak kenal kata terlambat.

                Kenangan bersama bapak selalu menari-nari di benakku. Masih teringat jelas, tatapan mata bapak untuk terakhir kalinya. Tetapi, bagaimana aku harus menyikapinya? Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa untuknya dan menerima segala ketentuanNya, karena aku yakin bahwa segala sesuatu dari Allah itu baik. Aku selalu menunggu hikmah dibalik semua ini.

Ada salah seorang temanku di SMP. Setiap kali dia dijenguk oleh orangtuanya, ia selalu mencariku dan mengajakku bersamanya. Membuatku  tak merasa bahwa bapakku telah tiada. Semoga Allah membalas semua kebaikannya dengan yang lebih baik, aamiin.

                Lelaki tangguh itu..... cinta pertamaku. Bapak rahimahullah.

                Pesan untuk pembaca yang memiliki orangtua masih utuh atau masih ada salah satu dari keduanya, tolong dijaga baik-baik. Mereka pintu surga kita. Bukankah berbakti kepada orangtua merupakan perintah Allah setelah bertauhid menyembah kepada Allah? Bahagiakan selalu selagi masih ada. Kita tak tau, akankah ajal kita mendahului mereka atau sebaliknya? Jangan sampai ada sesal setelah kepergiannya. Memang benar jika ada yang mengatakan bahwa kebanyakan dari kita tak bisa menghargai keberadaan seseorang melainkan setelah kepergiannya. Sekali lagi, jangan sampai ada sesal setelah kepergiannya. Allahu a’lam.

                Semoga Allah selalu menjaga dan melindungi orangtua kita semua, aamiin. Dan bagi pembaca yang orangtuanya sudah tiada, semoga Allah lapangkan kuburnya dan mengumpulkan kita kembali di SurgaNya, aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun