Mohon tunggu...
Azeez Siul
Azeez Siul Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa fakultas hukum universitas andalas padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Segelas Kopi Penuh Rahasia

4 Oktober 2017   14:04 Diperbarui: 4 Oktober 2017   14:05 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://renanablog.com/

Dia sangat ahli dalam membuat kopi. Ibuku mengajarinya cara meraciknya, mulai dari green bean hingga menjadi segelas kopi nikmat siap minum. Keluarga kami tidak pernah membeli kopi bubuk, dulu ibuku selalu membeli kopi hijau dari pasar ataupun petani. Terserah jenis kopinya apa. Faktor utama yang menentukan nikmat atau tidaknya kopi adalah pada pengolahannya. Proses pembuatannya mulai dari biji kopi hingga menjadi segelas kopi. Ibuku dulu punya alat penggiling kopi manual. Sejak beliau meninggal, alat itu diwariskannya kepada Ningsih.

Suatu malam aku mendapati gelas kaca berisi kopi di atas meja kamar tidurku. Sudah dingin. Isinya tinggal separo. Aku tahu Ningsih tidak minum kopi, dia hanya pintar menyeduhkannya. Jelas itu bukan kopiku karena aku selalu minum kopi buatan Ningsih dengan gelas keramik. Hatiku pedih sekali.

Aku ambil segelas kopi itu dan duduk di samping Ningsih di depan televisi. Aku menghabiskan isinya dan meletakkannya di atas meja. Sengaja sedikit agak ku hentakkan, agar Ningsih dapat melihatnya. Dia terperangah lalu menundukkan wajahnya, perlahan ari matanya mulai berlinang. Tak satupun kalimat keluar dari mulutnya. Akupun tak tahu harus berkata apa padanya saat itu. Aku tidak mau memukulnya. Kupandangi dia tanpa berkata-kata. Kemudian kutarik bantal yang ada di atas pangkuannya dan kujadikan alas kepalaku di sampingya paha sebelah kirinya. Aku bisa merakan detak jantungnya yang mulai tidak beraturan. Kami hanya terdiam hingga aku tertidur di atas sofa.

Tengah malam dia menyelimutiku dan pergi tidur ke dalam kamar. Terdengar dia menangis di dalam kamar. Aku membiarkannya.

Satu jam sebelum subuh aku membangunkannya untuk memasak kue. Matanya tampak sembab.

"Adik kenapa?" tanyaku.

Dia tidak menjawab, dia kemudian memelukku dan menagis di bahuku. Tidak pernah dia begini sebelumnya.

"Maafkan aku mas."

Aku tidak menjawabnya. ku belai kepalanya beberapa saat, kemudian ku lepaskan pelukannya. Ku tatap wajahnya, namun kemudian dia membenamkan wajahnya ke dadaku.

"Aku akan terima kalau mas harus menceraikanku. Aku sudah jahat sekali padamu mas. Maafkan aku" Katanya kembali sambil terisak.

Aku balas memeluknya erat ke dadaku dan kurapikan rambutnya yang tampak berantakan. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Ada kejujuran di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun