Mohon tunggu...
Kak Ian
Kak Ian Mohon Tunggu... -

Paling benci dengan pembully dan juga benci dengan orang-orang yang dengki sama orang yang sukses. Karena mereka adalah penjahat yang nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu dan Es Krim yang Mengembalikan Ingatannya pada Kenangan

3 Oktober 2017   18:02 Diperbarui: 3 Oktober 2017   18:38 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu saya suka sekali es krim. Tidak mengenal waktu, ia selalu meminta dibelikan pada kami. Entah pada anak-anaknya atau cucunya. Ia pasti meminta dibelikan es krim telebih bila di mini market yang letaknya berada tepat di depan rumah kami.

Pagi, siang bahkan malam hari Ibu saya selalu meminta dibelikan. Jika sudah didapat ia baru berhenti memintanya. Sejak kapan ia menyukai es selembut salju itu saya sendiri tidak tahu. Pun dengan adik-adik saya tidak ada yang pernah mencari akar musababnya.

Maklum saya di dalam keluarga, anak paling tertua dari empat saudara kandung. Semua adik-adik saya perempuan. Hanya saya saja yang laki-laki dalam keluarga.

Ibu saya usianya sudah kepala tujuh. Ia belum pikun. Matanya masih awas. Masih bisa melihat dengan tajam. Menjahit saja masih bisa.

Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan Ibu menyukai es krim. Atau, memasalahkan uang yang dibelikannya itu. Tapi saya khawatir dengan kesehatannya. Apalagi ia sudah usia senja, tentu diabetes militus sangat suka menghampiri usia-usia orangtua semacam dirinya. Tapi saya bisa apa?

"Kamu mau jadi anak durhaka, Lus!"  Begitu Ibu "mengultimatum" saya jika tidak membelikan dirinya es krim. Dan aku...akhirnya seperti kerbau dicocok hidungnya.

Saya pun menurutinya. Selalu memberikan Ibu es krim diam-diam.

Akhirnya apa yang kami khawatirkan pun terjadi. Ibu jatuh sakit. Karena kami takut Ibu kenapa-napa, Anggun menelpon dokter pribadi rumah. Usai itu ia baru menelpon adik-adikku agar segera melihat keadaan Ibu. Ternyata Anggun sangat lebih khawatir tentang Ibu.

"Maaf seperti Ibu Ida hanya sakit batuk biasa dan demam. Tapi saya sarankan Ibu kalian untuk sementara waktu jangan memakan yang dingin-dingin jika ingin cepat sembuh," ucap dokter Gustav, dokter pribadi kami memberitahukan kondisi Ibu kami.

"Terima kasih, dok! Kami akan menuruti saran dokter," ucap saya padanya.

"Baiklah, saya balik dulu. Karena masih ada yang menunggu saya," lanjut dokter Gustav, meminta pamit pada saya.

"Silakan, dok!"

Usai dokter Gustav pergi dari rumah kami, saya melihat Dewi, Evi, Fatma dan Gina serta Anggun, istri saya itu saling adu pandang di ruang tamu. Dan...apa yang aku pikirkan terjadi. Dewi, Evi, Fatma dan Gina melimpahkan kekecewaan dan ketidakbecusan kepada Anggun. Mereka mengatakan jika Anggun tidak bisa merawat dan menjaga Ibu, mertuanya itu. Semua pasang mata mengarah pada Anggun.

"Anggun, istri Mas itu memang tidak bisa diandalkan. Merawat Ibu saja tidak bisa!" gerutu Dewi memberitahukan saya.

"Iya, Mas! Masa hanya menjaga satu orang saja bisa seperti ini. Coba kalau Ibu kenapa-napa. Kita juga kan yang repot," ucap Evi, adik perempuan saya yang kedua ikut menimpali Dewi, kakaknya itu. Ia sebelas-dua belas dengan Dewi.

Sedangkan Fatma, ia lebih banyak diam. Ia berbeda dengan kedua kakak-kakaknya itu

Lain Fatma, lain pula si bungsu, Gina. Ia lebih berpihak pada kami. Mungkin karena ia yang masih belum berkeluarga. Tapi sudah memiliki rumah sendiri dan juga butik ternama di ibukota. Ia terlihat berpikiran dewasa sekali. Sangat kontras dari kakak-kakaknya itu.

"Kak Dewi dan Kak Evi kenapa selalu menyalahkan Kak Anggun. Dia punya Ira dan Ria serta mengurus Mas Tulus. Jadi dia bukan hanya mengurus Ibu saja. Apalagi sejak kakak-kakak menikah Ibu belum pernahkan dirawat apalagi dijaga sama kakak-kakak semua. Menginap di rumah kakak-kakak saja pun Ibu tidak pernah," Gina pun mengeluarkan pendapatnya.

Dewi dan Evi tampak terlihat tidak senang saat Gina mengutarakan hal itu. Sehingga akhirnya Dewi kembali angkat bicara. Kali ini bernada ketus dikarenakan ia mendapatkan sindiran dari Gina, adiknya-yang mereka anggap masih ingusan itu.

"Kamu tahu apa anak ingusan! Kamu tidak ingat sejak kecil aku berdua dengan Mbak Evi yang mengurusi kamu. Karena saat itu Ibu selalu sibuk mengurusi pekerjaannya saja. Hingga kami harus mengurus diri sendiri dan harus mandiri," Dewi meluap-luap mengembalikan segala kenangan masa kecil Gina. Mereka mengungkit-ungkit kebaikan-kebaikan yang sudah mereka lakukan pada Gina.

Gina terpojok. Ia tidak berkata apapun. Namun untungnya dengan secepat mungkin untuk menutupi keterpojokkan adik bungsu saya itu akhirnya saya pun memutuskan sesuatu kpada mereka. Tidak lain membagi jadwal merawat dan menjaga Ibu di rumah mereka masing-masing.

"Baiklah kalau begitu Mas gilir saja. Setiap anak Ibu harus bisa merawat dan menjaganya. Lagi pula kalian sudah punya rumah masing-masing, bukan? Mas harap nanti jika Ibu sudah sembuh kembali giliran pertama adalah kamu, Dewi. Sebagai anak perempuan pertama kamu sudah seharusnya bisa merawat dan menjaga Ibu lebih dulu. Usai itu baru giliran Evi, Fatma dan Gina begitu selajutnya. Semua dapat giliran. Hal ini tidak ada yang dapat digugat!" seru saya mengambil keputusan sepihak tanpa kompromi dari mereka.

Tapi belum usai saya mengakhiri ucapan saya saat itu. Mendadak Ibu datang. Ia keluar dari kamar. Lalu mata tuanya mengamati kami; anak-anaknya yang sedang kompromi di ruang tamu.

Saat itu kami langsung mmbeku. Menunggu Ibu ingin bicara apa pada kami saat itu.

"Kalian tidak perlu repot-repot mengurusiku! Aku sudah punya pilihan. Besok tolong antarkan aku ke panti jompo Nusantara. Aku lebih rela jika aku ada di sana ketimbang aku dirawat dan dijaga anak-anakku. Karena kalian sudah menganggapku sebagai benda yang tidak berguna di rumah ini! Hanya membuat kalian susah dan direpotkan oleh orangtua bangka ini!" ucap lantang Ibu saat melihat kami menunduki kepala masing-masing karena ucapan Ibu yang bagai silet saat itu.

Kami lagi-lagi tersudut. Lalu kaku di ruang tamu. Usai itu Ibu langsung meninggalkan kami kmbali ke kamarnya.

Brakkk...!!

Terdengar bunyi pintu kamar dibanting Ibu.

Kami kaget. Langsung saat itu beradu pandang. Saya langsung menyusul Ibu. Tapi sebelum saya menyusuli Ibu tetiba kaki saya menyenggol album tua.

"Bukankah ini album Ibu dan Ayah!" pikir saya.

Lalu saya melihat album itu. Saya terkesiap ketika melihat poto-poto Ibu pada masa mudanya bersama Ayah.

Ya, di sana saya melihat Ibu selalu memakan es krim bila sedang berduaan bersama Ayah semasa mudanya dulu. Ibu ternyata sudah sejak muda menyukai es krim.

Lalu apakah karena ini Ibu kembali menyukai es krim? Saya kembali menatap nanar album tua itu kembali.

Saat itu saya lantas menghampiri lemari es. Saya mengambil es krim untuk Ibu. Es krim yang diam-diam saya membelikannya untuk Ibu lalu menyimpannya di tempat pendingin itu.

Semoga Ibu bisa terhibur dengan ini! Pikir saya sambil menggenggam es krim untuk Ibu. Lalu menuju kamar Ibu.

Dan saat itulah Dewi, Evi, Fatma dan Gina memincingkan matanya ke arah saya. Mata mereka terbelalak. Mereka seperti ingin menghujamkan belati ke arah saya. Sebab mereka mengira sayalah yang menjadi penyebab Ibu sakit.

Tapi lagi-lagi saya berharap hal itu jauh dari pikiran saya yang aneh ini! Hingga tanpa terasa es krim yang saya pegang sejak tadi perlahan-lahan meleleh mengotori tangan saya. Lalu saya membersihkan lelehan es krim itu-dengan tisu sambil berpekik kecil dalam hati. Aku ingin Ibu kembali mengingat masa lalunya itu, agar ia tetap bahagia. Itu saja. Itu yang saya inginkan sebagai anak.[]

Jkt, 15 September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun