Sepagi itu tetanggaku sudah mengeluarkan racun dari mulutnya. Setiap ia bercakap selalu saja ada yang terlukai. Aku selalu saja tercengang bila ia sudah buka mulut. Ia tak akan berhenti jika belum mengetahui urusan itu---sekiranya mengganggu tempurung otaknya. Dengan berbagai cara apa pun ia harus mendapatkannya!
Ibarat, seperti cacing kepanasan. Begitu bila aku sebut. Nguletsana. Nguletsini. Tak bisa diam. Apa pun segera ingin diketahuinya...
Seperti pagi ini ia membicarakan tetangga baru yang pindah dekat rumahku. Dengan membabibuta ia menceritakan jika tetanggaku---yang baru pindah itu---adalah istri simpanan seorang pejabat daerah. Karena saat kepindahaannya itu tidak ada yang mengetahuinya. Hanya keluargaku (Ayah, Ibu dan aku) serta Pak RT dan warga setempat yang mengetahuinya. Jika ia pindah bersama pembantunya saja. Apalagi saat ia pindah dalam keadaan perutnya membuncit. Dalam keadaan hamil. Jadi hal itu menjadi makanan empuk untuknya.
Dan pagi itu menjadi muram oleh mulutnya yang begitu pedas dan kotor. Kami yang melihat ia berlaku seperti itu hanya mengelus dada saja. Nanti jika ia lelah akan berhenti bicara. Begitu pikiran kami.
***
Ternyata mulutnya (masih) selalu berkicau. Tak berhenti berucap. Ada saja yang dilontarkannya. Kalau perlu sumpah-serapah ia keluarkan pula. Dan baru merasa puas dan berhenti bila ada yang terpancing dan termakan oleh cakapnya. Astaghfirullah...
Bertetangga dengannya, hampir tiga puluh tahun lamanya hal itu membuat Ayah dan Ibu mahfum halnya aku. Sudah mengerti betul sifat dan karakter yang ditampakinya. Apalagi ia seorang perempuan. Masih gadis pula. Atau, perawan tua.
Karena diusianya yang sudah berkepala 4  itu belum juga menikah. Belum terjamah sama sekali oleh tangan kekar laki-laki. Apalagi usiaku 25 tahun saat ini---dan  aku lihat tak ada seorang lelaki pun menjambangi rumahnya. Maka dari itu lebih baik tak mencari perkara dengannya. Mencari aman saja. Itulah yang aku lakukan sekeluarga bila berurusan dengannya.
Bukan. Bukan, aku tak peduli dengan perempuan yang belum menikah itu. Tapi itulah yang aku lakukan sekeluarga! Tak ingin menimbulkan asap membumbung tinggi lagi dengannya kembali. Kalau pun diperlukan aku siap memancangkan bendera putih sebagai tanda damai. Bukan mengalah berarti kalah?
Ayah pernah kena getahnya saat ingin memisahkan perawan tua itu---yang sedang beradu mulut dengan tetanggaku yang lainnya. Ia saling mencaci-maki. Saling hina-dina. Musababnya, aku pun tidak tahu pasti! Tapi karena hidup bertetangga tentunya harus saling membantu dan menolong. Apalagi itu sebuah kemungkaran di depan muka! Sudah pasti semestinya membasmi kemungkaran itu. Melihat ia itu saling melemparkan kata-kata sundal---yang tak patut dikeluarkan. Ayah  pun mencoba untuk melerainya.
Namun apa yang Ayah dapatkan saat itu?
Malang tak dapat dielakan. Ayah malah dapat umpatan balik dari perempuan itu. Ayah dicaci-makinya di depan umum. Sungguh sial nasib Ayah saat itu. Niat baik tak berbalas baik, malah sekam yang diterimanya. Aku merasa kasihan terhadap Ayah saat itu. Ayahlah yang lebih banyak mendapatkan umpatan-umpatan dari tetanggaku itu. Karena Ayah memiliki hati selembut salju jadi tak ikut naik pitam untuk meneladeninya.
Sejak itulah jika tetanggaku itu berlaku seperti yang kuuraikan tadi di atas, Ayah, Ibu dan aku lebih baik melihatnya saja. Tak ikut mencampurinya kembali! Karena kami tak ingin hal yang tak mengenakan itu terulang kembali. Tak ingin ketiban sial lagi. Orang makan nangkanya kami malah kena getahnya. Apes.
***
Perempuan itu ternyata kembali melakukan kebiasaannya. Entah, aku heran melihat tetanggaku itu memiliki "hobi" yang sangat berbeda pada umumnya. Selalu seperti itu. Tak rela jika ada tetangga yang lain hidup tenang. Baginya kurang afdhol jika ia belum melakukan kebiasaannya itu. Mencari perkara dan usil. Apalagi jika ada tetangga lain membeli barang mewah. Entah itu membeli kulkas, televisi, komputer, parabola, pasang telepon sampai perabot rumah tangga lainnya. Ada saja yang dijadikan bahan topik untuk diungkapkan kepada orang yang nanti akan menjadi korbannya.
 Ia tak senang melihatnya! Ia pasti akan mencibirnya.
"Sudahlah jangan kamu pikirkan tentang Kak Nur, tetangga kita satu itu. Anggap saja setan yang terselubung di jasadnya. Kan kalau sudah begitu jelas jadinya." Kembali Ibu berkata memberitahukan aku kembali agar tidak terlalu larut memikirkan perempuan itu.
"Tapikan Bu...?" jawabku mengawang-awang di atas langit tua Ibu.
"Tidak usah pakai tapi-tapian. Kita terima saja. Pernah dengar tidak pepatah Jawa becik ketitik olo ketoro.Siapa yang menanam dia pula yang menuai nantinya. Sabar saja nanti Tuhan yang membalasnya," lagi-lagi Ibu meredamkan darah mudaku agar aku tak mudah tersulut oleh ucapan perempuan itu.
"Kak Nur seperti itu sudah dari dulu. Ia membenci keluarga kita sebelum kamu lahir. Bukan hanya dia seorang saja yang tidak menyukainya. Kedua orangtuanya dulu pun sama. Sebelas-dua belas. Sudah dari dulu bermusuhan dengan keluarga ini. Keluarga ini memang sudah menjadi musuh bebuyutan bagi keluarga Kak Nur itu. Jadi biar bagaimanapun tetap tak bisa damai sampai kapan pun."
Aku hanya duduk diam ketika Ibu menguraikan asal mula kenapa Kak Nur selalu membenci kami. Ternyata semua berawal dari Kakekku dulu---yang pernah berselisih paham---dengan Ayah Kak Nur masa itu. Padahal mereka kedua-duanya (Kakekku dan Ayah Kak Nur) sudah lama tiada. Menurut Ibu ketika menterakan kepadaku kembali tentang perselisihan itu. Kala itu Kakekku dulu dibilang sebagai laki-laki perebut kekasih orang. Selalu pandai mencari perhatian seorang perempuan bernama Fatma.
Fatma adalah nama istri Kakekku sekaligus juga Nenekku yang sudah lama tiada pula. Nama itu pulalah yang menjadi permusuhan Kakekku dengan Ayah Kak Nur  bermula. Hanya saja karena Kakekku menikahi kekasih Ayah Kak Nur. Tak lain Nenekku itu.
Maklumlah dulu Nenekku itu adalah primadonanya kampung. Padahal nyata-nyatanya Kakekku tidak mengambil hati mantan kekasihnya Ayah Kak Nur itu---melainkan Nenekku sendirilah yang mau dipersunting. Karena saat itu Ayah Kak Nur adalah lelaki yang sangat ringan tangan. Selalu menindas Nenekku semasa mudanya dulu.
Bukan itu saja Nenekku pula dikatakan perempuan sundal. Perempuan hina. Akhirnya Kakekku yang mendengarkannya tentu saja murka lalu melerai pertikaian itu. Dan Kakekku berhasil melerainya. Saat itulah Nenekku itu jatuh hati kepada Kakekku.
"Ibu harap kamu bisa memaklumi apa yang Ibu katakan ini semua ke kamu. Namanya hidup tak ada yang mustahil. Jika kebaikan masih ada tentu keburukan pun tak akan hilang. Halnya manusia masih terus digoda oleh setan jika ia masih tak menghamba pada Sang PeciptaNya. Hanya kiamatlah yang menghentikan  semua itu."
Aku hanya memandang wajah Ibu. Kulihat mata Ibu yang hampir gerimis. Ia juga tak tahan menanggung hal itu semua. Ia terus menerus melanjuti perselisihan dari Kakek dan Nenekku hingga sekarang.
"Baiklah, sekarang Tulus mengerti apa yang Ibu katakan. Ternyata lebih berat dibanding apa yang Tulus kira," jawabku saat itu.
"Ya sudah kamu istirahat dulu! Hari sudah larut malam. Bukankah esok kamu masuk pagi kuliah. Dan satu lagi pesan Ibu mohon kamu tinggalkan Ratna. Karena Ratna itu masih ada hubungan darah dengan Ayah Kak Nur itu. Jika kamu ingin berbakti sama Ibu tinggalkan Ratna!"
Malam itu aku tak bisa memejamkan mata. Walau di luar sana purnama masih bulat. Masih bercahaya. Namun tidak dengan aku yang tiba-tiba duniaku mulai menggulita ketika usai mendengar pesan Ibu. Ibu memohon kepadaku agar aku meninggalkan Ratna, kekasihku yang setengah tahun ini sudah mengisi kisi-kisi hatiku. Aku langsung dilema. Hingga hubungankulah yang menjadi korban permusuhan yang sudah berkarat itu.
Aku sendiri? Terpaksa menuruti kembali perkataan Ibu. Dan itu lebih baik aku lakukan ketimbang harus mendengar umpatan-umpatan itu. Umpatan-umpatan dari perawan tua yang selalu mengendap menjadi kotoran di telingaku.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H