Mohon tunggu...
Kak Ian
Kak Ian Mohon Tunggu... -

Paling benci dengan pembully dan juga benci dengan orang-orang yang dengki sama orang yang sukses. Karena mereka adalah penjahat yang nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Keluar dari Mulutnya Lalu Mengendap di Telingaku

27 September 2017   18:55 Diperbarui: 29 September 2017   20:12 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Maklumlah dulu Nenekku itu adalah primadonanya kampung. Padahal nyata-nyatanya Kakekku tidak mengambil hati mantan kekasihnya Ayah Kak Nur itu---melainkan Nenekku sendirilah yang mau dipersunting. Karena saat itu Ayah Kak Nur adalah lelaki yang sangat ringan tangan. Selalu menindas Nenekku semasa mudanya dulu.

Bukan itu saja Nenekku pula dikatakan perempuan sundal. Perempuan hina. Akhirnya Kakekku yang mendengarkannya tentu saja murka lalu melerai pertikaian itu. Dan Kakekku berhasil melerainya. Saat itulah Nenekku itu jatuh hati kepada Kakekku.

"Ibu harap kamu bisa memaklumi apa yang Ibu katakan ini semua ke kamu. Namanya hidup tak ada yang mustahil. Jika kebaikan masih ada tentu keburukan pun tak akan hilang. Halnya manusia masih terus digoda oleh setan jika ia masih tak menghamba pada Sang PeciptaNya. Hanya kiamatlah yang menghentikan  semua itu."

Aku hanya memandang wajah Ibu. Kulihat mata Ibu yang hampir gerimis. Ia juga tak tahan menanggung hal itu semua. Ia terus menerus melanjuti perselisihan dari Kakek dan Nenekku hingga sekarang.

"Baiklah, sekarang Tulus mengerti apa yang Ibu katakan. Ternyata lebih berat dibanding apa yang Tulus kira," jawabku saat itu.

"Ya sudah kamu istirahat dulu! Hari sudah larut malam. Bukankah esok kamu masuk pagi kuliah. Dan satu lagi pesan Ibu mohon kamu tinggalkan Ratna. Karena Ratna itu masih ada hubungan darah dengan Ayah Kak Nur itu. Jika kamu ingin berbakti sama Ibu tinggalkan Ratna!"

Malam itu aku tak bisa memejamkan mata. Walau di luar sana purnama masih bulat. Masih bercahaya. Namun tidak dengan aku yang tiba-tiba duniaku mulai menggulita ketika usai mendengar pesan Ibu. Ibu memohon kepadaku agar aku meninggalkan Ratna, kekasihku yang setengah tahun ini sudah mengisi kisi-kisi hatiku. Aku langsung dilema. Hingga hubungankulah yang menjadi korban permusuhan yang sudah berkarat itu.

Aku sendiri? Terpaksa menuruti kembali perkataan Ibu. Dan itu lebih baik aku lakukan ketimbang harus mendengar umpatan-umpatan itu. Umpatan-umpatan dari perawan tua yang selalu mengendap menjadi kotoran di telingaku.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun