Mohon tunggu...
Kak Ian
Kak Ian Mohon Tunggu... -

Paling benci dengan pembully dan juga benci dengan orang-orang yang dengki sama orang yang sukses. Karena mereka adalah penjahat yang nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Keluar dari Mulutnya Lalu Mengendap di Telingaku

27 September 2017   18:55 Diperbarui: 29 September 2017   20:12 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malang tak dapat dielakan. Ayah malah dapat umpatan balik dari perempuan itu. Ayah dicaci-makinya di depan umum. Sungguh sial nasib Ayah saat itu. Niat baik tak berbalas baik, malah sekam yang diterimanya. Aku merasa kasihan terhadap Ayah saat itu. Ayahlah yang lebih banyak mendapatkan umpatan-umpatan dari tetanggaku itu. Karena Ayah memiliki hati selembut salju jadi tak ikut naik pitam untuk meneladeninya.

Sejak itulah jika tetanggaku itu berlaku seperti yang kuuraikan tadi di atas, Ayah, Ibu dan aku lebih baik melihatnya saja. Tak ikut mencampurinya kembali! Karena kami tak ingin hal yang tak mengenakan itu terulang kembali. Tak ingin ketiban sial lagi. Orang makan nangkanya kami malah kena getahnya. Apes.

***

Perempuan itu ternyata kembali melakukan kebiasaannya. Entah, aku heran melihat tetanggaku itu memiliki "hobi" yang sangat berbeda pada umumnya. Selalu seperti itu. Tak rela jika ada tetangga yang lain hidup tenang. Baginya kurang afdhol jika ia belum melakukan kebiasaannya itu. Mencari perkara dan usil. Apalagi jika ada tetangga lain membeli barang mewah. Entah itu membeli kulkas, televisi, komputer, parabola, pasang telepon sampai perabot rumah tangga lainnya. Ada saja yang dijadikan bahan topik untuk diungkapkan kepada orang yang nanti akan menjadi korbannya.

 Ia tak senang melihatnya! Ia pasti akan mencibirnya.

"Sudahlah jangan kamu pikirkan tentang Kak Nur, tetangga kita satu itu. Anggap saja setan yang terselubung di jasadnya. Kan kalau sudah begitu jelas jadinya." Kembali Ibu berkata memberitahukan aku kembali agar tidak terlalu larut memikirkan perempuan itu.

"Tapikan Bu...?" jawabku mengawang-awang di atas langit tua Ibu.

"Tidak usah pakai tapi-tapian. Kita terima saja. Pernah dengar tidak pepatah Jawa becik ketitik olo ketoro.Siapa yang menanam dia pula yang menuai nantinya. Sabar saja nanti Tuhan yang membalasnya," lagi-lagi Ibu meredamkan darah mudaku agar aku tak mudah tersulut oleh ucapan perempuan itu.

"Kak Nur seperti itu sudah dari dulu. Ia membenci keluarga kita sebelum kamu lahir. Bukan hanya dia seorang saja yang tidak menyukainya. Kedua orangtuanya dulu pun sama. Sebelas-dua belas. Sudah dari dulu bermusuhan dengan keluarga ini. Keluarga ini memang sudah menjadi musuh bebuyutan bagi keluarga Kak Nur itu. Jadi biar bagaimanapun tetap tak bisa damai sampai kapan pun."

Aku hanya duduk diam ketika Ibu menguraikan asal mula kenapa Kak Nur selalu membenci kami. Ternyata semua berawal dari Kakekku dulu---yang pernah berselisih paham---dengan Ayah Kak Nur masa itu. Padahal mereka kedua-duanya (Kakekku dan Ayah Kak Nur) sudah lama tiada. Menurut Ibu ketika menterakan kepadaku kembali tentang perselisihan itu. Kala itu Kakekku dulu dibilang sebagai laki-laki perebut kekasih orang. Selalu pandai mencari perhatian seorang perempuan bernama Fatma.

Fatma adalah nama istri Kakekku sekaligus juga Nenekku yang sudah lama tiada pula. Nama itu pulalah yang menjadi permusuhan Kakekku dengan Ayah Kak Nur  bermula. Hanya saja karena Kakekku menikahi kekasih Ayah Kak Nur. Tak lain Nenekku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun