Mengenal Tentang Toxic Masculinity
Jadi, istilah Toxic Masculinity mengacu pada stereotip dan perilaku laki-laki yang merugikan, terkait dengan peran gender dan sifat dominan, seperti agresivitas, kekerasan, penekanan emosi, dan larangan mengekspresikan tangis karena dianggap sebagai kelemahan.
Studi yang dimuat dalam Journal of Psychology mendefinisikan Toxic Masculinity sebagai sekumpulan karakteristik maskulin dalam struktur sosial yang digunakan untuk mempromosikan dominasi, kekerasan, homofobia, dan penindasan terhadap jenis kelamin tertentu.
“Kesedihan dan air mata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, yakni keberanian untuk menderita.” - Viktor Frankl
Toxic Masculinity yang menimpa kaum laki-laki dapat merugikan individu secara psikis dan lingkungan sekitarnya juga loh, lebih buruknya dapat berakibat fatal pada pembunuhan karakter seseorang. Tanpa disadari, Toxic Masculinity masih sering terjadi dalam lingkungan sosial kita karena adanya standar budaya dan sosial yang menggambarkan laki-laki harus tangguh dan tidak boleh menunjukkan sisi emosionalnya.
Tiga Aspek Toxic Masculinity di Antaranya adalah:
1. Ketangguhan (Toughness): Konsep bahwa seorang pria harus menunjukkan kekuatan fisik dan mental yang tidak tergoyahkan.
2. Anti Feminitas: Pandangan bahwa seorang pria harus menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, karena dianggap sebagai tanda kelemahan.
3. Kekuasaan (Power): Keyakinan bahwa seorang pria harus berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dan status dalam hierarki sosial untuk memperoleh pengakuan dan penghargaan.
Contoh bentuk Toxic Masculinity dalam konteks penggunaan skincare adalah stigma atau stereotip yang menyatakan bahwa pria yang menggunakan skincare dianggap kurang maskulin atau bahkan feminin. Pandangan ini mencerminkan aspek Anti Feminitas dari Toxic Masculinity, di mana pria diharapkan menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, termasuk perawatan kulit. Pria yang ingin merawat kulitnya mungkin menghadapi tekanan sosial atau ejekan karena dianggap tidak sesuai dengan citra Masculinity (maskulinitas) yang ditetapkan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya produk skincare yang diformulasikan khusus untuk kulit laki-laki dan semakin banyaknya kampanye pemasaran yang menargetkan laki-laki sebagai konsumen skincare. Dampak tren ini adalah peningkatan perilaku Masculinity yang tidak sehat pada remaja. Di masa sekarang, aktivitas seperti perawatan kulit pada pria dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas atau dikecam.
Dalam masyarakat patriarki, konsep Toxic Masculinity seringkali diperkuat. Budaya patriarki menegakan struktur kekuasaan yang seringkali memihak laki-laki dan memperkuat norma-norma merugikan bagi perempuan. Hal ini bisa memberikan ruang bagi perilaku yang merugikan perempuan sendiri, seperti terjadinya kekerasan dan terbentuknya ketidakadilan gender (Ig. @koprikomfapsi).
Ide maskulinitas yang tidak sehat ini dapat meningkatkan risiko perilaku-perilaku negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan bahkan pemerkosaan. Selain itu, pria yang menganut konsep Toxic Masculinity juga mungkin merasakan perasaan terasing, terisolasi, dan kesepian, serta mengalami kesulitan dalam membangun empati.
Pada dasarnya maskulinitas sejati tak terukur dari seberapa besar salah satu pihak lebih kuat sehingga dapat menekan, tapi ini tentang seberapa kuat kita saling mendukung. Mari bersama hentikan siklus Toxic yang merusak, untuk menciptakan ruang di mana semua pihak bisa tumbuh tanpa batasan dan tanpa rasa takut.
Pria dewasa yang sudah bertahun-tahun terbiasa memegang teguh sikap Toxic Masculinity cenderung akan sulit merubah pola pikirnya. Maka dari itu, sangat penting untuk menghindari dan mengubah konsep yang tidak sehat ini, serta menanamkannya pada anak laki-laki sejak masa kanak-kanak.
Untuk menghindari terjebak dalam konsep maskulin yang tidak sehat dan menghindari dampak buruknya, langkah pertama yang bisa diambil adalah memperbaiki pola asuh orang tua terhadap anak laki-laki.
Berikut Adalah Beberapa langkah yang Dapat Diambil oleh Setiap Orang Tua Untuk Menjauhkan Anak Laki-laki dari Pola Pikir Toxic Maculinity :
1. Mengajarkan ekspresi diri: Anak perlu diajarkan untuk mengenali dan mengekspresikan berbagai emosi yang dirasakan. Anak laki-laki harus diberi pengertian bahwa tidak ada yang salah dengan mengekspresikan perasaan sedih atau menangis. Jika anak merasa enggan menangis di depan umum, berikanlah pemahaman bahwa ia dapat meluapkan emosinya saat berada di lingkungan yang aman dan terpercaya, seperti di hadapan orang tua, guru, atau pengasuhnya.
2. Membangun empati: Anak laki-laki perlu dibimbing untuk memahami dan merasakan empati terhadap orang lain. Kemampuan empati ini dapat membantu mereka untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, serta mengontrol emosi dengan baik. Melalui pembelajaran tentang nilai-nilai kesopanan, anak dapat diajak untuk memahami sudut pandang orang lain dan menunjukkan kepedulian serta rasa hormat terhadap siapapun, tanpa memandang gender, jenis kelamin, atau latar belakang.
3. Menghindari perkataan merendahkan perempuan: Orang tua harus berupaya untuk menghindari penggunaan kata-kata atau ungkapan yang merendahkan perempuan, seperti mengaitkan perilaku tertentu dengan perempuan secara negatif. Hal ini dapat mendorong anak laki-laki untuk melihat perempuan dengan pandangan yang tidak pantas dan sulit untuk menghargai mereka.
4. Memantau media hiburan anak: Penting bagi orang tua untuk memantau konten media yang dikonsumsi oleh anak, baik itu melalui buku, film, gadget, atau media lainnya. Pastikan bahwa konten tersebut tidak menyebarkan pesan Toxic Masculinity. Jika ada tontonan atau hiburan yang menampilkan konsep maskulinitas yang salah, orang tua perlu memberikan pemahaman kepada anak bahwa hal tersebut tidak layak untuk ditiru.
Toxic Masculinity memang bukanlah sikap yang baik untuk dilakukan. Konsep Toxic Masculinity tidak hanya memberikan beban sosial kepada pria, tetapi juga cenderung mendorong mereka untuk menahan diri dari meluapkan emosi dan kesulitan dalam mencari jalan keluar yang sehat. Sikap ini dapat meningkatkan risiko kerusakan kesehatan mental pada pria.
Sehingga, penting bagi kita semua untuk menyadari ciri-ciri Toxic Masculinity dan mengambil langkah-langkah yang telah disebutkan untuk mencegahnya, terutama ketika membimbing anak-anak. Dengan meningkatkan kesadaran tentang pola pikir yang tidak sehat ini dan memberikan contoh yang positif serta mendukung ekspresi emosi yang sehat, kita dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan dapat menghargai semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau gender. Tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan pria, pemahaman maskulinitas yang sehat juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pada dasarnya, untuk mengatasi Toxic Masculinity dan meningkatkan kesehatan mental yang lebih baik, kita perlu memulai dengan mengubah cara pandang terhadap konsep maskulinitas. Kita perlu menghapus stigma terhadap emosi dan kerentanan, serta mempromosikan budaya yang mendukung keberanian untuk mengekspresikan diri secara autentik.
Langkah-langkah praktis untuk mengatasi Toxic Masculinity termasuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatifnya, membangun jaringan dukungan yang kuat, dan mempromosikan pola pikir yang inklusif dan empatik. Dengan melangkah maju dalam kerentanan, kaum laki-laki dapat menemukan kekuatan sejati mereka dan membangun kesehatan mental yang lebih kokoh.
Membangun kekuatan melalui kerentanan adalah proses yang memerlukan waktu dan tekad, tetapi dengan langkah-langkah yang sesuai, kita dapat membuka jalan menuju kesehatan mental yang lebih kokoh dan masyarakat yang lebih inklusif serta empatik bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Sumber :
Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi Vol. 12, No. 02, Tahun 2023, pp. 171-182
https://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/download/60991/pdf
Toxic Masculinity, Ini yang Perlu Kamu Ketahui
https://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui
Linggosiswojo, S. G. (2016). Representasi Maskulinitas dalam Iklan Televisi Umild “Kode Cowo”. Jurnal E-Komunikasi, 4(2). 1-12.
https://media.neliti.com/media/publications/80587-ID-representasi-maskulinitas-dalam-iklan-te.pdf
Yudhistira, F. (2017). Toxic Masculinity Dalam Globalisasi Kontemporer: Studi Kasus Toxic Masculinity Di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H