Mohon tunggu...
Sebti Melani Putri
Sebti Melani Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa International Women University

Hallo, saya seorang mahasiswa yang tengah mengejar mimpi untuk menjadi seorang pelukis dari sebuah cerita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Merintis Kekuatan Melalui Kerentanan: Mengatasi Toxic Masculinity untuk Membangun Kesehatan Mental yang Lebih Kuat

7 Februari 2024   17:07 Diperbarui: 15 Maret 2024   23:54 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Geotimes : Toxic Masculinity

Contoh bentuk Toxic Masculinity dalam konteks penggunaan skincare adalah stigma atau stereotip yang menyatakan bahwa pria yang menggunakan skincare dianggap kurang maskulin atau bahkan feminin. Pandangan ini mencerminkan aspek Anti Feminitas dari Toxic Masculinity, di mana pria diharapkan menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, termasuk perawatan kulit. Pria yang ingin merawat kulitnya mungkin menghadapi tekanan sosial atau ejekan karena dianggap tidak sesuai dengan citra Masculinity (maskulinitas) yang ditetapkan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya produk skincare yang diformulasikan khusus untuk kulit laki-laki dan semakin banyaknya kampanye pemasaran yang menargetkan laki-laki sebagai konsumen skincare. Dampak tren ini adalah peningkatan perilaku Masculinity yang tidak sehat pada remaja. Di masa sekarang, aktivitas seperti perawatan kulit pada pria dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas atau dikecam.

Dalam masyarakat patriarki, konsep Toxic Masculinity seringkali diperkuat. Budaya patriarki menegakan struktur kekuasaan yang seringkali memihak laki-laki dan memperkuat norma-norma merugikan bagi perempuan. Hal ini bisa memberikan ruang bagi perilaku yang merugikan perempuan sendiri, seperti terjadinya kekerasan dan terbentuknya ketidakadilan gender (Ig. @koprikomfapsi).

Ide maskulinitas yang tidak sehat ini dapat meningkatkan risiko perilaku-perilaku negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan bahkan pemerkosaan. Selain itu, pria yang menganut konsep Toxic Masculinity juga mungkin merasakan perasaan terasing, terisolasi, dan kesepian, serta mengalami kesulitan dalam membangun empati.

Pada dasarnya maskulinitas sejati tak terukur dari seberapa besar salah satu pihak lebih kuat sehingga dapat menekan, tapi ini tentang seberapa kuat kita saling mendukung. Mari bersama hentikan siklus Toxic yang merusak, untuk menciptakan ruang di mana semua pihak bisa tumbuh tanpa batasan dan tanpa rasa takut.

Pria dewasa yang sudah bertahun-tahun terbiasa memegang teguh sikap Toxic Masculinity cenderung akan sulit merubah pola pikirnya. Maka dari itu, sangat penting untuk menghindari dan mengubah konsep yang tidak sehat ini, serta menanamkannya pada anak laki-laki sejak masa kanak-kanak. 

Untuk menghindari terjebak dalam konsep maskulin yang tidak sehat dan menghindari dampak buruknya, langkah pertama yang bisa diambil adalah memperbaiki pola asuh orang tua terhadap anak laki-laki. 

Berikut Adalah Beberapa langkah yang Dapat Diambil oleh Setiap Orang Tua Untuk Menjauhkan Anak Laki-laki dari Pola Pikir Toxic Maculinity :

1. Mengajarkan ekspresi diri: Anak perlu diajarkan untuk mengenali dan mengekspresikan berbagai emosi yang dirasakan. Anak laki-laki harus diberi pengertian bahwa tidak ada yang salah dengan mengekspresikan perasaan sedih atau menangis. Jika anak merasa enggan menangis di depan umum, berikanlah pemahaman bahwa ia dapat meluapkan emosinya saat berada di lingkungan yang aman dan terpercaya, seperti di hadapan orang tua, guru, atau pengasuhnya.

2. Membangun empati: Anak laki-laki perlu dibimbing untuk memahami dan merasakan empati terhadap orang lain. Kemampuan empati ini dapat membantu mereka untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, serta mengontrol emosi dengan baik. Melalui pembelajaran tentang nilai-nilai kesopanan, anak dapat diajak untuk memahami sudut pandang orang lain dan menunjukkan kepedulian serta rasa hormat terhadap siapapun, tanpa memandang gender, jenis kelamin, atau latar belakang.

3. Menghindari perkataan merendahkan perempuan: Orang tua harus berupaya untuk menghindari penggunaan kata-kata atau ungkapan yang merendahkan perempuan, seperti mengaitkan perilaku tertentu dengan perempuan secara negatif. Hal ini dapat mendorong anak laki-laki untuk melihat perempuan dengan pandangan yang tidak pantas dan sulit untuk menghargai mereka.

4. Memantau media hiburan anak: Penting bagi orang tua untuk memantau konten media yang dikonsumsi oleh anak, baik itu melalui buku, film, gadget, atau media lainnya. Pastikan bahwa konten tersebut tidak menyebarkan pesan Toxic Masculinity. Jika ada tontonan atau hiburan yang menampilkan konsep maskulinitas yang salah, orang tua perlu memberikan pemahaman kepada anak bahwa hal tersebut tidak layak untuk ditiru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun