Ijinkan saya menjadi orang yang bisa memenuhi janjinya. Biarkan saya memiliki kebahagiaan saya sendiri. Tolong bantu dengan tidak menghubungi saya lagi. Kembalilah pada keluargamu.”
Beludru hitam kota membekapnya dalam ikatan yang kuat. Ia sesak napas.
Tut...tut...tut...
Ia berjalan gontai menuju balkon kaca itu. Ia melihat lantai kaca itu bagai laron yang tertarik pada lampu. Ia tahu ia bisa mati kepanasan. Sebenarnya ia tidak punya keberanian mendekati lantai kaca itu sendiri. Ia ingin di sana bersama Devan.
Tapi kini Devan tidak akan ada lagi. Devan hilang. Obatnya habis dan hilang dari peredaran. Penyemangat hidupnya.
Ia melangkahkan kaki ke lantai kaca itu. Mobil-mobil lalu lalang di bawahnya. Dipandanginya berlian bertaburan di atas beludru hitam yang kini membekapnya. Sesak napas. Ia harus keluar dari bekapan beludru ini. Harus. Dilepasnya stiletto merahnya. Dipegangnya erat-erat railing kaca pembatas setinggi dada itu. Ia menaikinya. Berusaha terbang bebas bagai kupu-kupu. Melepaskan diri dari bekapan beludru.
* * *
Bersambung ke bagian 2 Senin depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H