Mohon tunggu...
Schatzi Aprilluna
Schatzi Aprilluna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya merupakan mahasiswa semester 6 jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Boleh Pernikahan dengan Non-Muslim Dilaksanakan?

1 Mei 2023   06:20 Diperbarui: 1 Mei 2023   06:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya, sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan pendamping dalam hidupnya baik untuk berbagi cinta, kasih, melanjutkan keturunan, menyempurnakan agamanya. Agar tidak jatuh dalam kemaksiatan, maka harus mempunyai ikatan yang sah yaitu pernikahan. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dengan berpasang-pasangan, termasuk di dalamnya manusia. Karena Indonesia memiliki keberagaman suku, ras dan agama, maka pernikahan dengan yang berbeda suku atau bahkan pernikahan beda agama banyak terjadi di Indonesia.

A. Pengertian Secara Etimologi dan Terminologi

Pengertian pernikahan secara etimologi Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut Bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan. Pernikahan berasal dari kata kata nakaha dan zawaja. Nikah dalam dalam Bahasa Arab bermakna (al-wath’u) yakni bersetubuh atau berhubungan intim, atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan.

Sedangkan nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang menjadi dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah, yaitu: Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi. Nikah menurut arti aslinya adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah. Zakaria al-Ansari mengemukakan bahwa nikah adalah suatu akad yang mengandung jaminan diperbolehkannya persetubuhan dengan lafadz nikahdan sejenisnya.

Berdasarkan terminologi fikih Islam klasik, non-muslim disebut zimmi, yang diartikan sebagai kaum yang hidup dalam pemerintahan Islam yang dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban militer dan zakat, namun diwajibkan membayar pajak (jizyah). Istilah non-Muslim digunakan untuk menyebut orang- orang yang bukan penganut agama Islam. Non-Muslim sering disebut juga ahlul-kitabb. Secara etimologis, ahlul kitab berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, ahl yang berarti “keluarga atau kerabat dekat” dan al- kitab yang berarti lembaran atau buku. Ahlul kitab dapat diartikan yang memiliki kitab suci yang diturunkan sebelum al-Qur`an.

Anwar menjelaskan, orang yang tidak beragama Islam dalam pergaulan sehari-hari disebut dengan non-muslim atau orang yang tidak beragama Islam. Maksudnya, orang yang tidak dan atau belum beragama Islam itu artinya adalah orang yang belum lagi bisa menerima kebenaran dari ajaran agama Islam. Merupakan definisi yang sangat luas, para ulama berpendapat bahwa istilah non-muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar al-Qur’an, Syeikh Muhammad Abduh segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapimencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasiritualnya. al-Qur‟an menyebutkan muslim ini secara umum seperti dalam Q.S al-Hajj ayat 17:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا ۖاِنَّ اللّٰهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ  .

17. Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.

Dapat disimpulkan bahwa pernikahan dengan non muslim adalah pernikahan antara pemeluk agama islam dengan yang tidak memeluk agama Islam (beda agama dan keyakinan), tetapi mereka tetap berpegang dan mempertahankan agamanya masing-masing.

B. Urgensi Pernikahan dengan Non-Muslim

Di era serba modern ini, pergaulan generasi milenial semakin luas. Bahkan tanpa batas, tanpa sekat etnis, suku dan agama. Apalagi, mahasiswa yang sedang menempuh Pendidikan di kampus-kampus besar, yang sangat majemuk dalam berbagai aspek. Termasuk pergaulan antar beda agama. Karena kita memang hidup di negara yang majemuk, maka hal ini sudah biasa. Persinggungan antarpemeluk agama yang berbeda didunia akademik sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan tidak jarang, mahasiswa dan mahasiswi memadu kasih (berpacaran) dengan orang yang tidak seiman.

Sebagaimana diketahui, bahwa pernikahan adalah hubungan dua manusia yang setara. Kesetaraan ini minimal dilihat dalam empat aspek: sama hidup, sama manusia, sama dewasa dan sama-sama saling cinta. Pondasi rumah tangga dalam pernikahan sangat ditentukan sejak dalam proses pemilihan pasangan hidup. Itu sebabnya, pondasi ini harus kokoh, agar tidak goyah saat ada goncangan. Terlebih, dengan beban yang berat dengan hadirnya buah hati, maka dibutuhkan pondasi yang kuat dan mapan.

Kekuatan pondasi rumah tangga bukan ditentukan oleh keacntikan atau ketampanan, karena keduanya bersifat relatif sekaligus cepat pudar. Juga bukan ditentukan oleh harta kekayaan, karena harta mudah didapat sekaligus mudah lenyap. Kelanggengan rumah tangga juga tidak ditentukan status sosial atau kebangsawanan, karena yang ini pun bersifat sementara. Pondasi rumah tangga yang dapat mengawetkan ikatan pernikahan sejatinya adalah pondasi nilai-nilai spitual yang diyakini (ajaran agama).

Fenomena maraknya pernikahan beda agama telah berlangsung lama dalam masyarakat. Saking maraknya terjadi, fenomena tersebut sudah dianggap sebagai hal yang biasa saja. Kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tidak sedikit juga yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.

Hubungan antar umat beda agama telah lama menjadi isu populer di Indonesia. Kepopuleran isu ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang majemuk, terutama dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beda agama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia adalah pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat biasa maupun selebritis tanah air. Pernikahan tersebut sebagian ada yang dilakukan secara terang-terangan dan sebagian dilakukan sembunyi-sembunyi.

C. Analisis Istinbath Hukum Pernikahan dengan Non-Muslim

1. Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an menyatakan pelarangan tentang pernikahan beda agama terhadap laki-laki muslim dengan wanita kafir yang musyrik dan juga melarang wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Di sisi lain Al-Qur’an membolehkan laki-laki yang muslim menikah dengan wanita kafir (non Islam) tetapi yang diperbolehkan dinikahi hanya wanita kafir (non Islam) yang beragama samawi atau wanita ahlul kitab seperti Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam Surat Al-Ma’idah Ayat 5:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukumhukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”

2. Menurut Hadits

Pernikahan Muslim dengan ahlul kitab

حدثنا تميم بن المنتصر قال، أخبرنا إسحاق الأزرق، عن شريك، عن أشعث بن سوار، عن الحسن، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا

Rasulullah SAW. bersabda: “kami (muslim boleh) mengawini wanita ahl al-kitab, namun (pria-pria) mereka tidak (boleh/terlarang) mengawini wanita-wanita kami (Muslimah)”.

Dalam hadis tersebut dijelaskan secara gamblang bahwa membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab, namun tidak sebaliknya. Berdasarkan kritik sanad, al-Thabari mengakui bahwa status hadis ini adalah hadis dha’if, namun demikian hadis ini diamalkan dan disepakati oleh para ulama, terutama kalangan para sahabat dan ulama pada masa awal Islam.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh sahabat Ibnu Umar. Ia tidak menyetujuai perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan ahlul kitab (Nasrani). Pendapatnya tersebut didasarkan pada pandangannya yang menganggap bahwa perempuan Nasrani termasuk musyrik karena menganggap nabi Isa sebagai Tuhan sehingga ia masuk dalam kategori wanita yang haram dinikahi dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221. Namun pendapat ini dianggap oleh Ibn al- Mundzir (w. 318 H) sebagai pendapat yang tidak valid. Ia menyatakan bahwa larangan menikahi wanita ahl al-kitab termasuk pendapat yang lemah pada masa awal Islam.

3. Menurut Para Fuqaha

Fuqaha sepakat bahwa pernikahan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim baik ahlul kitab atau musyrik tidak sah. karena dikhawatirkan akan ada pelanggaran-pelanggaran akidah, karena sebagaimana yang diketahui bahwa istri itu wajib tunduk kepada suami.

Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i membolehkan menikahi Wanita Yahudi dan Nashrani serta berhubungan badan dengan budak wanita dalam kedudukan sebagai miliknya. Selanjutnya mereka mengharamkan untuk menikahi wanita Majusi secara keseluruhan serta berhubungan badan dengannya dalam kedudukan wanita tersebut sebagai budaknya. Di sisi lain, Imam Malik mengharamkan menikahi budak wanita Yahudi dan Nashrani. Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i mengharamkan untuk menikahi budak wanita dari Ahlul kitab. Karena budak ini termasuk yang disebutkan di dalam firman-Nya pada surat Al-Ma'idah ayat 5. Sebab, kata Ihshan di situ memiliki dua pengertian. Pertama, berarti kemerdekaan dan yang kedua berarti pemelihara kehormatan.

4. Menurut Peraturan Negara

Perkawinan yang dilakukan berlainan agama tidak dianggap sah menurut undang-undang perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, berguna dalam meminimalisir adanya pertentangan dalam persoalan perkawinan beda agama. Undang-undang ini memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama masing-masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 sub f Undang-Undang Perkawinan menjelaskan tentang larangan perkawinan, maka untuk melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan agama akan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi calon suami istri yang bersangkutan.

5. Menurut Kajian Maqasid Al-Syariah

Pernikahan tidak seagama tidak sesuai dg maqasid al syariah karena akan merusak “hifd al din” dan “hifd al nasab”. Dalam kitab Athar al-Maqasid al-Syari’iyyah fi Fiqh al-nikah ‘inda al-aqaliyyat al-muslimah karya Bandar bin Tilal al-Mahlawi, dijelaskan bahwa ada bebarapa tujuan disyariatkannya larangan pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim, yaitu:

  • Menjaga agama perempuan (istri).
  • Menjaga cinta dan kasih sayang antara suami istri.
  • Mencegah agar non-muslim tidak menjadi pemimpin dalam keuarga muslim.
  • Mencegah agar anak tidak mengikuti agama selian Islam yang dianut ayahnya

Dapat disimpulkan bahwa dalam memilih pasangan hendaknya kita mencari yang sama agamanya dengan kita karena dalam Islam, kesetaraan antarpasangan ini sangat ditekankan apalagi kesamaan dalam prinsip hidup dan keyakinan. Karena pernikahan dimaksudkan agar terjalin hubungan harmonis, minimal antara pasangan suami-istri dan anak keturunannya. Hubungan suami-istri bukan sekadar hubungan jasmani, tetapi juga hubungan rohani, pikiran dan perasaan. Ikatan pernikahan bukan hanya menjadikan ikatan suami istri "sebadan" tetapi juga harus menjadi sehati, sepikiran, dan seperasaan. Bagaimana mungkin akan terjalin kesatuan rasa dan pikiran, jika pandangan hidup dan keyakinannya berbeda? Bagaimana mungkin keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri? Padahal, nilai-nilai spiritual itulah yang mewarnai tingkah laku dalam kehidupan berkeluarga.

Dalam pandangan Islam, nilai tertinggi adalah nilai keyakinan tentang keesaan Tuhan. Oleh sebab itu, keyakinan ini tidak boleh dikorbankan. Keyakinan dan keimanan harus dilestarikan dan diteruskan kepada anak cucunya. Dengan demikian, larangan pernikahan antar penganut agama yang berbeda bertujuan untuk meraih kemaslahatan bersama, serta demi terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh mawaddah dan rahmah (penuh kasih sayang antara kedua pasangan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun