Perkawinan yang dilakukan berlainan agama tidak dianggap sah menurut undang-undang perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, berguna dalam meminimalisir adanya pertentangan dalam persoalan perkawinan beda agama. Undang-undang ini memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama masing-masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 sub f Undang-Undang Perkawinan menjelaskan tentang larangan perkawinan, maka untuk melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan agama akan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi calon suami istri yang bersangkutan.
5. Menurut Kajian Maqasid Al-Syariah
Pernikahan tidak seagama tidak sesuai dg maqasid al syariah karena akan merusak “hifd al din” dan “hifd al nasab”. Dalam kitab Athar al-Maqasid al-Syari’iyyah fi Fiqh al-nikah ‘inda al-aqaliyyat al-muslimah karya Bandar bin Tilal al-Mahlawi, dijelaskan bahwa ada bebarapa tujuan disyariatkannya larangan pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim, yaitu:
- Menjaga agama perempuan (istri).
- Menjaga cinta dan kasih sayang antara suami istri.
- Mencegah agar non-muslim tidak menjadi pemimpin dalam keuarga muslim.
- Mencegah agar anak tidak mengikuti agama selian Islam yang dianut ayahnya
Dapat disimpulkan bahwa dalam memilih pasangan hendaknya kita mencari yang sama agamanya dengan kita karena dalam Islam, kesetaraan antarpasangan ini sangat ditekankan apalagi kesamaan dalam prinsip hidup dan keyakinan. Karena pernikahan dimaksudkan agar terjalin hubungan harmonis, minimal antara pasangan suami-istri dan anak keturunannya. Hubungan suami-istri bukan sekadar hubungan jasmani, tetapi juga hubungan rohani, pikiran dan perasaan. Ikatan pernikahan bukan hanya menjadikan ikatan suami istri "sebadan" tetapi juga harus menjadi sehati, sepikiran, dan seperasaan. Bagaimana mungkin akan terjalin kesatuan rasa dan pikiran, jika pandangan hidup dan keyakinannya berbeda? Bagaimana mungkin keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri? Padahal, nilai-nilai spiritual itulah yang mewarnai tingkah laku dalam kehidupan berkeluarga.
Dalam pandangan Islam, nilai tertinggi adalah nilai keyakinan tentang keesaan Tuhan. Oleh sebab itu, keyakinan ini tidak boleh dikorbankan. Keyakinan dan keimanan harus dilestarikan dan diteruskan kepada anak cucunya. Dengan demikian, larangan pernikahan antar penganut agama yang berbeda bertujuan untuk meraih kemaslahatan bersama, serta demi terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh mawaddah dan rahmah (penuh kasih sayang antara kedua pasangan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H