Pada pelaksanaan UNFCCC COP16 di Cancun, Meksiko, Desember 2010 lalu, topik mengenai loss and damage menghangat dan menyeruak ke permukaan. Apa itu loss and damage dan bagaimana kedua hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim? Apa dampaknya bagi masyarakat luas, terutama penduduk di Indonesia?
Perubahan iklim memang sebuah keniscayaan: tak serta merta terasa, namun ada, dan tak bisa kita hindari. Aktivitas manusia yang tak ramah lingkungan dituding menjadi penyebab utama dari perubahan iklim, seperti pembakaran hutan dan pengelolaan sampah yang tak terorganisir dengan baik.
Sementara menurut Prasad dkk. (2009), dampak krusial dari perubahan iklim sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni:
Dampak terhadap lingkungan, termasuk di dalamnya perubahan di pesisir dan sistem kelautan, kehutanan, serta biodiversitas;
Dampak terhadap ekonomi, yang merupakan ancaman bagi ketersediaan air bersih, pertanian, perikanan, disrupsi pada pariwisata, serta pertahanan energi;
Dampak terhadap kehidupan sosial, mencakup perpindahan penduduk, hilangnya mata pencaharian, hingga permasalahan kesehatan.
Dampak-dampak tersebut disinyalir akan paling mempengaruhi kehidupan masyarakat miskin di perkotaan dan sekitarnya, seperti termasuk juga pemukiman kumuh di bibir pantai.
Salah satu dampak pemanasan global lain ternyata tak berhenti pada fakta mencairnya es di kutub melainkan berlanjut hingga kenaikan permukaan air laut yang signifikan, bahkan diperkirakan mencapai 0.09-0.88 meter dalam satu abad mendatang menurut Special Report on Emissions Scenario(SRES), dan fakta ini tentu mengancam kehidupan umat manusia, terutama mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil maupun pesisir.
Isu ini sangat vital bagi masyarakat Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2014, rata-rata kenaikan muka laut di Indonesia sebesar 0,73 - 0,76 cm per tahun.
Kehilangan rumah dan mata pencaharian penduduk hingga tenggelamnya pulau-pulau kecil, hanyalah sedikit bentuk dari loss and damage dari bencana akibat perubahan iklim yang sebetulnya bisa kita minimalisir.Â
Beberapa bencana lingkungan lain yang bisa menyebabkan loss and damage di antaranya adalah rusaknya terumbu karang dan biota laut yang mengakibatkan perubahan pada habitat laut hingga pola perikanan bagi masyarakat pesisir, kebakaran hutan akibat kekeringan yang menyebabkan spesies tertentu kehilangan habitat alaminya, dan bahkan rusaknya lahan pertanian yang menyebabkan penurunan hasil pertanian, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Menurut Munasinghe & Swart (2005), adaptasi, peningkatan kewaspadaan, dan tindakan mitigasi merupakan beberapa contoh aksi nyata yang mendukung beragam pengembangan sistem keberlanjutan, sementara sistem-sistem keberlanjutan ini sendiri nantinya dapat membantu menekan dampak dari laju perubahan iklim.
Belajar dari pengalaman negara-negara di Afrika, dimana penduduknya terancam bencana kelaparan dan beberapa terpaksa bermigrasi akibat kekeringan yang terus meluas, Indonesia harus senantiasa aktif menginisiasi beragam langkah pendataan, penggunaan teknologi, partisipasi pendanaan, hingga edukasi dan sosialisasi mengenai loss and damage untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat, sebagai upaya untuk meminimalisir situasi pasca bencana akibat perubahan iklim.
Mungkin mengubah dunia adalah sebuah gagasan yang terlalu muluk dan utopis, lalu mengapa tidak memulai dengan mengubah diri kita sendiri? Terkadang, justru inisiatif itulah yang paling diperlukan untuk Bumi ini dapat menjadi rumah yang nyaman untuk ditinggali, oleh semua makhluk hidup, tanpa terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H