Mohon tunggu...
Asyana Eka Putri
Asyana Eka Putri Mohon Tunggu... Lainnya - scholasticaasyana@gmail.com

I analyze data and give strategic insights to help business entities grow and make huge impact. Passionate about inclusive technology for greater good.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meminimalisir Dampak Bencana Akibat Perubahan Iklim

8 Desember 2017   05:08 Diperbarui: 10 Desember 2017   07:55 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: Merdeka Banyuwangi


Pada pelaksanaan UNFCCC COP16 di Cancun, Meksiko, Desember 2010 lalu, topik mengenai loss and damage menghangat dan menyeruak ke permukaan. Apa itu loss and damage dan bagaimana kedua hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim? Apa dampaknya bagi masyarakat luas, terutama penduduk di Indonesia?

Perubahan iklim memang sebuah keniscayaan: tak serta merta terasa, namun ada, dan tak bisa kita hindari. Aktivitas manusia yang tak ramah lingkungan dituding menjadi penyebab utama dari perubahan iklim, seperti pembakaran hutan dan pengelolaan sampah yang tak terorganisir dengan baik.

Sementara menurut Prasad dkk. (2009), dampak krusial dari perubahan iklim sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni:

Dampak terhadap lingkungan, termasuk di dalamnya perubahan di pesisir dan sistem kelautan, kehutanan, serta biodiversitas;

Dampak terhadap ekonomi, yang merupakan ancaman bagi ketersediaan air bersih, pertanian, perikanan, disrupsi pada pariwisata, serta pertahanan energi;

Dampak terhadap kehidupan sosial, mencakup perpindahan penduduk, hilangnya mata pencaharian, hingga permasalahan kesehatan.

Dampak-dampak tersebut disinyalir akan paling mempengaruhi kehidupan masyarakat miskin di perkotaan dan sekitarnya, seperti termasuk juga pemukiman kumuh di bibir pantai.

Salah satu dampak pemanasan global lain ternyata tak berhenti pada fakta mencairnya es di kutub melainkan berlanjut hingga kenaikan permukaan air laut yang signifikan, bahkan diperkirakan mencapai 0.09-0.88 meter dalam satu abad mendatang menurut Special Report on Emissions Scenario(SRES), dan fakta ini tentu mengancam kehidupan umat manusia, terutama mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil maupun pesisir.

Isu ini sangat vital bagi masyarakat Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2014, rata-rata kenaikan muka laut di Indonesia sebesar 0,73 - 0,76 cm per tahun.

Sumber: Tempo.
Sumber: Tempo.
Di Semarang dan Demak, dua kota yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah, kerap ditemui bencana rob atau naiknya permukaan air laut, namun kian tahun dampaknya kian mengkhawatirkan, bahkan hingga memaksa penduduk untuk meninggalkan rumahnya dan berpindah ke tempat yang lebih aman. Selain peristiwa rob, kenaikan permukaan air laut kelak diperkirakan bisa menyebabkan sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia tenggelam dan 42 juta rumah di pesisir hilang, seperti diungkap oleh salah satu staf ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015 lalu.

Kehilangan rumah dan mata pencaharian penduduk hingga tenggelamnya pulau-pulau kecil, hanyalah sedikit bentuk dari loss and damage dari bencana akibat perubahan iklim yang sebetulnya bisa kita minimalisir. 

Beberapa bencana lingkungan lain yang bisa menyebabkan loss and damage di antaranya adalah rusaknya terumbu karang dan biota laut yang mengakibatkan perubahan pada habitat laut hingga pola perikanan bagi masyarakat pesisir, kebakaran hutan akibat kekeringan yang menyebabkan spesies tertentu kehilangan habitat alaminya, dan bahkan rusaknya lahan pertanian yang menyebabkan penurunan hasil pertanian, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Sumber foto: SekedarBerbagi.blogspot.com
Sumber foto: SekedarBerbagi.blogspot.com
Peningkatan resiliensi dan ketahanan masyarakat dalam meminimalisir loss and damage sangat menjadi urgensi serta sepatutnya digarisbawahi oleh berbagai pihak, termasuk juga pemerintah pusat dan daerah sebagai pengambil kebijakan serta penanggungjawab dana penanggulangan bencana (menurut UU No 24 tahun 2007 pasal 60 ayat 1 dan 2), para aktivis dan penggiat organisasi, swasta, akademisi dan peneliti, hingga masyarakat yang terdampak itu sendiri.

Credit: Merdeka Banyuwangi
Credit: Merdeka Banyuwangi
Pada Oktober lalu, sekelompok anak muda di bawah naungan komunitas Seasoldier yang didirikan oleh Nadine Chandrawinata menginisiasi penanaman bakau di Banyuwangi. Penanaman bakau sendiri merupakan langkah nyata untuk menyelamatkan pesisir dari abrasi laut. Langkah-langkah semacam inilah yang patut untuk diapresiasi dan disebarluaskan agar dapat menginspirasi inisiatif-inisiatif sejenis untuk terus tumbuh.

Menurut Munasinghe & Swart (2005), adaptasi, peningkatan kewaspadaan, dan tindakan mitigasi merupakan beberapa contoh aksi nyata yang mendukung beragam pengembangan sistem keberlanjutan, sementara sistem-sistem keberlanjutan ini sendiri nantinya dapat membantu menekan dampak dari laju perubahan iklim.

Belajar dari pengalaman negara-negara di Afrika, dimana penduduknya terancam bencana kelaparan dan beberapa terpaksa bermigrasi akibat kekeringan yang terus meluas, Indonesia harus senantiasa aktif menginisiasi beragam langkah pendataan, penggunaan teknologi, partisipasi pendanaan, hingga edukasi dan sosialisasi mengenai loss and damage untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat, sebagai upaya untuk meminimalisir situasi pasca bencana akibat perubahan iklim.

Penggunaan satelit GRACE untuk mendeteksi kenaikan air laut. Sumber: Geodesi ITB.
Penggunaan satelit GRACE untuk mendeteksi kenaikan air laut. Sumber: Geodesi ITB.
Bicara tentang perubahan iklim memang tak akan pernah usai, dan semestinya jangan usai, sebab kita bicara juga tentang generasi-generasi selanjutnya, yang paling mungkin akan merasakan efek positif dari tiap usaha kita menekan dampak perubahan iklim, atau yang paling mungkin akan merasakan efek negatif dari tiap ketidakpedulian kita. 

Mungkin mengubah dunia adalah sebuah gagasan yang terlalu muluk dan utopis, lalu mengapa tidak memulai dengan mengubah diri kita sendiri? Terkadang, justru inisiatif itulah yang paling diperlukan untuk Bumi ini dapat menjadi rumah yang nyaman untuk ditinggali, oleh semua makhluk hidup, tanpa terkecuali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun