Tidak lama setelah DPR menerima usulan nama capim KPK dari Presiden, tiba-tiba Rapat Paripurna DPR,  Kamis 5 September 2019, menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai usul inisiatif DPR, dan diajukan ke Presiden untuk membahasnya. Gayung bersambut, 11 September, Presiden Jokowi memberitahu  ke DPR nama yang akan mewakilinya membahas revisi UU KPK dimaksud.
DPR dan Presiden, saling bersinergi melindungi berlapis ganda memukul KPK. Pukulan pertama, dengan nama-nama usulan Presiden untuk disetujui DPR, sudah terwujud. Pukulan berikutnya arah sebaliknya dari DPR, yang paling mematikan, merevisi UU KPK.Â
Bila kedua pukulan tersebut menghamtam KPK, dapat mematikan KPK. Tapi KPK tidak akan mati dibunuh, tapi  dijadikan hidup segan mati tak mau. Kalau benar-benar mati tidak akan berguna,  KPK dikebiri agar dapat dikendalikan sebagai alat kekuasaan oligarki.
Bila revisi UU KKP terwujud seperti usulan DPR, maka dapat dikatakan KPK seperti hidup segan mati tak mau. KPK yang memiliki fungsi sama dengan Kejaksaan dan Polri dalam kewenangan pemberantasan Korupsi,  menjadi kehilangan makna  sebagai pembeda.Â
Kehadiran KPK dirancang berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan, dari semangat reformasi 1998, menjadi kehilangan esensinya. Revisi UU KPK merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai jiwa reformasi dan mengembalikan kehidupan berbangsa ke rezim otoriter Soeharto. Bila KPK berhasil dilumpuhkan, maka hanya kekuatan setara reformasi 1998 yang mampu mengembalikannya, dan momentum itu tidak mudah tercipta.
Tampaknya kekuasaan oligarki sudah lama menyusun skenario konspirasi sehingga kedua cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan melakukannya. Â
Sesungguhnya hanya dengan pukulan dari nama pimpinan KPK usulan Presiden, sudah mampu membuat KPK terhuyung-huyung. Tetapi kekuasaan oligarki hendak memastikan KPK lumpuh total dengan merevisi UU KPK.Â
DPR yang  di akhir masa bhaktinya seharusnya membuat legecy membanggakan dirinya keluar dari Senayan,  justru tanpa beban mengkhianati jiwa reformasi. Kepentingan oligarki telah menyelimuti hati nuraninya.
Presiden Populis Diciptakan Oligarki
Presiden Jokowi adalah produk politik populis yang telah menyandera republik ini sejak era demokrasi pemilihan presiden secara langsung mulai tahun 2004. Diawali ketika  popularitas Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dipilih sebagai Presiden untuk dua periode, sampai tahun 2014. Oligarki mencari penggantinya, terpilih Jokowi dua periode. Setelah itu, tahun  2024 akan diciptakan lagi penggantinya.
Ciri utama poitik populis adalah mengeksploitasi karakter seorang tokoh untuk dipromosikan kepada publik sebagai tokoh idola pada zamannya. Melalui kerja-kerja pembentukan opini dan persepsi akan idola, tokoh idola dipromosikan kemudian diusung pada kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Ketika kesadaran politik rakyat yang masih rendah, pengambilan keputusan memilih lebih didasarkan pada pertimbangan popularitas tokoh idola. Kapasitas dan kapabilitas tokoh tidak penting, sehingga visi misi juga menjadi tidak relevan. Â