Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Sudah Tidak Punya Beban Apa-apa?

16 September 2019   14:49 Diperbarui: 16 September 2019   14:57 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terpilihnya Pimpinan KPK bersamaan dengan  persetujuan merevisi UU KPK yang mengkhianati jiwa reformasi,  menunjukan  kekuasaan oligarki hendak mengendalikan KPK. 

Presiden Jokowi menyebut dirinya akan bekerja lebih maksimal dalam periode kedua pemerintahnya. Toh, ujar Jokowi, dirinya tak lagi memiliki beban dalam lima tahun ke depan. Ini karena ia tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden. 

"Keputusan-keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kita kerjakan. Sekali lagi, karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," ujar Jokowi dalam acara Halal Bihalal bersama aktivis 98 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Ahad, 16 Juni 2019 (Tempo.co, 16/6/2019). Ucapan Beliau  bernada serupa sudah beberapa kali diucapkannya di berbagai kesempatan sehingga patut kita cermati maknanya.  

Namun, mengamati beberapa peristiwa dan kebijakan yang dilakukan Jokowi akhir-akhir ini, khususnya tentang KPK, menjadi pertanyaan, apakah Presiden Jokowi konsisten dengan ucapannya atau justru bermakna kontradiktif; sudah tidak lagi memiliki beban kepedulian pada amanat penderitaan rakyat karena tidak membutuhkan dukungan suaranya lagi. Karena kata-kata dan narasi sudah tidak bermakna untuk menilai lubuk hati Presiden Jokowi, maka kita hanya bisa menilai dari tanda-tanda  kebijakan Presiden.  Bagaimana kita memaknai  tanda-tandanya?

Pemilihan Pimpinan KPK

Sejak awal pembentukannya bulan Mei lalu, integritas anggota Pansel KPK sudah diragukan oleh aktivis anti korupsi. Namun kritikan itu seperti angin lalu, Pansel KPK  jalan terus tanpa perubaan susunan anggota beserta mekanisme kerjanya. Publik mendesak Presiden Jokowi agar menolak hasil kerja Pansel KPK, karena setidak-tidaknya satu  diantaranya dicurigai memiliki rekam jejak meragukan integritasnya memimpin KPK. 

Melansir Tempo.co (27/8/20119), nama tersebut adalah Firli Bahuri. Dia diduga melakukan pelanggaran etik karena melangsungkan pertemuan dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB Zainul Majdi. Pertemuan tersebut berlangsung saat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, sementara TGB diduga terlibat dalam kasus korupsi dana divestasi Newmont Nusa Tenggara.

Presiden Jokowi tidak mendengarkan suara publik dengan tetap mengajukan 10 nama hasil kerja Pansel KPK ke DPR. Apa yang menjadi kekhawatiran publik, akhirnya terjadi.  Dini hari Jumat 13 September, Komisi III DPR menetapkan 5 nama piihannya sebagai pimpinan KPK, bahkan Firli Bahuri secara aklamasi dipilih sebagai Ketua KPK 2019-2023. Nama lainnya adalah; Alexander Marwata, Komisioner KPK; Lili Pintauli Siregar, Advokat; Nawawi Pomolango, Hakim; dan  Nurul Ghufron, Dosen.

Dari kronoligis sejak pemilihan anggota Pansel KPK oleh Presiden,  hingga DPR memilih lima nama tersebut, patut  diduga ada konspirasi jaringan politik kekuasaan telah menyiapkan nama-nama pemimpin KPK. 

Seluruh proses dan mekanisme pemelihan Pimpinan KPK hanya formalitas melegitimasi kesepakatan-kesepakatan transaksional oligarki kekuasaan mengendalikan KPK. Kedua cabang kekuasaan negara, Presiden dan DPR, telah dikendalikan kekuatan politik oligarki.

Revisi Undang Undang KPK

Tidak lama setelah DPR menerima usulan nama capim KPK dari Presiden, tiba-tiba Rapat Paripurna DPR,  Kamis 5 September 2019, menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai usul inisiatif DPR, dan diajukan ke Presiden untuk membahasnya. Gayung bersambut, 11 September, Presiden Jokowi memberitahu  ke DPR nama yang akan mewakilinya membahas revisi UU KPK dimaksud.

DPR dan Presiden, saling bersinergi melindungi berlapis ganda memukul KPK. Pukulan pertama, dengan nama-nama usulan Presiden untuk disetujui DPR, sudah terwujud. Pukulan berikutnya arah sebaliknya dari DPR, yang paling mematikan, merevisi UU KPK. 

Bila kedua pukulan tersebut menghamtam KPK, dapat mematikan KPK. Tapi KPK tidak akan mati dibunuh, tapi  dijadikan hidup segan mati tak mau. Kalau benar-benar mati tidak akan berguna,  KPK dikebiri agar dapat dikendalikan sebagai alat kekuasaan oligarki.

Bila revisi UU KKP terwujud seperti usulan DPR, maka dapat dikatakan KPK seperti hidup segan mati tak mau. KPK yang memiliki fungsi sama dengan Kejaksaan dan Polri dalam kewenangan pemberantasan Korupsi,  menjadi kehilangan makna  sebagai pembeda. 

Kehadiran KPK dirancang berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan, dari semangat reformasi 1998, menjadi kehilangan esensinya. Revisi UU KPK merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai jiwa reformasi dan mengembalikan kehidupan berbangsa ke rezim otoriter Soeharto. Bila KPK berhasil dilumpuhkan, maka hanya kekuatan setara reformasi 1998 yang mampu mengembalikannya, dan momentum itu tidak mudah tercipta.

Tampaknya kekuasaan oligarki sudah lama menyusun skenario konspirasi sehingga kedua cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan melakukannya.  

Sesungguhnya hanya dengan pukulan dari nama pimpinan KPK usulan Presiden, sudah mampu membuat KPK terhuyung-huyung. Tetapi kekuasaan oligarki hendak memastikan KPK lumpuh total dengan merevisi UU KPK. 

DPR yang  di akhir masa bhaktinya seharusnya membuat legecy membanggakan dirinya keluar dari Senayan,  justru tanpa beban mengkhianati jiwa reformasi. Kepentingan oligarki telah menyelimuti hati nuraninya.

Presiden Populis Diciptakan Oligarki

Presiden Jokowi adalah produk politik populis yang telah menyandera republik ini sejak era demokrasi pemilihan presiden secara langsung mulai tahun 2004. Diawali ketika  popularitas Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dipilih sebagai Presiden untuk dua periode, sampai tahun 2014. Oligarki mencari penggantinya, terpilih Jokowi dua periode. Setelah itu, tahun  2024 akan diciptakan lagi penggantinya.

Ciri utama poitik populis adalah mengeksploitasi karakter seorang tokoh untuk dipromosikan kepada publik sebagai tokoh idola pada zamannya. Melalui kerja-kerja pembentukan opini dan persepsi akan idola, tokoh idola dipromosikan kemudian diusung pada kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Ketika kesadaran politik rakyat yang masih rendah, pengambilan keputusan memilih lebih didasarkan pada pertimbangan popularitas tokoh idola. Kapasitas dan kapabilitas tokoh tidak penting, sehingga visi misi juga menjadi tidak relevan.  

Oligarki oportunis yang sudah lama menguasai indonesia sejak rezim Soeharto. Oligarki di Indonesia merupakan penumpukan kekuasaan  pada sedikit orang yang dengan kekuasaanya itu, mengendalikan seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Oligarki bekerja dalam jaringan relasi antara pemilik modal, partai politik dan pemerintah membentuk golongan elit-elit secara berlapis. 

Oligarki timbul dan tumbuh subur pada ekosisitem kapitalisme liberal di mana mayoritas rakyat hidup dalam kesenjangan kemiskinan  dan kesadaran berpikir rendah (kebodohan). Oligarki memanfaatkan sistem demokrasi  'satu orang satu suara' merebut  kekuasaan politik. Profil partai-partai politik Indonesia tanpa ideologi sangat cair berbagi kekuasaan adalah gambaran kongkrit wujud  elemen politik oligarki. 

Elemen pemilik modalnya dapat ditelusuri dari cara dan hasil kerja pemerintahan yang memberi kesempatan  persekutuan korupsi  atau penghisapan kekayaan alam.   Satu kelompok oligarki yang hanya beberapa orang dapat menguasai seluruh  rakyat pada suatu masa, seperti  era SBY, dan kini era Jokowi. 

Oligarki memanfaatkan ekosistem kehidupan dan demokrasi Indonesia untuk menciptakan seseorang menjadi tokoh populis dan idola, seperti SBY dan Jokowi. Oligarki juga menciptakan pengaturan-pengaturan sistem demokrasi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya dan agama, yang secara keseluruhan menjadi sistem besar mendukung eksisitensi oligarki. 

Dengan sistemnya tersebut, oligarki dapat mengendalikan semua orang dalam kelompok oligarkinya dengan bagi-bagi  kekuasaan. Sementara  rakyat yang sebagian besar masih terbelenggu kemisiskinan, disenangkan diberikan  remeh-remeh kedermawanan melalui cara-cara kerja  birokrasi.  

Terkait masalah KPK, Presiden Jokowi sebagai tokoh populis yang dipromosikan oleh oligarki akan teraktulaisasi dengan dengan cara ganda; Pertama, dalam jati dirinya Jokowi tidak memiliki visi misi pemberantasan korupsi. Kedua, seandainya pun ada visi misi, meskipun sebagai Presiden, beliau tidak kuasa melakanakannya, karena kekuatan oligarki diluar kuasanya akan melawannya.  Kedua cara tersebut berkerja sekaligus, sehingga siapapun Presiden, sejak awal sudah disandera oleh oligarki.

Contoh kekuasaan yang  ditumbangkan oligarki adalah Presiden Gus Dur,  ketika berkuasa diawal reformasi tahun 1999, Gus Dur memiliki visi misi dari jati dirinya, terlepas apakah itu baik atau buruk, tetapi karena jati dirinya tidak sejalan dan sulit diatur oleh kekuasaan oligarki arus utama, maka kekuasannya sebagai Presiden dihentikan melalui Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001..

Karena saat ini hampir semua politisi, penyelenggara negara, pemilik modal dalam jaringan oligarki kekuasaan telah tersandera kepentingan dan korupsi, persoalannya siapa yang mau menjeratnya.  KPK dalam perjalanannya sejak 2002, selalu hendak dikendalikan dan dikuasai  oligarki, oleh sebab itu dipandang perlu dirombak pada momen yang tepat, saat ini. KPK bukan dibunuh untuk lenyap.  

Dengan tetap memelihara KPK yang terkendali, oligarki dapat memanfaatkannya. Pertama, memiliki kekuasaan menjerat  musuh-musuh politiknya sesama oligarki, ataupun pembangkang lainnya. Kedua, memiliki kekuasaan melindungi/mengamankan anggota oligarki. Ketiga, citra positif KPK berusaha dipertahankan,untuk dimanfaatkan sebagai promosi citra pemberantasan korupsi.

Banyaknya  masyarakat  awam menyatakan pendukung revisi UU pelemahan KPK yang sesngguhnya belum tentu memahami persoalan politik hukum,  menggambarkan popularitas Jokowi dimanfaatkan untuk membela pelumpuhan KPK. Bahkan, politisi partai politik di DPR sedikit-banyaknya  terpengaruh lebih berani berinisiatif merevisi UU KPK yang tidak populer, karena memperhitungkan dukungan popularitas Jokowi.

Kisruh penentuan nasib KPK sekarang ini sesungguhnya berakar persoalan  pada eksisitensi kekuasaan oligarki  oportunis.  Sepanjang kesadaran berpolitik Rakyat masih dapat  diperdaya  rezim politik oligarki oportunis, maka semua persoalan korupsi hanya dijadikan  polemik tak bermakna. 

Orang- orang yang akan duduk di  DPR atau sebagai Presiden adalah yang  diciptakan dan dipilih oleh oligarki dan disodorkan untuk dipilih rakyat pada Pemilu demokrasi 'satu sorang satu suara'  sebagai pengesahannya. Rakyat pada hakekatnya tidak punya pilihan.

Masyarakat  anti korupsi  yang menuntut  keberanian Presiden Jokowi untuk menentang upaya pelemahan KPK, mengkaji dari akar persoalann ya dan eksisitensi popularitas Presiden Jokowi, tidak akan merubah keadaan. Setiap penentangan, baik atau buruk, pada kebijakan Presiden Jokowi, akan berhadapan dengan  pendukung  Jokowi yang baru saja memenangkan pemilihan presiden.  Artinya, setiap persoalan akan kembali kepada persoalan politik. Kesadaran berpolitik cerdas dari seluruh rakyat Indonesia adalah solusinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun