Sebagaiman digariskan dalam konstitusi, tujuan berbangsa adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini, hingga hari ini, masih jauh dari harapan masyarakat Papua. Â
Sejak  Papua berintegrasi dengan Indonesia tahun 1969, Pemerintahan tetap dikuasai rezim oligarki oportunis dimana politisi busuk berkolaborasi dengan pengusaha licik menghisap kekayaan alam dan menguasai  seluruh rakyat Indonesia, termasuk Papua yang kaya. Kekuasaan oligarki dari era Soeharto hingga  hari ini, menciptakan pengisapan dan korupsi. Negara dan Rakyat Indonesia termasuk Papua telah dijerat kekuasaan oligarki.
Dampaknya menjalar ke pembusukan seluruh sendi kehidupan berbangsa bernegara. Mencederai makna hakekat tujuan bernegara. Meskipun penderitaan akibat pengisapan dan korupsi ini diderita seluruh Rakyat Indonesia, tetapi karena sejarahnya, sebagian Rakyat Papua mempertanyakan makna berbangsa dalam NKRI. Â Kesadaran inilah mempersubur akar persoalan Papua.
Kekuatan Diplomatik Separatis Papua
Seiring peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat Papua, Â semakin banyak tokoh Papua menyadari perlunya dukungan politik internasional, demikian Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berjuang secara diplomatik di dunia internasional, baik bilateral maupun multilateral seperti forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Forum Kepulauan Pasifik.Â
Setidak-tidak ada empat negara yang tiga tahun terakhir ini setia mengangkat isu Papua di forum PBB seperti; Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan satu negara Karibia, St Vincent dan Grenadines. Meskipun negara-negara kecil, belum tentu diplomat Indonesia mampu menundukkan pengaruhnya di forum internasional.
Kalau tahun-tahun sebelumnya, isu yang diperjuangkan adalah tentang pelanggaran HAM di Papua, kemungkinan tahun ini dan selanjutnya, isu referendum akan  ditonjolkan. Dikutip dari CNN Indonesia (29/01/2019), ULMWP telah menyerahkan petisi referendum kepada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Â
ULMWP mengklaim telah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua kepada Ketua Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet. Petisi itu dinilai sebagai langkah politik untuk menguatkan posisi tawar masyarakat Papua berpisah dari NKRI.
Kekuatan Bersenjata Separatis
Gerakan bersenjata separatis di Papua sudah eksis sejak 1965. Kontak senjata dengan TNI/Polri sering terjadi dan memakan korban dikedua pihak. Kelompok bersenjata di Papua tampaknya masih terpecah beberapa faksi, masing-masing memiliki teritorial dan pemimpin. Salah satu kelompok yang dikenal menguasai daerah Nduga, dimana sering kontak senjata dengan  TNI/Polri,  adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Â
Dikutip dari BBC News Indonesia, (13/12/ 2018), Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut jumlah kelompok tersebut hanya 30 hingga 50 orang dengan kekuatan 20 pucuk senjata. Â Tetapi juru bicara komando nasional TPNPB-OPM, Sebby Sambom mengatakan; kekuatan militer TPNPB-OPM dibagi menjadi 29 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) yang tersebar di seluruh Papua. "Setiap kodap mempunyai 2.500 personil. Dua ribu lima ratus personil TPNPB itu anggota tetap, anggota tidak tetap adalah ratusan ribu," ujarnya.