Mencermati pendapat Pejabat tersebut, timbul pertanyaan, apakah konflik Papua dapat diatasi hanya dengan menghentikan gerakan seorang Benny Wenda? Tidak masuk akal sekaliber Wiranto, yang sudah berpengalaman  dalam berbagai kancah konflik negeri ini, meyakini konflik Papua dapat diselesaikan hanya dengan menghentikan Benny Wenda. Maknanya adalah, Pemeintah tidak begitu serius menangani penyelesaian akar  konflik Papua.
Kejadian 9 September 2019, teror kembali terjadi pada Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, meskipun sudah diawasi keamanannya oleh Kepolisian, Â asrama ini dilempari karung berisi ular oleh orang tidak dikenal. Teror dan ancaman yang masih menghantui Mahasiswa Papua di Pulau Jawa dan Sulawesi, menjadi alasan mereka ramai-ramai pulang kampung.Â
Hal ini diakui Kapolda Papua Irjen Rudolf A Rodja, sebagaimana dilansir dari Kompas.com (10/09/2019), Â menyatakan; hingga kini total sudah ada 700 mahasiswa yang memilih pulang kampung. Menurut Rodja, dari hasil penyelidikan sementara, salah satu pemicu tindakan mahasiswa adalah rasa tidak aman.
Semua cara-cara Pemerintah menangani konflik Papua tersebut yang sama sekali tidak mengarah ke dasar masalah, terkesan tidak serius, bekerja dengan gampangan melalui kebijakan hiasan popularitas, dan  propaganda opini adanya kambing hitam dan sebagainya. Secara keseluruhan, kekeliruan Pemerintah akan memperkuat sentimen kebencian kepada NKRI .
Sekilas balik sejarah, persoalan Papua sudah melekat sejak Republiki ini lahir tahun 1945, Konferensi Meja Bundar 1949 manyatakan penyerahan kedaulatan seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, kecuali Irian Barat (kini Papua). Sejak itu masing-masing negara mengklaim Papua sebagai wilayahnya. Belanda merencanakan mengembangkan Papua seperti Inggris menggarap Australia.  Pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat, Belanda tidak mengakuinya. Perang tak dapat dihindari. Pada  tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mencanangkan operasi pembebasan Irian Barat dengan sandi operasi Trikora.
Amerika Serikat mekhawatirkan perang perebutan Papua melemahkan aliansinya melawan komunis, mendesak Belanda berunding dengan Indonesia. Tercapailah New York Agreement  tanggal 15 Agustus 1962, yang menyepakati  Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) untuk kemudian akan menyerahkannya kepada Indonesia.Â
Dengan bantuan PBB tahun 1969, diberi kesempatan  penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera). Hasilnya, Papua bergabung dengan Indonesia. Organisasi Papua Merdeka tidek terima. Sejak itu api komflik tak pernah padam di Papua, hingga hari ini.
Akar Masalah Papua
Berbagai pendekatan telah dilakukan Pemerintah untuk meredam konflik di Papua. Pada era rezim Soeharto, pendekatan militer lebih diutamakan. Sementara pemerintahan Gus Dur, melalui pendekatan kemanusiaan dengan memberikan kebebasan berekspresi dan pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Otsus Papua) Tahun 2001. Sejak Pemerintaan Presiden SBY tahun 2004-2014, hingga Presiden Jokowi tahun 2014 sampai hari ini, tidak ada kebijakan substansial khusus di Papua.
Dari berbagai cara yang telah dilakukan, tampaknya tidak pernah mampu mengatasi persoalan Papua secara utuh dan permanen. Peristiwa gejolak sepanjang masa, meskipun timbul secara sporadis diwaktu dan tempat, membuktikan akar persoalan Papua tidak pernah diselesaikan. Â Lalu menjadi timbul pertanyaan, dimanakah akar maslahanya?
Cara pandang Pemerintah dari Jakarta pada Papua berbeda dengan cara pandang Rakyat Papua ke Jakarta, Pemerintah cenderung menganggap persoalannya pada masyarakat Papua, demikian sebaliknya, masyarakat Papua meyakini Pemerintah di Jakartalah persoalannya. Â ini esensi persoalan setiap separatisme. Akan tetapi bila kita kaji lebih mendalam, Â sesungguhnya persoalanya ada dalam Republik ini secara keseluruhan, yakni memaknai hakekat tujuan berbangsa.