Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bukan KPI, Kesadaran Berpikir Primitiflah Akar Masalahnya

15 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 15 Agustus 2019   06:02 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: KOMPAS.Com/GESIT ARIYANTO

Kesadaran berpikir primitif menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia menggemari konten  televisi berkualitas  buruk dan murahan, termasuk sampah di media dunia maya

Komisi Penyiaran Indonesia dihujat dan dikritik publik sebagai biang kerok penyebab rendahnya kualitas konten siaran televisi, hingga rencana kewenangannya merambah ke media dunia maya seperti Netflix, You tube, Facebook, dan lainnya, mendapat tantangan publik.

Kritik dan hujatan ke KPI tersebut bukan hanya wajar tetapi harus dilakukan agar lembaga yang dibiayai negara tersebut bertanggung jawab bekerja sesuai perintah undang-undang. Tetapi apakah  hujatan dan penentangan tersebut akan membuat penyiaran lebih baik? Tidak. Alasannya adalah;

Pertama, KPI sebagai lembaga negara adalah bagian dari gurita birokrasi pemerintah. Keberadaan KPI,  penempatan pejabatnya, anggarannya, mekanisme kerjanya, seluruhnya dilahirkan oleh gurita birokrasi. 

Pekerjaan birokrasi adalah mengerjakan surat pertanggung jawaban (spj) pekerjaan itu sendiri. Tidaklah terlalu  penting  mencapai tujuannya menjamin  terwujudnya kualitas penyiaran di Indonesia,  yang subjektif dan dapat diperdebatkan. Bagi birokrat,  yang perlu proses bekerjanya mereka dapat dibuktikan, semakin rumit prosesnya -semakin banyak SPJ- itu semakin baik. Moralitas dan integritas birokrat cukup dibuktikan dengan selembar kertas diteken diatas materai 6000.

Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, sebagai dasar pengaturan penyiaran beserta tugas dan fungsi KPI sudah ketinggalan zaman. 

Ketika teknologi digital dunia maya memungkinkan setiap orang, kapan saja, dan dimana saja dapat menjadi penyiar, maka lembaga penyiaran arus utama yang diatur undang-undang tersebut menjadi tidak relevan, dan tidak berguna. Kalaupun KPI masuk ke dunia maya, tetap tak berdaya dan tak berguna, UU Penyiaran tidak dirancang untuk itu.

Ketiga, masih terkait UU penyiaran, disebutkan:  penyaiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Narasi tersebut sangat berat, tinggi, luas, dan abstrak, tak lain tak bukan, adalah tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia. Bagaimanapun, KPI tidak akan mampu mengemban tugas tersebut, terlampau berat, tidak fokus, dan mudah dimelarkan.

Faktor tersebut diatas membuat KPI sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Selalu mudah menuduh dan mengkambing hitamkan  KPI, penyebab segala keburukan dan persoalan media penyiaran yang sejatinya diluar kemampuannya. Mengkritisi perbaikan KPI juga tidak banyak gunanya karena  hakekat KPI tidak lagi bermakna. Intinya, persoalan mendasarnya bukan KPI, tapi persoalan bernegara dan persoalan kita rakyat Indonesia.

Sekarang, ketika tersedia berbagai media dunia maya seperti netflix, you tube, facebook, dan sebagainya, maka sebagian masyarakat yang sudah muak dengan keburukan konten tayangan televisi mulai meninggalkannya. 

Tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia akan tetap setia dan menggemari konten murahan seperti saat ini, hukum ekonomi pasarlah yang mempertahankannya. 

Kehendak Komisi Penyiaran Indonesia merambah ke media seperti Netflix, You tube, Facebook, dan sebagainya, bila dicermati, ada beberapa sebab melatar belakangi dan akibatnya;

 Pertama, sudah menjadi sifatnya birokrasi seperti KPI, selalu berkecenderungan memperluas jangkauan tangan gurita kewenangannya ke segala sendi kehidupan masyarakat.  

Terlepas dari tugas utamanya mengawasi televisi dianggap gagal, tidak menjadi alasan baginya untuk tidak merambah ke media lain yang sudah berkembang di depan mata. Pada saatnya, bila dibutuhkan, Undang Undang Penyiaran bisa saja dirubah birokrat bila dianggap tidak relevan lagi, melahirkan Komisi baru,  entah apapun namanya, tapi tetap penjelmaan tangan gurita birokrasi.  

Kedua, kalaupun KPI memaksakan diri merambah ke media dunia maya dengan perundangan saat ini berlaku, tidak akan berhasil mencapai tujuannya. 

Bahkan, kegagalannya di penyiaran konvensional arus utama seperti televisi dan radio, akan lebih gagal lagi di media dunia maya. Selain tidak berguna dan menghamburkan uang negara, KPI dikhawatirkan akan membuat pengaturan-pengaturan tak bermanfaat, hanya mempersulit rakyat dan media.

Memang menjadi dilema, akan selalu ada tuntutan agar negara melindungi kehidupan bebangsa dari dampak keburukan penyiaran media yang tak terkendali. 

Apalagi sifat teknologi media dunia maya yang sangat berbeda dengan media konvensional, seperti;  kebebasan expresi tanpa batas, setiap orang adalah penyiar dan pemirsa sekaligus, reproduksi tak terbatas, penyebaran luasan global, kecepatan mendekati real time, dan sebagainya, maka  setidak-tidaknya ada dua persoalan hubungannya dengan tujuan undang-undang penyiaran;

Pertama, tujuan memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, akan sulit diarahkan, dipantau dan dikendalikan pemerintah. Dalam dunia maya, secara filosofis, terjadi perbedaan pemaknaan realita. 

Masyarakat berkesadaran berpikir primitif akan memaknai realita dunia maya sebagai realita sesungguhnya. Padahal, realita di dunia maya hanya refleksi sebagian dari realita sesungguhnya. 

Realita sebagian itupun  sudah mengalami pelarutan dengan ide-ide algoritma yang dibangun berbagai sistem yang menghidupinya.  Singkatnya, realita digital di dunia maya bukanlah realita sesungguhnya.

Katakanlah karakter anak-anak, dibentuk berdasarkan nilai-nilai idealisme, moralitas, estetika, dari interaksi dengan realitas di kehidupan nyata. Perbedaan memahami makna realitas ini dapat menjadi masalah pembentukan jati diri anak-anak Indonesia. 

Bila nilai-nilai positif  didunia maya dimanfaatkan secara bijak, mungkin saja pembentukan karakter anak Indonesia justru menjadi lebih baik. Tapi tidak ada jaminan KPI mampu mencegah dampak buruk media dunia maya.

Kedua, lautan sampah informasi palsu media dunia maya, disebut hoaks, dalam gengaman masyarakat Indonesia sehari-hari, menjadi persoalan bagi rakyat yang kesadaran berpikirnya masih primitif, khusunya bagi anak-anak yang sedang berproses pematangan.  

Sampah informasi palsu tidak dapat dihindari karena konskwensi dari perkembangan teknologi media digital dalam budaya global tanpa batas. Akibat dari kedua persoalan ini akan menjadikan karakter rakyat Indonesia menjadi buruk tak karuan, nilai-nilai idealsimenya, moralitasnya, dan etikanya jadi tak jelas. 

Masyarakat negara maju, katakan seperti Eropa, melewati peradaban dari zaman primitif hingga era teknologi digital secara mulus berkesinambungan. Kesadaran berpikirnya sudah sampai pada taraf mampu memaknai setiap realita dunia maya, sehingga Pemeintah tidak perlu ikut campur tangan. 

Sementara di Indonesia, pengusaan dan penerapan teknologi media informasi melompat-lompat dalam kesenjangan peradaban. Tingkat kesadaran berpikir rakyat Indonesia bervariasi dalam spektrum lebar, dimana pola kesadaran berpikir primitif zaman batu masih ada -mungkin lebih banyak- hingga berkebudayaan modern. 

Tingginya rating konten kualitas rendah dan murahan di televisi membuktikannya. Sebagian kecil Masyarakat yang berkesadaran berpikir maju kini telah tersedia salurannya. 

Dalam kesenjangan peradaban yang demikian, golongan kepentingan tertentu, katakanlah radikalisme agama dan politik identitas SARA, kampanye gaya hidup konsumerisme oleh kepentingan bisnis kapitalis, pencitraan kharisma tokoh politik populer, akan mudah memanipulasi pikiran dan kesadaran masyarakat Indonesia. 

Bila kesadaran berpikir masyarakat Indonesia telah maju, maka sesungguhnya lembaga KPI sudah tidak diperlukan lagi. Konten murahan di televisi dengan sendirinya mati oleh hukum pasar, digantikan muatan berkualitas. Masyarakat sendiri yang membentengi dirinya dari dampak buruk media dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun