Tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia akan tetap setia dan menggemari konten murahan seperti saat ini, hukum ekonomi pasarlah yang mempertahankannya.Â
Kehendak Komisi Penyiaran Indonesia merambah ke media seperti Netflix, You tube, Facebook, dan sebagainya, bila dicermati, ada beberapa sebab melatar belakangi dan akibatnya;
 Pertama, sudah menjadi sifatnya birokrasi seperti KPI, selalu berkecenderungan memperluas jangkauan tangan gurita kewenangannya ke segala sendi kehidupan masyarakat. Â
Terlepas dari tugas utamanya mengawasi televisi dianggap gagal, tidak menjadi alasan baginya untuk tidak merambah ke media lain yang sudah berkembang di depan mata. Pada saatnya, bila dibutuhkan, Undang Undang Penyiaran bisa saja dirubah birokrat bila dianggap tidak relevan lagi, melahirkan Komisi baru, Â entah apapun namanya, tapi tetap penjelmaan tangan gurita birokrasi. Â
Kedua, kalaupun KPI memaksakan diri merambah ke media dunia maya dengan perundangan saat ini berlaku, tidak akan berhasil mencapai tujuannya.Â
Bahkan, kegagalannya di penyiaran konvensional arus utama seperti televisi dan radio, akan lebih gagal lagi di media dunia maya. Selain tidak berguna dan menghamburkan uang negara, KPI dikhawatirkan akan membuat pengaturan-pengaturan tak bermanfaat, hanya mempersulit rakyat dan media.
Memang menjadi dilema, akan selalu ada tuntutan agar negara melindungi kehidupan bebangsa dari dampak keburukan penyiaran media yang tak terkendali.Â
Apalagi sifat teknologi media dunia maya yang sangat berbeda dengan media konvensional, seperti;  kebebasan expresi tanpa batas, setiap orang adalah penyiar dan pemirsa sekaligus, reproduksi tak terbatas, penyebaran luasan global, kecepatan mendekati real time, dan sebagainya, maka  setidak-tidaknya ada dua persoalan hubungannya dengan tujuan undang-undang penyiaran;
Pertama, tujuan memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, akan sulit diarahkan, dipantau dan dikendalikan pemerintah. Dalam dunia maya, secara filosofis, terjadi perbedaan pemaknaan realita.Â
Masyarakat berkesadaran berpikir primitif akan memaknai realita dunia maya sebagai realita sesungguhnya. Padahal, realita di dunia maya hanya refleksi sebagian dari realita sesungguhnya.Â
Realita sebagian itupun  sudah mengalami pelarutan dengan ide-ide algoritma yang dibangun berbagai sistem yang menghidupinya.  Singkatnya, realita digital di dunia maya bukanlah realita sesungguhnya.