Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Al-Maidah: 51 dalam Pandangan Johan Galtung

8 Oktober 2016   22:04 Diperbarui: 9 Oktober 2016   00:15 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Bapak Ibu dibodohi pakai Almaidah ayat 51!” kata Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sang Gubernur DKI Jakarta, untuk menanggapi sikap kelompok muslim tertentu yang menolak orang non-muslim sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok itu beragama Kristen, tapi suatu saat Ahok juga berkata, “Ajaran Kristen itu konyol, sebab memastikan orang Kristen masuk surga. Kalau ajaran Islam itu realistis, masih menimbang-nimbang dosa dan pahala.”

Sebagian umat Islam tersinggung sehingga marah kepada Ahok. Tetapi saya belum melihat gelagat orang-orang Kristen yang marah dengan ledekan Ahok bahwa ajaran Kristen itu konyol. Saya sendiri sebagai seorang muslim tidak terpengaruh oleh semangat ghirah (cemburu karena agama) ala Buya Hamka yang disebarkan di medsos untuk menanggapi Ahok. Tapi saya juga tidak menganggap Ahok benar dalam hal itu. Oleh karena itulah saya menuliskan ini. Daripada harus saling lapor polisi, itu terlalu lebai. Tapi ya silahkan saja, daripada dilakukan kekerasan fisik ya malah tidak sehat.

Saya hanya mengingatkan, politik itu banyak terdapat fakta yang berada di balik informasi-informasi yang disuguhkan dan kita ketahui. Emha Ainun Nadjib pernah berkata bahwa Ahok itu hanyalah peluru, yang kita tidak tahu siapa yang memegang senapannya. Semua serba mungkin.

Dalam politik, orang yang tampak menyerang seseorang tokoh politik, tidak bisa buru-buru dikatakan sebagai musuh atau lawan dari tokoh yang diserang itu. Siasat yang sangat kuno masih tetap digunakan. Cara-cara yang disarankan Machiavelli atau yang digunakan Ken Arok, Wijaya, Hadiwijaya ataupun Sutawijaya.

Ada kegiatan-kegiatan dalam ruang-ruang politik yang berada dalam kegelapan pandangan, sehingga tidak dapat kita lihat, tetapi justru di situlah skenario disusun dengan rapi dan cermat. Apalagi ini jaman globalisasi di mana hampir semua pemerintahan negara tidak lepas dari kendali para penguasa kapital. Kita seperti melihat tontonan wayang orang dalam kegelapan, di mana hanya panggung pertunjukan yang diberikan cahaya, tetapi sang dalang tak pernah bisa kita kenali.

Apa salahnya muslim memilih muslim?

Baiklah. Sekarang saya akan menuju pada soal cara kita memilih pemimpin. Saya sepakat bahwa memilih pemimpin itu (pemimpin formil ataupun nonformil) hendaknya didasari pada kualitas, terutama bagaimana pemimpin itu bisa menjadi pelindung dan pelayan yang baik. Alangkah lebih idealnya jika kita melepaskan diri dari pertimbangan ide-ide dan emosi kolektif, baik kolektivitas itu dalam bentuk suku, agama, ideologi atau bentuk-bentuk kolektivitas lainnya. Tetapi apa semudah itu?

Perlu kiranya terlebih dulu saya menjawab pertanyaan: “Ada apa dengan Alquran surat Almaidah ayat 51 yang memerintahkan agar orang Islam memilih auliyaa’ (wali, pemimpin, orang kepercayaan) dari kalangan muslim sendiri, terutama dalam konteks urusan publik? Apakah memang Islam itu agama yang mengajarkan untuk memusuhi golongan atau kolektivitas lainnya?”

Saya bukan ahli tafsir, sehingga saya tidak berani mengatakan bahwa orang-orang Islam yang menyerukan agar umat Islam memilih pemimpin dari kalangan orang Islam sendiri, adalah orang-orang bodoh. Mana berani saya mengatakan bahwa orang-orang yang mengikuti pendapat ahli tafsir Ibnu Katsir atau Quraish Shihab adalah orang-orang bodoh, sementara ilmu tafsir saya mungkin hanya sebiji kerikil dibandingkan dengan gunung ilmu tafsir yang dimiliki oleh para ahli tafsir Alquran itu?

Oleh karena saya bukan ahli tafsir, maka saya membuka sebuah Kitab Asbabun Nuzul karya K.H. Qamaruddin Shaleh. Dalam kitab tersebut dijelaskan sebab turunnya (asbabun nuzul) Almaidah ayat 51, sebagaimana dikisahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit. Pada jaman Nabi Muhammad pernah dilakukan perjanjian damai (untuk saling membela) antara umat Islam Madinah dengan umat Yahudi Bani Qainuqa’ yang diwakili para pemimpin masing-masing. Warga Islam diwakili oleh Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh muslim Madinah yang dikenal munafik) dan ‘Ubadah bin Ash-Shamit pemimpin Islam Bani Auf bin Khazraj. Singkat cerita, kemudian kaum Yahudi Bani Qainuqa’ menyerang memerangi Nabi Muhamamad, sehingga ‘Ubadah bin Ash-Shamit melepaskan diri dari perjanjian damainya dengan Yahudi Bani Qainuqa’ dan memihak Nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam. Tetapi Abdullah bin Ubay bin Salul tidak mau bergabung dengan Nabi Muhammad.

Jadi – berdasarkan kisah tersebut - pertanyaannya begini: Jika Abdullah bin Ubay itu menganggap Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya, mengapa dia kok tidak memihak kepada Nabi Muhammad yang diserang kaum Yahudi itu?

Sebenarnya terdapat ayat-ayat serupa, contohnya surat Ali Imraan ayat 28, Almaidah ayat 57, 80 dan 81, At Taubah ayat 23, Al Mumtahanah ayat 1 dan mungkin masih ada ayat lainnya yang semakna. Menurut Quraish Shihab, ayat-ayat serupa satu sama lain tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan dalam menafsirkannya. Barangkali itu sama dengan metode tafsir sistematik dalam ilmu interpretasi hukum, atau harus menggunakan metode tafsirul ayaati bil ayaati (menafsirkan ayat dengan ayat yang lainnya) sehingga maknanya tidak saling bertentangan, dan harus melacak konteksnya dengan hadits-hadits yang menjelaskan latar belakang turunnya ayat tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pengetahuan asbabun nuzul tersebut memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna ayat Alquran. Jadi, memahami makna ayat-ayat Alquran tidak bisa dengan sebatas membaca terjemahannya saja. Bisa-bisa tersesat. Misalnya ayat poligami (An Nisa’ ayat 3) selama ini dimaknai sebagai perintah poligami, padahal dalam hadits asbabun nuzul-nya justru sebaliknya merupakan revolusi sosial di mana para pria tidak boleh secara bebas mengawini perempuan dalam jumlah yang tak dibatasi oleh hukum apapun. Bahkan preferensi Alloh SWT dalam An Nisa’ ayat 3 tersebut sangat jelas, yakni “Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil maka kawinilah seorang saja! ……..Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Saat orang bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam di jaman Nabi Muhammad, ia disuruh memilih mempertahankan empat isteri diantara 10 isterinya. Itu merupakan hukum yang memaksa para pria agar tidak mengawini para perempuan dengan jumlah yang banyak.  

Berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan latar belakang turunnya ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih orang nonmuslim sebagai auliya’ (dalam urusan publik) tersebut, maka dapat dilihat beberapa keadaan saat ayat itu turun, yaitu: 1) Kolektivitas masyarakat Islam pada waktu itu mulai tumbuh dengan ancaman dan serangan dari kelompok-kelompok nonmuslim (terutama kelompok Yahudi) yang seringkali mengingkari perjanjian damai; 2) Di masa Nabi Muhammad banyak kelompok nonmuslim yang melakukan penghinaan (olok-olok) kepada Islam yang dapat melemahkan psikologi umat Islam; 3) Banyak orang nonmuslim yang pura-pura beragama Islam (kaum munafik), sehingga tidak jelas komitmennya kepada Islam, sebab sikapnya berubah-ubah, dicurigai sebagai para penyusup yang hendak merusak masyarakat Islam; 4) Terjadinya gerakan kaum Yahudi yang melakukan de-islamisasi dengan mempengaruhi umat Islam agar murtad.

Dalam keadaan revolusi pembentukan masyarakat Islam itulah, begitu banyaknya musuh yang berusaha menghancurkan masyarakat Islam yang mempunyai tata hukum yang sebenarnya juga menghidupkan kembali hukum Taurat dan Injil dengan dilakukan pemurnian, sehingga pada saat itu diperlakukan hukuman mati bagi para pengkhianat (orang-orang murtad). Islam hadir pada saat itu di mana masyarakat Arab dalam keadaan gelap, anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup, para perempuan tidak dihargai, perlakuan kejam kepada para budak, dan lain-lain. Kaum Yahudi dan Nasrani yang menyimpang dari ajaran agamanya yang hidup di pemerintahan Nabi Muhammad, diperintahkan untuk menjalankan hukum Taurat dan Injil secara murni, sebagaimana dikisahkan dalam hadits-hadits yang melatari turunnya surat Almaidah ayat 43, 49, 50, dan 68.

Tetapi juga jangan lupa bahwa dalam hal permusuhan dan persahabatan dengan umat Islam, pada jaman Nabi Muhammad, surat Almaidah ayat 82 – 83 menggambarkan bahwa orang-orang yang paling keras memusuhi umat Islam pada waktu itu adalah orang-orang Yahudi dan kaum musyrik. Sedangkan orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan umat Islam adalah orang-orang Nasrani sebab mereka dipimpin para pendeta yang tidak sombong yang ketika dibacakan Alquran kepada mereka maka bercucuranlah air mata mereka dan berkata, “Ya Tuhan, kami menjadi saksi Alquran dan kenabian Muhammad.”   

Menjalankan ajaran agama yang sumber ajarannya terbawa kian jauh melalui waktu yang panjang, di mana tak ada lagi Nabi Muhammad sebagai tempat bertanya, maka umat Islam pada umumnya akan mengikuti tafsir ajaran agama yang disampaikan para ahlinya, yakni para ulama. Tetapi memang yang menyedihkan, bahwa kian tua jaman ini maka makin sedikit ulama yang benar-benar alim dan takut menyimpang dari sumber ajaran Islam.

Artinya begini. Biarlah orang-orang Islam meyakini pilihan-pilihan politiknya  berdasarkan apa yang mereka pahami. Jika mereka meyakini ajaran dalam kolektivitasnya sebagai umat Islam, lantas apa bedanya dengan keyakinan politik berdasarkan ideologi di mana orang-orang komunis memilih pemimpin komunis, orang-orang ateis memilih pemimpin ateis, orang-orang borjuis memilih pemimpin borjuis, orang-orang sekularis memilih pimpinan sekularis dan sebagainya.

Realitas sejarah dan politik golongan

Kita seharusnya tidak gampang-gampang menuduh orang rasis dengan mengedepankan kebencian dalam tuduhan itu, sebab ada realitas pertarungan peradaban yang terus berlangsung hingga sekarang. Barangkali belajar antropolgi juga akan membimbing kesadaran kita pada realitas bahwa semangat kolektivitas masing-masing peradaban dan sub-sub peradaban turut mempengaruhi cara pikir manusia. Setelah memahami itu, maka mungkin orang-orang bisa memahami, bahwa prinsip politik menurut Almaidah ayat 51 dan ayat-ayat lain sejenisnya dalam Alquran itu sebagai sesuatu yang wajar secara historis.

Apakah Anda tidak tercengang jika membaca analisis konflik global yang ditulis oleh Johan Galtung dalam bukunya Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (1996), yang memuat uraian yang berbau rasis? Tentu saja ia tidak bermaksud rasis secara negatif, tetapi Galtung melihat sejarah dan kenyataan tentang akar konflik peradaban ini dengan faktor penyebab banyaknya kolektivitas di dunia ini. Galtung menyatakan bahwa perdamaian, peperangan dan konflik serta pembangunan tergantung bagaimana kolektivitas berlaku dan bertindak.

Sederhananya begini. Mengapa Britania Raya itu menindas bangsa-bangsa di dunia secara kejam? Pandangan golongan ini dapat dilihat dari contoh kolektivitas bangsa kulit putih Inggris yang betapa biadabnya menindas bangsa India sebagai suatu kolektivitas bangsa yang berbeda. Bukan hanya itu, Indian di Amerika dan Aborigin di Australia juga dibasmi, sedangkan bangsa negro Afrika dijadikan budak.

Dalam bentangan sejarah peradaban-peradaban di dunia, Galtung membagi peradaban terdiri dari dua oksidental, satu Hindu dan tiga peradaban Oriental. Oksidental I terdiri dari Yunani-Romawi modern, Oksidental II Zaman Pertengahan, Indic (Hindu), Buddhic (Budha), Sinic (China) dan Nipponic (Jepang).

Dalam peradaban Oksidental dikarakterkan dengan agama-agama Semitis-Ibrahimistis (Yudaisme, Kristenitas, dan Islam). Peradaban Oritental dijangkau oleh Buddhisme atau kombinasi dengan China dan Jepang. Penjelasan Galtung yang bersifat lintas dimensi (waktu, ruang, kolektivitas subyek) memang agak rumit untuk dimengerti, tetapi setidak-tidaknya terdapat penjelasan tentang realitas pertarungan peradaban yang menggambarkan kehendak masing-masing golongan untuk unggul dengan usaha-usaha mengalahkan golongan yang lain.

Galtung menjelaskan bahwa di dunia terjadi kekerasan yang dilakukan atas nama perdamaian dan keamanan terhadap kekuatan-kekuatan yang dinilai jahat. Contohnya kaum Yahudi membunuhi kaum Kristen, kaum Yahudi membunuhi kaum Islam, kaum Islam membunuhi kaum Yahudi, kaum Islam membunuhi kaum Kristen, kuam Kristen membunuhi kaum Islam, kaum Kristen membunuhi kaum Yahudi dalam pogrom dan holocaust. Muncul pula sekularisme: liberalisme-kapitalisme versus marxisme-sosialisme masing-masing saling bunuh satu sama lain. Selanjutnya mereka melakukan rekonsiliasi dan memutuskan untuk melawan Islam (atau bahaya Kuning) yang dianggap sebagai setan (musuh) bersama (common evil).

Johan Galtung, intelektual Amerika Serikat penentang Bush tersebut membuat konklusi bahwa Islam telah dianggap sebagai setan atau musuh bersama oleh kolektivitas-kolektivitas peradaban lainnya. Maka Timur Tengah tak pernah hidup damai, karena bangsa-bangsa setan harus dilumpuhkan oleh bangsa-bangsa atau golongan-golongan suci. Seperti halnya Indonesia yang menjadi negara berwarga Islam terbesar di dunia, tidak akan pernah dibiarkan menjadi kuat. Bangsa setan harus diperbudak dan dilumpuhkan. Terorisme dan perang harus terus diproduksi untuk itu. Nah, mengingat Islam itu secara norma tidak mengenal negara bangsa, tetapi merupakan internasionalisme untuk menyebarkan nilai, seperti halnya marxisme dan komunisme serta Kristenisme sebagai gerakan internasionalisme, lalu apa pandangan Johan Galtung terhadap Almaidah ayat 51 tersebut? Bisa jadi ia akan mengatakan, itulah ciri semua kolektivitas, yakni mengunggulkan golongannya sendiri. Wajar. 

Atas penjelasan Galtung tersebut, saya pun hendak bertanya: Adakah kaum kapitalis rela dipimpin oleh komunis atau sebaliknya apakah kaum komunis mau dipimpin oleh kapitalis? Tentu tidak. Dalam beberapa fakta, ternyata ada juga yang namanya diskriminasi atau rasis yang tersembunyi. Suatu kelompok secara siasat menunjukkan sikap toleransinya, tetapi secara diam-diam mereka mempunyai cita-cita kolektif agar golongannya yang memimpin, seperti contohnya pidato Prof. J.E. Sahetapi di hadapan jamaah Kristen yang meyakinkan bahwa umat Kristuslah yang ditugasi memimpin. Saya sebagai muslim tidak perlu sewot dengan pidato Pak Profesor itu, sebab apa yang dikemukannya adalah nilai yang diyakini oleh kolektivitasnya dan saya tak boleh turut campur terhadap keyakinan Pak Profesor dan jamaahnya.

Sebenarnya saat ini perintah Almaidah ayat 51 tersebut tidak dapat lagi dimaknai hanya secara agama dalam arti formil saja, tetapi juga harus dilihat dari substansi atau tujuannya ayat tersebut. Seperti halnya di jaman Nabi Muhammad, bahwa meskipun orang mengaku beragama Islam, tetapi jika keislamannya tidak teruji, maka orang tersebut dikategorikan munafik dan dilarang untuk dijadikan auliyaa’. Meskipun orang mengaku beragama Islam, tetapi jika ia bersekutu dengan orang-orang yang menindas, maka makna keislamannya telah menjadi kosong, sehingga tidak layak dipilih menjadi pemimpin dan tidak layak memperoleh kepercayaan umat.

Ada satu hal yang sebenarnya masih harus saya bahas, yakni doktrin pemisahan ajaran agama Islam dengan politik. Doktrin ini merupakan kehendak sekularisme agar jalan merekalah yang menentukan politik, seperti misalnya jalan politik marxisme, jalan politik komunisme, jalan politik liberalisme, dan lain-lainnya. Sebenarnya sama saja, yakni masing-masing ideologi menghendaki bahwa jalan mereka masing-masing itulah yang benar. Tapi sepertinya ini sudah terlalu panjang ulasan ini, sehingga harus saya sudahi.

Pada akhirnya, perdamaian sebuah bangsa bisa terbentuk asalkan masing-masing pihak saling menyadari jalan dan cita-cita kolektif masing-masing golongan. Jika orang Islam mau berkampanye di hadapan umat Islam sendiri agar mereka memilih pemimpin muslim, kan ya tidak ada masalah, sama halnya orang Kristen, Hindu, Budha, atau Konghuchu berkampanye agar masing-masing umat memilih pemimpin dari golongan mereka sendiri, juga tak ada masalah. Santai saja!

Tetapi kalau ada orang Islam yang memilih pemimpin dari golongan nonmuslim, ya jangan dicela, sebab itu hak masing-masing orang berdasarkan cara pikir masing-masing. Kita sebagai masing-masing pribadi tidak boleh memaksakan keyakinan atas suatu nilai kepada orang lain, bahwa orang lain harus berpandangan sama dengan kita. Kalau dalam Alquran diistilahkan “percaya silahkan, tidak percaya monggo!” (faman sya’a fal yu’min wa man sya’a fal yakfur : Alkahfi ayat 29).

Tapi yang jelas kita sebagai bangsa Indonesia sudah mempunyai konsensus nasional, bahwa kita memilih pemimpin negara dan kepala daerah dengan cara demokrasi. Seandainya yang terpilih menjadi presiden Indonesia adalah orang Yahudi yang terpilih secara demokratis, ya berarti umat Islam Indonesia mempunyai cara pikir yang berbeda dengan tafsir Ibnu Katsir dalam memaknai Almaidah ayat 51 tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun