Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Al-Maidah: 51 dalam Pandangan Johan Galtung

8 Oktober 2016   22:04 Diperbarui: 9 Oktober 2016   00:15 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya terdapat ayat-ayat serupa, contohnya surat Ali Imraan ayat 28, Almaidah ayat 57, 80 dan 81, At Taubah ayat 23, Al Mumtahanah ayat 1 dan mungkin masih ada ayat lainnya yang semakna. Menurut Quraish Shihab, ayat-ayat serupa satu sama lain tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan dalam menafsirkannya. Barangkali itu sama dengan metode tafsir sistematik dalam ilmu interpretasi hukum, atau harus menggunakan metode tafsirul ayaati bil ayaati (menafsirkan ayat dengan ayat yang lainnya) sehingga maknanya tidak saling bertentangan, dan harus melacak konteksnya dengan hadits-hadits yang menjelaskan latar belakang turunnya ayat tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pengetahuan asbabun nuzul tersebut memberikan dasar yang kokoh untuk menyelami makna ayat Alquran. Jadi, memahami makna ayat-ayat Alquran tidak bisa dengan sebatas membaca terjemahannya saja. Bisa-bisa tersesat. Misalnya ayat poligami (An Nisa’ ayat 3) selama ini dimaknai sebagai perintah poligami, padahal dalam hadits asbabun nuzul-nya justru sebaliknya merupakan revolusi sosial di mana para pria tidak boleh secara bebas mengawini perempuan dalam jumlah yang tak dibatasi oleh hukum apapun. Bahkan preferensi Alloh SWT dalam An Nisa’ ayat 3 tersebut sangat jelas, yakni “Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil maka kawinilah seorang saja! ……..Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Saat orang bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam di jaman Nabi Muhammad, ia disuruh memilih mempertahankan empat isteri diantara 10 isterinya. Itu merupakan hukum yang memaksa para pria agar tidak mengawini para perempuan dengan jumlah yang banyak.  

Berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan latar belakang turunnya ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih orang nonmuslim sebagai auliya’ (dalam urusan publik) tersebut, maka dapat dilihat beberapa keadaan saat ayat itu turun, yaitu: 1) Kolektivitas masyarakat Islam pada waktu itu mulai tumbuh dengan ancaman dan serangan dari kelompok-kelompok nonmuslim (terutama kelompok Yahudi) yang seringkali mengingkari perjanjian damai; 2) Di masa Nabi Muhammad banyak kelompok nonmuslim yang melakukan penghinaan (olok-olok) kepada Islam yang dapat melemahkan psikologi umat Islam; 3) Banyak orang nonmuslim yang pura-pura beragama Islam (kaum munafik), sehingga tidak jelas komitmennya kepada Islam, sebab sikapnya berubah-ubah, dicurigai sebagai para penyusup yang hendak merusak masyarakat Islam; 4) Terjadinya gerakan kaum Yahudi yang melakukan de-islamisasi dengan mempengaruhi umat Islam agar murtad.

Dalam keadaan revolusi pembentukan masyarakat Islam itulah, begitu banyaknya musuh yang berusaha menghancurkan masyarakat Islam yang mempunyai tata hukum yang sebenarnya juga menghidupkan kembali hukum Taurat dan Injil dengan dilakukan pemurnian, sehingga pada saat itu diperlakukan hukuman mati bagi para pengkhianat (orang-orang murtad). Islam hadir pada saat itu di mana masyarakat Arab dalam keadaan gelap, anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup, para perempuan tidak dihargai, perlakuan kejam kepada para budak, dan lain-lain. Kaum Yahudi dan Nasrani yang menyimpang dari ajaran agamanya yang hidup di pemerintahan Nabi Muhammad, diperintahkan untuk menjalankan hukum Taurat dan Injil secara murni, sebagaimana dikisahkan dalam hadits-hadits yang melatari turunnya surat Almaidah ayat 43, 49, 50, dan 68.

Tetapi juga jangan lupa bahwa dalam hal permusuhan dan persahabatan dengan umat Islam, pada jaman Nabi Muhammad, surat Almaidah ayat 82 – 83 menggambarkan bahwa orang-orang yang paling keras memusuhi umat Islam pada waktu itu adalah orang-orang Yahudi dan kaum musyrik. Sedangkan orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan umat Islam adalah orang-orang Nasrani sebab mereka dipimpin para pendeta yang tidak sombong yang ketika dibacakan Alquran kepada mereka maka bercucuranlah air mata mereka dan berkata, “Ya Tuhan, kami menjadi saksi Alquran dan kenabian Muhammad.”   

Menjalankan ajaran agama yang sumber ajarannya terbawa kian jauh melalui waktu yang panjang, di mana tak ada lagi Nabi Muhammad sebagai tempat bertanya, maka umat Islam pada umumnya akan mengikuti tafsir ajaran agama yang disampaikan para ahlinya, yakni para ulama. Tetapi memang yang menyedihkan, bahwa kian tua jaman ini maka makin sedikit ulama yang benar-benar alim dan takut menyimpang dari sumber ajaran Islam.

Artinya begini. Biarlah orang-orang Islam meyakini pilihan-pilihan politiknya  berdasarkan apa yang mereka pahami. Jika mereka meyakini ajaran dalam kolektivitasnya sebagai umat Islam, lantas apa bedanya dengan keyakinan politik berdasarkan ideologi di mana orang-orang komunis memilih pemimpin komunis, orang-orang ateis memilih pemimpin ateis, orang-orang borjuis memilih pemimpin borjuis, orang-orang sekularis memilih pimpinan sekularis dan sebagainya.

Realitas sejarah dan politik golongan

Kita seharusnya tidak gampang-gampang menuduh orang rasis dengan mengedepankan kebencian dalam tuduhan itu, sebab ada realitas pertarungan peradaban yang terus berlangsung hingga sekarang. Barangkali belajar antropolgi juga akan membimbing kesadaran kita pada realitas bahwa semangat kolektivitas masing-masing peradaban dan sub-sub peradaban turut mempengaruhi cara pikir manusia. Setelah memahami itu, maka mungkin orang-orang bisa memahami, bahwa prinsip politik menurut Almaidah ayat 51 dan ayat-ayat lain sejenisnya dalam Alquran itu sebagai sesuatu yang wajar secara historis.

Apakah Anda tidak tercengang jika membaca analisis konflik global yang ditulis oleh Johan Galtung dalam bukunya Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (1996), yang memuat uraian yang berbau rasis? Tentu saja ia tidak bermaksud rasis secara negatif, tetapi Galtung melihat sejarah dan kenyataan tentang akar konflik peradaban ini dengan faktor penyebab banyaknya kolektivitas di dunia ini. Galtung menyatakan bahwa perdamaian, peperangan dan konflik serta pembangunan tergantung bagaimana kolektivitas berlaku dan bertindak.

Sederhananya begini. Mengapa Britania Raya itu menindas bangsa-bangsa di dunia secara kejam? Pandangan golongan ini dapat dilihat dari contoh kolektivitas bangsa kulit putih Inggris yang betapa biadabnya menindas bangsa India sebagai suatu kolektivitas bangsa yang berbeda. Bukan hanya itu, Indian di Amerika dan Aborigin di Australia juga dibasmi, sedangkan bangsa negro Afrika dijadikan budak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun