Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Al-Maidah: 51 dalam Pandangan Johan Galtung

8 Oktober 2016   22:04 Diperbarui: 9 Oktober 2016   00:15 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam bentangan sejarah peradaban-peradaban di dunia, Galtung membagi peradaban terdiri dari dua oksidental, satu Hindu dan tiga peradaban Oriental. Oksidental I terdiri dari Yunani-Romawi modern, Oksidental II Zaman Pertengahan, Indic (Hindu), Buddhic (Budha), Sinic (China) dan Nipponic (Jepang).

Dalam peradaban Oksidental dikarakterkan dengan agama-agama Semitis-Ibrahimistis (Yudaisme, Kristenitas, dan Islam). Peradaban Oritental dijangkau oleh Buddhisme atau kombinasi dengan China dan Jepang. Penjelasan Galtung yang bersifat lintas dimensi (waktu, ruang, kolektivitas subyek) memang agak rumit untuk dimengerti, tetapi setidak-tidaknya terdapat penjelasan tentang realitas pertarungan peradaban yang menggambarkan kehendak masing-masing golongan untuk unggul dengan usaha-usaha mengalahkan golongan yang lain.

Galtung menjelaskan bahwa di dunia terjadi kekerasan yang dilakukan atas nama perdamaian dan keamanan terhadap kekuatan-kekuatan yang dinilai jahat. Contohnya kaum Yahudi membunuhi kaum Kristen, kaum Yahudi membunuhi kaum Islam, kaum Islam membunuhi kaum Yahudi, kaum Islam membunuhi kaum Kristen, kuam Kristen membunuhi kaum Islam, kaum Kristen membunuhi kaum Yahudi dalam pogrom dan holocaust. Muncul pula sekularisme: liberalisme-kapitalisme versus marxisme-sosialisme masing-masing saling bunuh satu sama lain. Selanjutnya mereka melakukan rekonsiliasi dan memutuskan untuk melawan Islam (atau bahaya Kuning) yang dianggap sebagai setan (musuh) bersama (common evil).

Johan Galtung, intelektual Amerika Serikat penentang Bush tersebut membuat konklusi bahwa Islam telah dianggap sebagai setan atau musuh bersama oleh kolektivitas-kolektivitas peradaban lainnya. Maka Timur Tengah tak pernah hidup damai, karena bangsa-bangsa setan harus dilumpuhkan oleh bangsa-bangsa atau golongan-golongan suci. Seperti halnya Indonesia yang menjadi negara berwarga Islam terbesar di dunia, tidak akan pernah dibiarkan menjadi kuat. Bangsa setan harus diperbudak dan dilumpuhkan. Terorisme dan perang harus terus diproduksi untuk itu. Nah, mengingat Islam itu secara norma tidak mengenal negara bangsa, tetapi merupakan internasionalisme untuk menyebarkan nilai, seperti halnya marxisme dan komunisme serta Kristenisme sebagai gerakan internasionalisme, lalu apa pandangan Johan Galtung terhadap Almaidah ayat 51 tersebut? Bisa jadi ia akan mengatakan, itulah ciri semua kolektivitas, yakni mengunggulkan golongannya sendiri. Wajar. 

Atas penjelasan Galtung tersebut, saya pun hendak bertanya: Adakah kaum kapitalis rela dipimpin oleh komunis atau sebaliknya apakah kaum komunis mau dipimpin oleh kapitalis? Tentu tidak. Dalam beberapa fakta, ternyata ada juga yang namanya diskriminasi atau rasis yang tersembunyi. Suatu kelompok secara siasat menunjukkan sikap toleransinya, tetapi secara diam-diam mereka mempunyai cita-cita kolektif agar golongannya yang memimpin, seperti contohnya pidato Prof. J.E. Sahetapi di hadapan jamaah Kristen yang meyakinkan bahwa umat Kristuslah yang ditugasi memimpin. Saya sebagai muslim tidak perlu sewot dengan pidato Pak Profesor itu, sebab apa yang dikemukannya adalah nilai yang diyakini oleh kolektivitasnya dan saya tak boleh turut campur terhadap keyakinan Pak Profesor dan jamaahnya.

Sebenarnya saat ini perintah Almaidah ayat 51 tersebut tidak dapat lagi dimaknai hanya secara agama dalam arti formil saja, tetapi juga harus dilihat dari substansi atau tujuannya ayat tersebut. Seperti halnya di jaman Nabi Muhammad, bahwa meskipun orang mengaku beragama Islam, tetapi jika keislamannya tidak teruji, maka orang tersebut dikategorikan munafik dan dilarang untuk dijadikan auliyaa’. Meskipun orang mengaku beragama Islam, tetapi jika ia bersekutu dengan orang-orang yang menindas, maka makna keislamannya telah menjadi kosong, sehingga tidak layak dipilih menjadi pemimpin dan tidak layak memperoleh kepercayaan umat.

Ada satu hal yang sebenarnya masih harus saya bahas, yakni doktrin pemisahan ajaran agama Islam dengan politik. Doktrin ini merupakan kehendak sekularisme agar jalan merekalah yang menentukan politik, seperti misalnya jalan politik marxisme, jalan politik komunisme, jalan politik liberalisme, dan lain-lainnya. Sebenarnya sama saja, yakni masing-masing ideologi menghendaki bahwa jalan mereka masing-masing itulah yang benar. Tapi sepertinya ini sudah terlalu panjang ulasan ini, sehingga harus saya sudahi.

Pada akhirnya, perdamaian sebuah bangsa bisa terbentuk asalkan masing-masing pihak saling menyadari jalan dan cita-cita kolektif masing-masing golongan. Jika orang Islam mau berkampanye di hadapan umat Islam sendiri agar mereka memilih pemimpin muslim, kan ya tidak ada masalah, sama halnya orang Kristen, Hindu, Budha, atau Konghuchu berkampanye agar masing-masing umat memilih pemimpin dari golongan mereka sendiri, juga tak ada masalah. Santai saja!

Tetapi kalau ada orang Islam yang memilih pemimpin dari golongan nonmuslim, ya jangan dicela, sebab itu hak masing-masing orang berdasarkan cara pikir masing-masing. Kita sebagai masing-masing pribadi tidak boleh memaksakan keyakinan atas suatu nilai kepada orang lain, bahwa orang lain harus berpandangan sama dengan kita. Kalau dalam Alquran diistilahkan “percaya silahkan, tidak percaya monggo!” (faman sya’a fal yu’min wa man sya’a fal yakfur : Alkahfi ayat 29).

Tapi yang jelas kita sebagai bangsa Indonesia sudah mempunyai konsensus nasional, bahwa kita memilih pemimpin negara dan kepala daerah dengan cara demokrasi. Seandainya yang terpilih menjadi presiden Indonesia adalah orang Yahudi yang terpilih secara demokratis, ya berarti umat Islam Indonesia mempunyai cara pikir yang berbeda dengan tafsir Ibnu Katsir dalam memaknai Almaidah ayat 51 tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun