Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Tanah di Negeri Primitif

3 September 2016   20:31 Diperbarui: 3 September 2016   20:40 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Rupanya kekuatan ideologi negara ini sudah ambruk oleh tekanan hegemoni neoliberalisme. Para penyelenggara negara makin jelas arahnya, menjerumuskan negara ini menuju negara budak kapitalisme. Berdasarkan data yang dimiliki Salamun Daeng, peneliti The Institute For Global Justice (IGJ), hingga kini sekitar 93 persen luas daratan di Indonesia, dikuasai oleh para investor swasta termasuk swasta asing. Lalu bagaimana peran negara yang dikatakan sebagai “penguasa agraria (bumi, air dan kekayaan di dalamnya)” menurut Pasal 33 UUD 1945? Apa kedudukan negara sebagai penguasa itu riil, atau cuma sekadar merah menor lipstik di bibir?

Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (Kompas.com, 28/1/2016). Dikaitkan data IGJ di atas, berarti sekitar 37 persen aset tanah Indonesia dikuasai investor asing, dan 56 persennya dimiliki 0,2 persen orang Indonesia sendiri. Angka-angka tersebut mencerminkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 telah berubah secara de facto menjadi: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh kaum partikelir berduit dan dipergunakan untuk sebesar-besar akumulasi kekayaan kaum berduit yang sudah kaya itu.”

Saya di sini tidak membahas tentang terus berkurangnya lahan pertanian, karena memang tidak ada kebijakan konservasi lahan pertanian. Itu problem tersendiri. Tapi, saya akan khusus membahas kemampuan rakyat kecil dalam membeli tanah untuk rumah atau tempat tinggal. Terutama di wilayah perkotaan, harga tanah makin melambung, tidak terjangkau rakyat kecil. Jika melihat perkembangan sekarang di mana bertumbuhan pemukiman-pemukiman modern yang hanya dapat dibeli oleh mereka yang berpenghasilan tinggi.

Pertanyaannya begini Saudaraku: Apakah antara Anda dengan saya dan orang lain sesama warga negara Indonesia punya kadar hak yang berbeda untuk memiliki tanah, misalnya, di kawasan Kuningan Jakarta? Saya dan Anda sama-sama punya hak yang sama. Tapi Anda dan saya mungkin juga punya halangan akses yang sama terhadap hak untuk dapat memiliki tanah di kawasan tersebut, yakni: kita sama-sama bokek alias gak punya duit yang cukup. Tapi kalau Anda ternyata punya uang banyak, Andalah yang punya akses terhadap hak untuk memiliki tanah di kawasan itu.

Pertanyaan berikutnya: jika hak untuk memiliki hak milik (termasuk hak milik atas tempat tinggal), serta hak mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama dalam mencapai  persamaan dan keadilan merupakan hak asasi manusia (HAM) – lihat Pasal 28 H UUD 1945 – tapi mengapa antara saya dengan Anda harus menjadi terhalang dalam persamaan hak atas hak milik terhadap tanah gara-gara duit kita berbeda jumlahnya? Coba bandingkan dengan HAM lainnya, yakni hak untuk hidup! Apakah Anda dan saya tidak punya akses hak hidup yang sama gara-gara duit kita berbeda? Makin banyak pertanyaan bisa bikin pening.

Meskipun dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dimungkinkan adanya kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah, tapi undang-undang itu sama sekali tidak memberikan jalan keluar kesulitan kemampuan MBR untuk mempunyai rumah yang baik dan layak.

Bayangkan, misalnya seorang buruh bekerja di Surabaya hanya mampu membeli rumah kecil di Mojokerto, maka tiap hari seperti tentara di medan perang mempertaruhkan nyawa di perjalanan karena setiap hari pergi-pulang Mojokerto – Surabaya menempuh jalan raya yang padat kendaraan bermesin. Alangkah lebih normal jika (andaikan) buruh tersebut punya rumah di Surabaya. Ini meminjam cara pikir seorang kawan saya yang menjadi pengusaha pengembang yang peduli rakyat kecil dan geram melihat mafioso pertanahan yang mengendalikan harga tanah di mana-mana.

Kalau melihat komposisi penguasaan tanah yang mayoritas luasannya berada di tangan pemodal (si kaya) tersebut, kita sudah pasti bisa menyimpulkan bahwa harga tanah tergantung keputusan para penguasa tanah itu. Lalu apa gunanya negara, kok negara tidak mau dan mampu mengendalikan harganya, dan pasrah dengan harga yang ditentukan oleh para penguasa partikelir?

Mungkin Dinas-Dinas Pendapatan tiap Pemerintah Daerah memang yang menentukan harga tanah untuk keperluan penarikan pajak-pajak yang terkait transaksi atau peralihan hak atas tanah, tetapi tetap saja pedomannya adalah “harga pasar” (market price). Sedangkan harga menurut Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang biasanya ditentukan juga hanya untuk menentukan nilai dasar pembayaran pajak.

Oleh karena Indonesia ini negara Pancasila - yang dalam sejarah berdirinya NKRI menentang liberalisme dan kapitalisme - maka membiarkan harga tanah mengikuti harga pasar jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial. Jika harga tanah ditundukkan pada pasar bebas atau harga pasar (market price), maka mereka yang jumlahnya kecil tetapi menjadi penguasa ekonomi, akan menjadi tirani pasar yang membuat rakyat kecil yang mayoritas menjadi penonton pembangunan ekonomi sambil plonga-plongo dan ngowoh serta tertindas.

Mari kita bandingkan dengan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyikapi UU No. 22 Tahun 2001 (UU Migas) yang dulunya menggunakan model harga pasar untuk menentukan harga minyak dan gas bumi (migas). Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 yang menguji UU Migas merumuskan pertimbangan bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dalam harga. Campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu (yang tidak mampu). 

Menurut MK, ketentuan tersebut tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 guna mencegah  timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut MK, seharusnya harga migas dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Nah, putusan MK tersebut berkaitan dengan migas yang notabene secara teknologi masih dapat digantikan dengan barang lainnya. Misalnya masih ada tenaga surya yang dapat dikembangkan. Tetapi saat ini migas dipandang sebagai sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak. Apalagi tentang tanah sebagai tempat hidup manusia, yang merupakan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup semua manusia? Mengapa harga tanah dibiarkan mengikuti irama pasar bebas yang dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai hajat hidup semua orang?

Sudah waktunya pemerintah untuk segera membuat kebijakan konstitusional bahwa harga tanah harus ditentukan oleh pemerintah dan tidak mengikuti harga pasar. Lalu bagaimana cara menentukannya? Apakah tanah-tanah di desa sama harganya dengan tanah-tanah di kota?

Iya. Yang membuat perbedaan harga tanah di kota dan di desa terutama adalah mekanisme pasar. Faktor kuantitas permintaan (demand) dan tingkat strategisitas letaknya serta persesuaian dengan peruntukannya akan menentukan harganya. Tapi dengan suatu peraturan pemerintah maka pemerintah harus menentukan zona-zona harga yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Ini akan menjadi sebuah semi-revolusi agraria. Harus juga ada kebijakan pemberian tanah untuk pembangunan rumah kepada rakyat miskin.

Revolusi agraria yang sesungguhnya adalah membagi-bagikan tanah kepada rakyat secara gratis. Kerajaan Qin di masa Raja Xiao di abad ke-4 SM, atas saran ahli hukum Wei Yang (Shang Yang) melakukan revolusi agraria dengan membagi-bagikan tanah milik para tuan tanah kepada rakyat petani, sehingga bidang pertanian tumbuh pesat. Begitu pula Kaisar Liu Heng dari Dinasti Han di abad ke-2 SM juga menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah milik para tuan tanah kepada para petani demi kesejahteraan rakyat yang bertumpu pada pertanian dan perdagangan.

Jika di jaman China kuno dilakukan kebijakan yang bernafaskan sosialisme oleh raja dan kaisar yang otoriter, lalu mengapa di jaman demokrasi modern ini justru keadaannya seperti di jaman China kuno sebelum revolusi agraria, di mana tanah-tanah di negara Indonesia ini dikuasai oleh segelintir tuan tanah?

Bahkan kini laut pun juga mau diserahkan investor asing, seperti yang ditawarkan oleh Menko Bidang Kemaritiman, Luhut B. Pandjaitan, kepada para pengusaha dari negeri China (Antaranews.com, 3/9/2016). Apa-apaan ini? Lah memang rakyat nelayan Indonesia ini dianggap kumpulan ikan lumba-lumba?

Semua juga tahu bahwa hukum pasar bebas adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, itulah yang menang. Hukum rimba ini hukum primitif. Para pendiri negara telah menyediakan perangkat penyangga peradaban negara agar negara ini menjadi negara beradab di muka bumi dengan Pancasila dan UUD 1945. Tapi sayangnya para pengurus negara ini lebih memilih menjadikan negara ini menjadi negara primitif dengan menerapkan hukum rimba itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun