Rupanya kekuatan ideologi negara ini sudah ambruk oleh tekanan hegemoni neoliberalisme. Para penyelenggara negara makin jelas arahnya, menjerumuskan negara ini menuju negara budak kapitalisme. Berdasarkan data yang dimiliki Salamun Daeng, peneliti The Institute For Global Justice (IGJ), hingga kini sekitar 93 persen luas daratan di Indonesia, dikuasai oleh para investor swasta termasuk swasta asing. Lalu bagaimana peran negara yang dikatakan sebagai “penguasa agraria (bumi, air dan kekayaan di dalamnya)” menurut Pasal 33 UUD 1945? Apa kedudukan negara sebagai penguasa itu riil, atau cuma sekadar merah menor lipstik di bibir?
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (Kompas.com, 28/1/2016). Dikaitkan data IGJ di atas, berarti sekitar 37 persen aset tanah Indonesia dikuasai investor asing, dan 56 persennya dimiliki 0,2 persen orang Indonesia sendiri. Angka-angka tersebut mencerminkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 telah berubah secara de facto menjadi: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh kaum partikelir berduit dan dipergunakan untuk sebesar-besar akumulasi kekayaan kaum berduit yang sudah kaya itu.”
Saya di sini tidak membahas tentang terus berkurangnya lahan pertanian, karena memang tidak ada kebijakan konservasi lahan pertanian. Itu problem tersendiri. Tapi, saya akan khusus membahas kemampuan rakyat kecil dalam membeli tanah untuk rumah atau tempat tinggal. Terutama di wilayah perkotaan, harga tanah makin melambung, tidak terjangkau rakyat kecil. Jika melihat perkembangan sekarang di mana bertumbuhan pemukiman-pemukiman modern yang hanya dapat dibeli oleh mereka yang berpenghasilan tinggi.
Pertanyaannya begini Saudaraku: Apakah antara Anda dengan saya dan orang lain sesama warga negara Indonesia punya kadar hak yang berbeda untuk memiliki tanah, misalnya, di kawasan Kuningan Jakarta? Saya dan Anda sama-sama punya hak yang sama. Tapi Anda dan saya mungkin juga punya halangan akses yang sama terhadap hak untuk dapat memiliki tanah di kawasan tersebut, yakni: kita sama-sama bokek alias gak punya duit yang cukup. Tapi kalau Anda ternyata punya uang banyak, Andalah yang punya akses terhadap hak untuk memiliki tanah di kawasan itu.
Pertanyaan berikutnya: jika hak untuk memiliki hak milik (termasuk hak milik atas tempat tinggal), serta hak mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan merupakan hak asasi manusia (HAM) – lihat Pasal 28 H UUD 1945 – tapi mengapa antara saya dengan Anda harus menjadi terhalang dalam persamaan hak atas hak milik terhadap tanah gara-gara duit kita berbeda jumlahnya? Coba bandingkan dengan HAM lainnya, yakni hak untuk hidup! Apakah Anda dan saya tidak punya akses hak hidup yang sama gara-gara duit kita berbeda? Makin banyak pertanyaan bisa bikin pening.
Meskipun dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dimungkinkan adanya kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah, tapi undang-undang itu sama sekali tidak memberikan jalan keluar kesulitan kemampuan MBR untuk mempunyai rumah yang baik dan layak.
Bayangkan, misalnya seorang buruh bekerja di Surabaya hanya mampu membeli rumah kecil di Mojokerto, maka tiap hari seperti tentara di medan perang mempertaruhkan nyawa di perjalanan karena setiap hari pergi-pulang Mojokerto – Surabaya menempuh jalan raya yang padat kendaraan bermesin. Alangkah lebih normal jika (andaikan) buruh tersebut punya rumah di Surabaya. Ini meminjam cara pikir seorang kawan saya yang menjadi pengusaha pengembang yang peduli rakyat kecil dan geram melihat mafioso pertanahan yang mengendalikan harga tanah di mana-mana.
Kalau melihat komposisi penguasaan tanah yang mayoritas luasannya berada di tangan pemodal (si kaya) tersebut, kita sudah pasti bisa menyimpulkan bahwa harga tanah tergantung keputusan para penguasa tanah itu. Lalu apa gunanya negara, kok negara tidak mau dan mampu mengendalikan harganya, dan pasrah dengan harga yang ditentukan oleh para penguasa partikelir?
Mungkin Dinas-Dinas Pendapatan tiap Pemerintah Daerah memang yang menentukan harga tanah untuk keperluan penarikan pajak-pajak yang terkait transaksi atau peralihan hak atas tanah, tetapi tetap saja pedomannya adalah “harga pasar” (market price). Sedangkan harga menurut Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang biasanya ditentukan juga hanya untuk menentukan nilai dasar pembayaran pajak.
Oleh karena Indonesia ini negara Pancasila - yang dalam sejarah berdirinya NKRI menentang liberalisme dan kapitalisme - maka membiarkan harga tanah mengikuti harga pasar jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial. Jika harga tanah ditundukkan pada pasar bebas atau harga pasar (market price), maka mereka yang jumlahnya kecil tetapi menjadi penguasa ekonomi, akan menjadi tirani pasar yang membuat rakyat kecil yang mayoritas menjadi penonton pembangunan ekonomi sambil plonga-plongo dan ngowoh serta tertindas.
Mari kita bandingkan dengan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyikapi UU No. 22 Tahun 2001 (UU Migas) yang dulunya menggunakan model harga pasar untuk menentukan harga minyak dan gas bumi (migas). Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 yang menguji UU Migas merumuskan pertimbangan bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dalam harga. Campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu (yang tidak mampu).