Mohon tunggu...
Sayyid Yusuf Aidid
Sayyid Yusuf Aidid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ

Saya adalah seorang dosen agama yang moderat yang suka membaca dan menulis. Genre bacaan saya yaitu religi dan tasawuf. Adapun saya mengajar Agama Islam di Universitas Indonesia dan Politeknik Negeri Jakarta. Link : www.yusufaidid.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indikator Keberhasilan Moderasi Beragama di Indonesia

15 Juni 2023   07:25 Diperbarui: 15 Juni 2023   07:32 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi 

Indikator keberhasilan moderasi beragama di Indonesia ada empat yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, akomodatif terhadap kebudayaan lokal. 

Komitmen kebangsaan merupakan indikator pertama dalam moderasi beragama, yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. 

Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945. (Lukman Hakim: 2022:43)

Indikator kedua dalam moderasi beragama yaitu toleransi. Muhammad 'Imarah (1931-2020 M), cendekiawan Muslim Mesir dalam bukunya Haqaiq wa Syubuhat Hawla as-Samahah al-Islamiyah wa Huquq al-Insan  mengatakan bahwa tasamuh (toleransi) ialah kedermawanan yakni pemberian tanpa batas dan juga kemudahan dan kelemahlembutan dalam segala sesuatu serta dalam berinteraksi tanpa menanti balasan atau harga atau kebutuhan kepada imbalan. 

Pakar lain merumuskan hakikat toleransi sebagai berdamai dengan pihak lain dengan "menerima" sikap dan pandangan mereka selama tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku. (Quraish Syihab:2022:4)

Toleransi beragama yang menjadi tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intra-agama, baik terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Melalui relasi antaragama, kita dapat melihat sikap pada pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerjasama, pendirian tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Sedangkan toleransi intraagama digunakan untuk menyikapi sekte-sekte minoritas yang dianggap menyimpang dari arus besar agama tersebut.

Quraish Syihab menyatakan bahwa tanpa toleransi hidup ini akan terganggu. Sebab Manusia dianugrahi oleh Allah pikiran., kecendrungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka perbedaan dan pertentangan yang jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan bencana (Quraish Syihab:2016:184). Hal tersebut sudah termaktub di dalam al-Quran:

(117)

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS Hud/11:117-118)

Di sisi lain perbedaan manusia bukan hanya pemikiran, pandangan dan kepentingan saja akan tetapi perbedaan itu juga ada pada sisi suku bangsa dan budaya. Perbedaan tersebut dinyatakan oleh QS al-Hujurat/49:13

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat di atas dimaksudkan agar manusia saling mengenal; pengenalan tersebut dapat mendorong lahirnya hubungan harmonis, kerjasama, dan saling mendukung. Dialog salah satu proses pengenalan yang dibutuhkan untuk mencari titik temu dan mengetahui perbedaan demi bekerja sama dan menghindari sengketa. Tidak jarang melalui dialog ditemukan apa yang diduga berbeda, pada hakikatnya hanya dalam permukaan atau rumusan redaksi, bahkan kalaupun berbeda substansinya, maka dengan dialog itu berdasar sikap saling menghargai dan dilakukan sebagaimana tuntunan al-quran (Quraish Syihab:2016:184). Hal tersebut termaktub dalam QS. An-Nahl/16:125 :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Jika pada akhirnya dialog tidak menemukan titik temu maka sesuai pesan Allah kepada Nabi Muhammad Saw:

(25) (26)

Sampaikanlah bahwa sesunggugnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata, Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanyai menyangkut doa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyao tentang apa yang kamu perbuat." (QS Saba/34:25-26)

Quraish Syihab menafsirkan ayat di atas bahwa biarlah kita berbeda sambil menyerahkan kepada Allah untuk memutuskan pada Hari Kemudian nanti siapa di antara kita yang benar. Biarlah masing-masing kita mengikuti apa yang kita anggap benar, tanpa saling mempermasalahkan dalam kehidupan dunia ini. (Quraish Syihab:2016:184)

Indikator ketiga dalam moderasi beragama di Indonesia yaitu anti-kekerasan atau reradikalisasi. Sebelum masuk kepada termin tersebut alangkah baiknya kita mengenal istilah radikalisasi itu sendiri. Istilah radikalisasi ini sendiri merujuk sebagai fenomena politis. Sedgwick (2010) misalnya menuliskan bahwa istilah ini lebih baik diposisikan dalam kaitannya dengan arus utama aktivitas politik, atau paling tidak dalam kontek masyarakat demokratis. Selain itu istilah radikalisasi hari ini merupakan inovasi dalam perdebatan panjang tentang terorisme, yang tentu saja harus dibedakan dengan penggunaan tradisonalnya sebagai ekspresi pemikiran politik murni. (Nuruzzaman:2011:15)

Definisi radikalisasi di atas bisa diambil satu pandangan bahwa termin tersebut mengarah pada proses penolakan terhadap ideologi yang dianut satu negara dan pemaksaan mengganti ideologi dengan ideologi kaum radikal tersebut. Sehingga dalam tahap-tahap tertentu golongan ini menggunakan kekerasan. Sehingga hal tersebut akan menjadi polemik yang mengakibatkan pada konflik berkepanjangan.

Secara lebih sederhana, radikalisasi adalah proses seseorang menjadi radikal. Sementara radikalisme merujuk pada suatu paham, yang pada awalnya lebih banyak digunakan dalam konteks politik, di mana seseorang menghendaki perubahan secara mendasar dan prinsipil. Dalam tinjauan ilmu politik sendiri, radikalisme adalah semangat dan pemikiran berupaya melakukan perubahan kehidupan politik secara mendasar tanpa memperhitungkan aturan konstitusional, konstelasi politik, dan kehidupan sosial yang sedang berlaku. Ciri yang paling menonjol dari radikalisme adalah kecendrungan untuk bersahabat dengan kekerasan (violence), yang dilakukan sekelompok orang atau beberapa individu, yang pada gilirannya seolah menghalalkan timbulnya korban jiwa dan materi yang tidak jarang berskala besar (terorisme). (Nuruzzaman:2011:17)

Berdasarkan tinjauan bahasa, sifat radikal memang berbeda dengan teroris. Radikal merupakan proses sunguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dengan cara-cara tertentu. Sementara teroris bermakna seseorang orang atau oknum yang memberikan ancaman dengan cara-cara yang negatif. Namun demikian, seiring dengan munculnya berbagai kejadian teror penyebabnya tidak jauh dari proses radikalisasi, serta perjalanan dan pola pergerakannya di masyarakat, radikal dan teror pada akhirnya menjadi satu pengertian, yakni radikal merupakan tahap awal menuju aksi terorisme.

Radikalisme dalam agama ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, makna positif dari radikalisme adalah spirit menuju perubahan ke arah lebih baik yang lazim disebut ishlah (perbaikan) atau tajdid (pembaharuan). Dengan begitu radikalisme tidaklah bisa disamakan dengan ektrimitas atau kekerasan, ia akan sangat bermakna apabila dijalankan melalui pemahaman agama yang menyeluruh dan diaplikasikan untuk ranah pribadi. Namun di sisi lain, radikalisme akan menjadi berbahaya jika sampai pada tataran ghuluw (melampaui batas) dan ifrath (keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk baik internal agama maupun agama lain. (Emna Laisa:2014:2)

Seorang tokoh agama terkemuka, KH. Hasyim Muzadi, yang ditemui ketika mengisi seminar nasional tentang deradikalisasi agama melalui peran mubalig di Jawa Tengah pada tahun 2016, mengatakan bahwa seseorang boleh saja berpikir secara radikal (berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya) dan memang seharusnya seseorang seharusnya berpikir secara radikal. Akan tetapi hasil pemikiran tersebut akan berbahaya jika sudah menjadi pemahaman yaitu mazhab atau ideologi, karena jika sudah menjadi pemahaman seseorang tersebut akan keras dalam memaksakan hasil pemikirannya terhadap orang lain atau kelompok lain. Maka hal tersebut disebut dengan radikalisme. (https://www.youtube.com/watch?v=d0P-5t2pd6A)

Oknum-oknum yang membawa radikalisme dalam Islam, menganggap bahwa  Islam adalah sistem agama yang lengkap dan karenanya Indonesia harus diperintah berdasar Islam. Sistem politik Indonesia sekarang dianggap sebagai thogut, karenanya harus diganti dengan sistem Islam. Kalangan teroris menjadi isu ini sebagai ideologi yang harus mereka perjuangkan. Karena agama dianggap sebagai ideologi, maka mereka mengusulkan bahwa agama menjadi salah satu cara penyelesaiannya. Akan tetapi hal yang menarik adalah mereka tidak begitu setuju dengan cara pemerintah dengan proyek deradikalisasi yang ditujukan kepada mereka. (Syafiq Hasyim, 2018)

Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa radikalisme merupakan sikap berlebihan dari seseorang atau atau kelompok dalam beragama, yaitu sikap ketidaksesuaian antara akidah dengan prilaku, antara yang seharusnya dengan realitas, antara agama dan politik, antara ucapan dan tindakan, antara yang dingankan dengan yang dilaksanakan, serta antara hukum yang diisyaratkan oleh Allah dengan produk hukum manusia itu sendiri. (Yusuf Qardhawi:2014:127)

Berdasarkan pemaparan di atas tentang radikalisasi maka jika tidak dicegah eksistensinya di masyarakat maka akan menimbulkan keresahan dan terjadi ketakutan serta kekhawatiran di masyarakat. Cara pencegahan radikalisasi tersebut dengan dakwah yang humanis. Dakwah humanis meupakan dua istilah yang digabungkan, dan memiliki makna satu proses atau usaha untuk mengajak dalam hal kebenaran dan beriorientasi pada pembentukan jati diri manusia yang manusiawi untuk meraih kedamaian, kebijaksanaan, dan keadilan. Dakwah Islamiyah yang humanis perlu memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, baik secara individual maupun komunal dalam melakukan dakwah. Aspek-aspek tersebut adalah dari psikologis, sosiologis, antropologis, edukatif, dan kultural. (Nuruzzaman:2011:47)

Quraish Syihab mengatakan bahwa ada beberapa langkah penting yang perlu diperhatikan untuk tegaknya menanggulangi radikalisme: (Quraish Syihab:2022:183)

1.Pemahaman yang benar terhadap teks-teks terperinci al-Quran dan Sunnah dengan memperhatikan maqashid al-Syari'ah (tujuan kehadiran agama), kemudian upaya penyesuaian penerapan antara ajaran Islam yang pasti lagi tidak berubah dengan perkembangan zaman dan masyarakat yang terus berubah

2.Kerja sama dengan semua kalangan umat Islam dalam hal-hal yang disepakati dan bertoleransi dalam perbedaan serta menghimpun antara kesetiaan terhadap sesama mukmin dengan toleransi terhadap non-muslim.

3.Menghimpun dan mempertemukan ilmu dengan iman, demikian juga kreativitas material dan keluhuran spiritual, serta kekuatan ekonomi dan kekuatan moral.

4.Penekanan pada prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial seperti keadilan, syura, kebebasan tanggung jawab, dan hak-hak asasi manusia.

5.Mengajak kepada pembaruan sesuai dengan tuntunan agama serta menurut dari para ahlinya untuk melakukan ijtihad pada tempatnya.

6.Memberi perhatian yang besar dalam membina persatuan dan kesatuan bukan perbedaan dan perselisihan serta pendekatan bukan penjauhan, serta menampilkan kemudahan dalam fatwa yang dirumuskan serta mengedepankan berita gembira dalam berdakwah.

7.Memanfaatkan sebaik mungkin semua peninggalan dan pemikiran lama, antara lain logika para teolog muslim, kerohanian sufi, keteladanan para pendahulu, serta ketelitian para pakar hukum dan ushuluddin.

Indikator terakhir dalam moderasi beragama di Indonesia yaitu akomodatif terhadap budaya lokal. Praktik dan pelestarian budaya lokal merupakan khasanah dari pluralitas bangsa. Sebab budaya merupakan kebiasaan yang diciptakan dan dikondisikan oleh masyarakat demi keberlangsungan hidup. Mulai dari bahasa, lagu daerah pakaian adat, kesenian, dan keanekaragaman kuliner adalah identitas dari budaya bangsa Indonesia.

Penerimaan budaya lokal termasuk ma'ruf. Kosep ma'ruf di dalam al-Quran yaitu membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahaan nilai-nilai akibat perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, ketika Allah memerintahkan untuk mengajak kepada yang ma'ruf, maka itu juga berarti bahwa Islam menerima adat-istiadat dan budaya masyarakat apa pun selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan, perintah tersebut berarti juga bahwa Islam menekankan perlunya memelihara budaya setempat yang tidak bertentangan dengan al-khayr. (Quraisy Syihab:2022:175)

Orang-orang yang moderat memiliki kecendrungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya. Sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama. Tradisi keberagamaan yang tidak kaku, antara lain, ditandai dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku beragama yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran normative, melainkan juga menerima praktik beragama yang didasarkan pada keutamaan, tentu, sekali lagi, sejauh praktik itu tidak bertentangan dengan hal yang prinsipil dalam ajaran agama. Sebaliknya ada juga kelompok yang cenderung tidak akomodatif terhadap tradisi dan kebudayaan, karena mempraktikan tradisi dan budaya dalam beragama akan dianggap sebagai tindakan yang mengotori kemurnian agama. (Lukman Hakim:2022:20)

Di sisi lain ketika ada kelompok orang menganggap hanya budaya tertentu yang benar, mereka cenderung akan menyalahkan bentuk budaya lain. Polemik muncul ketika kelompok pertama memaksakan kebenaran budayanya kepada kelompok lain dan kelompok lain kelompok yang berbeda dengannnya harus meninggalkan budaya yang telah mereka warisi sekian lama. Pada tataran inilah dipelukan sikap moderat dalam berbudaya. (Abdul Jamil Wahab dkk:2022:302)

Adapun budaya-budaya positif yang telah lama melekat pada bangsa Indonesia hingga sekarang ini di antaranya:

a.Budaya gotong royong

b.Budaya kedermawanan

c.Budaya saling menasihati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun