Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat di atas dimaksudkan agar manusia saling mengenal; pengenalan tersebut dapat mendorong lahirnya hubungan harmonis, kerjasama, dan saling mendukung. Dialog salah satu proses pengenalan yang dibutuhkan untuk mencari titik temu dan mengetahui perbedaan demi bekerja sama dan menghindari sengketa. Tidak jarang melalui dialog ditemukan apa yang diduga berbeda, pada hakikatnya hanya dalam permukaan atau rumusan redaksi, bahkan kalaupun berbeda substansinya, maka dengan dialog itu berdasar sikap saling menghargai dan dilakukan sebagaimana tuntunan al-quran (Quraish Syihab:2016:184). Hal tersebut termaktub dalam QS. An-Nahl/16:125 :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Jika pada akhirnya dialog tidak menemukan titik temu maka sesuai pesan Allah kepada Nabi Muhammad Saw:
(25) (26)
Sampaikanlah bahwa sesunggugnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata, Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanyai menyangkut doa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyao tentang apa yang kamu perbuat." (QS Saba/34:25-26)
Quraish Syihab menafsirkan ayat di atas bahwa biarlah kita berbeda sambil menyerahkan kepada Allah untuk memutuskan pada Hari Kemudian nanti siapa di antara kita yang benar. Biarlah masing-masing kita mengikuti apa yang kita anggap benar, tanpa saling mempermasalahkan dalam kehidupan dunia ini. (Quraish Syihab:2016:184)
Indikator ketiga dalam moderasi beragama di Indonesia yaitu anti-kekerasan atau reradikalisasi. Sebelum masuk kepada termin tersebut alangkah baiknya kita mengenal istilah radikalisasi itu sendiri. Istilah radikalisasi ini sendiri merujuk sebagai fenomena politis. Sedgwick (2010) misalnya menuliskan bahwa istilah ini lebih baik diposisikan dalam kaitannya dengan arus utama aktivitas politik, atau paling tidak dalam kontek masyarakat demokratis. Selain itu istilah radikalisasi hari ini merupakan inovasi dalam perdebatan panjang tentang terorisme, yang tentu saja harus dibedakan dengan penggunaan tradisonalnya sebagai ekspresi pemikiran politik murni. (Nuruzzaman:2011:15)
Definisi radikalisasi di atas bisa diambil satu pandangan bahwa termin tersebut mengarah pada proses penolakan terhadap ideologi yang dianut satu negara dan pemaksaan mengganti ideologi dengan ideologi kaum radikal tersebut. Sehingga dalam tahap-tahap tertentu golongan ini menggunakan kekerasan. Sehingga hal tersebut akan menjadi polemik yang mengakibatkan pada konflik berkepanjangan.
Secara lebih sederhana, radikalisasi adalah proses seseorang menjadi radikal. Sementara radikalisme merujuk pada suatu paham, yang pada awalnya lebih banyak digunakan dalam konteks politik, di mana seseorang menghendaki perubahan secara mendasar dan prinsipil. Dalam tinjauan ilmu politik sendiri, radikalisme adalah semangat dan pemikiran berupaya melakukan perubahan kehidupan politik secara mendasar tanpa memperhitungkan aturan konstitusional, konstelasi politik, dan kehidupan sosial yang sedang berlaku. Ciri yang paling menonjol dari radikalisme adalah kecendrungan untuk bersahabat dengan kekerasan (violence), yang dilakukan sekelompok orang atau beberapa individu, yang pada gilirannya seolah menghalalkan timbulnya korban jiwa dan materi yang tidak jarang berskala besar (terorisme). (Nuruzzaman:2011:17)
Berdasarkan tinjauan bahasa, sifat radikal memang berbeda dengan teroris. Radikal merupakan proses sunguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dengan cara-cara tertentu. Sementara teroris bermakna seseorang orang atau oknum yang memberikan ancaman dengan cara-cara yang negatif. Namun demikian, seiring dengan munculnya berbagai kejadian teror penyebabnya tidak jauh dari proses radikalisasi, serta perjalanan dan pola pergerakannya di masyarakat, radikal dan teror pada akhirnya menjadi satu pengertian, yakni radikal merupakan tahap awal menuju aksi terorisme.